Pages - Menu

Jalan Busur [5 - SASARAN]

terjemahan dari The Way of the Bow oleh Paulo Coelho
~
~
SASARAN

Sasaran adalah tujuan yang hendak dicapai.

Ia dipilih dan ditentukan oleh si pemanah dan meskipun ia berada jauh di sana, ia tidak dapat disalahkan apabila kita gagal mengenainya. Di sini terletak keindahan jalan busur: engkau tidak boleh membuat alasan-alasan untuk dirimu sendiri dengan mengatakan bahwa musuhmu lebih kuat daripada engkau.

Engkaulah yang memilih dan menentukan sasaranmu dan engkau bertanggung jawab untuk itu.

Sasaran yang dipilih bisa saja lebih besar, lebih kecil, agak ke kanan atau ke kiri, namun engkau mesti selalu berdiri di hadapannya, meghormatinya dan secara mental membawanya mendekat padamu. Hanya ketika ia telah berada tepat di ujung anak panahmu baru engkau boleh melepas tali busur yang kau pegang.

Jika engkau memandang sasaranmu sebagai musuh, kau mungkin saja dapat mengenainya, namun engkau takkan memperbaiki apa-apa di dalam dirimu sendiri. Engkau akan menjalani hidupmu sekedar berusaha menancapkan anak panah di tengah-tengah selembar kertas atau sebilah papan, yang sungguh-sungguh tiada artinya sama sekali. Dan ketika engkau berada bersama orang-orang, kau hanya akan menghabiskan waktu dengan berkeluh kesah bahwa engkau tidak pernah sama sekali melakukan sesuatu hal pun yang menarik dalam hidupmu.

Karena itu engkau mesti memilih sasaranmu, melakukan yang terbaik untuk mengenainya, dan selalu menghargainya dengan memberi rasa hormat dan memperlakukannya secara pantas; engkau perlu mengetahui apa artinya ia dan seberapa besar usaha, latihan dan intuisi yang kau perlukan.

Ketika engkau melihat ke arah sasaran, jangan berkonsentrasi padanya saja, namun juga pada berbagai hal yang ada di sekitarnya, sebab anak panah, ketika ia telah dilepaskan, akan menghadapi berbagai faktor yang tidak engkau perhitungkan, seperti angin, gravitasi, dan jarak.

Engkau harus memahami sasaran itu. Engkau perlu senantiasa bertanya pada dirimu sendiri: ‘Jika aku adalah sasaran itu, di manakah aku berada? Seperti apa rasanya terkena tembakan dari seorang pemanah yang pantas dihormati?’

Sasaran hanya akan ada bila ada yang memanahnya. Adalah hasrat si pemanah untuk mengenainyalah yang membenarkan keberadaannya, jika tidak ia tak akan lebih dari sekedar benda saja, selembar kertas atau sebilah papan yang tiada memiliki arti.

Sebagaimana anak panah mencari sasaran, begitu pula sasaran mencari anak panah, sebab anak panah itulah yang memberi makna pada eksistensinya; ia tak lagi sekedar selembar kertas; bagi seorang pemanah, ia adalah pusat dunia.

Jalan Busur [4 - ANAK PANAH]

terjemahan dari The Way of the Bow oleh Paulo Coelho
~
~

ANAK PANAH

Anak panah adalah intensi. Niat.

Ialah yang menyatukan kekuatan busur panah dengan titik pusat sasaran.

Intensi harus jernih sejernih kristal, lurus dan seimbang. Begitu ia dilepaskan, ia takkan dapat ditarik kembali, maka lebih baik mengurungkan suatu tembakan apabila gerakan yang mengantarkannya dirasa tidak cukup tepat dan benar, daripada bertindak sembarangan hanya karena busur sudah terlanjur ditarik penuh dan sasaran sudah menanti.

Namun jangan pernah ragu menembakkan anak panah itu bila yang menghalangimu adalah rasa takut membuat kesalahan.

Bila engkau telah melakukan semua gerakan dengan benar, lepaskanlah tangan yang memegang tali busur itu. Meskipun anak panah itu tidak mengenai sasaran, engkau akan belajar bagaimana memperbaiki bidikanmu di kemudian waktu. Bila engkau tak pernah mengambil risiko, engkau takkan pernah tahu perubahan apa yang perlu kau lakukan untuk memperbaikinya.

Setiap anak panah meninggalkan jejak kenangan di dalam hatimu, dan gabungan dari semua kenangan itulah yang akan membuatmu mampu menembak dengan lebih baik.

Jalan Busur [3 - BUSUR]

 terjemahan dari The Way of the Bow oleh Paulo Coelho
~
~

3

BUSUR

Busur panah adalah kehidupan: sumber semua energi.

Anak panah, suatu hari nanti, akan pergi.

Sasaran berada jauh di sana.

Namun busur itu akan selalu bersamamu, dan engkau mesti pandai-pandai merawatnya.

Ia butuh istirahat –busur yang setiap saat terpasang talinya akan kehilangan kekuatannya. Karena itu, biarkan ia beristirahat, untuk memulihkan kekuatannya; sehingga, ketika nantinya engkau menarik tali, busur itu akan menawarkan kekuatan penuhnya kepadamu.

Busur panah tidak memiliki nurani: ia adalah perpanjangan tangan dan hasrat si pemanah. Ia dapat membantumu untuk membunuh maupun untuk bermeditasi. Oleh sebab itu, murnikanlah selalu niatmu.

Busur itu lentur, namun memiliki batas kelenturan. Menariknya melebihi batas kelenturannya hanya akan merusaknya atau menyebabkan penggunanya kelelahan. Karena itu, berusahalah untuk selalu dalam harmoni dengan instrumenmu itu dan jangan pernah meminta melebihi apa yang mampu diberikannya.

Busur berada di tangan si pemanah, tetapi tangan itu sekedar tempat di mana otot-otot tubuh si pemanah, segala intensi dan usaha yang dilakukannya untuk melesatkan tembakan terpusat. Karena itu, untuk menjaga postur tubuh yang benar ketika menarik tali busur, berusahalah menjaga agar setiap bagian tubuh melakukan apa yang diperulkan saja, tidak berlebih-lebihan sebab itu hanya akan membuang-buang energimu.

Dengan demikian, engkau akan dapat menembakkan banyak anak panah tanpa kelelahan.

Untuk dapat memahami busurmu, ia harus engkau jadikan sebagai bagian dari lenganmu dan perpanjangan dari pikiranmu.

Jalan Busur [2 - KAWAN]

Terjemahan dari The Way of the Bow oleh Paulo Coelho

 [sebelumnya]
~

2
KAWAN

Seorang pemanah yang tidak membagikan kesenangan yang diperolehnya dari busur dan panah dengan orang lain tidak akan pernah mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri. 

Karena itu, sebelum engkau memulai sesuatu, carilah kawan, yaitu orang yang tertarik dengan apa yang engkau lakukan.

Aku tidak mengatakan ‘carilah pemanah lain’. Yang kumaksud adalah: temukanlah orang yang memiliki keahlian lain, sebab jalan busur tidaklah berbeda dengan jalan-jalan lain yang ditempuh dengan antusiasme. 

Kawanmu tidak harus seorang luar biasa yang tentangnya orang-orang berkata: ‘Tiada yang lebih baik darinya.’ Melainkan, ia adalah orang yang tidak takut melakukan kesalahan dan yang, karena itu, melakukan kesalahan sehingga apa yang dilakukannya seringkali tidak dianggap oleh orang lain. Meski demikian, mereka adalah orang-orang yang mengubah dunia dan, setelah melakukan banyak kesalahan, mampu melakukan sesuatu yang memicu perubahan nyata pada komunitasnya. 

Mereka adalah orang-orang yang tak betah sekedar duduk menanti sesuatu terjadi baru kemudian membuat keputusan; mereka memutuskan sembari melakukan, dan dengan sepenuhnya menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu mungkin saja memang berbahaya. 

Hidup bersama orang seperti itu penting bagi seorang pemanah sebab ia perlu menyadari bahwa sebelum menghadapi sasaran, ia pertama-tama harus merasa cukup merdeka untuk mengubah arah bidikannya ketika ia mengangkat busur ke depan dadanya. 

Ketika ia membuka tangannya dan melepaskan tali busur, ia harus berkata pada diri sendiri: ‘Aku menempuh jalan yang panjang ketika kutarik busur ini. Sekarang kulepaskan anak panah ini dengan mengetahui bahwa aku telah mengambil risiko yang memang perlu dan telah kuberikan yang terbaik untuk itu.’ 

Kawan terbaik adalah mereka yang berpikir tidak seperti orang-orang kebanyakan. Karena itu, ketika mencari kawan dengan siapa engkau dapat berbagai antusiasme memanahmu, percayalah pada intuisimu dan jangan peduli pada apa yang dikatakan oleh orang-orang. Orang-orang selalu menilai orang lain dengan menggunakan keterbatasan mereka sendiri sebagai dasar, dan opini orang-orang seringkali dipenuhi prasangka dan rasa takut. 

Bergabunglah bersama mereka yang senantiasa mencoba, berani mengambil risiko, terjatuh, merasakan sakit dan kemudian tetap berani mengambil risiko lagi. Jangan mendekati mereka yang sekedar menerima apa yang dianggap benar saja, yang mengkritik orang lain yang tidak memiliki jalan pikiran sebagaimana jalan pikiran mereka, orang-orang yang tak pernah sekalipun mengambil langkah kecuali bila mereka yakin bahwa langkah itu akan membuat mereka dihormati, dan yang lebih memilih apa yang terlihat pasti daripada daripada apa yang sepertinya meragukan. 

Bergabunglah bersama mereka yang membuka diri dan tidak takut menjadi rapuh: mereka mengerti bahwa seseorang hanya akan dapat menjadi lebih baik bila ia mulai melihat apa yang dilakukan oleh kawan-kawannya, bukan untuk menilainya, melainkan untuk mengagumi dedikasi dan keberanian mereka. 

Engkau mungkin berpikir bahwa memanah tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan, misalnya, pembuat kue atau petani, tetapi kuberitahu padamu bahwa apapun yang mereka lihat selalu akan mereka padukan ke dalam apa yang mereka lakukan. 

Engkau akan melakukan hal yang sama: engkau akan belajar dari seorang pembuat kue yang baik mengenai bagaimana menggunakan tanganmu dan bagaimana mencampur bahan baku dengan baik. Engkau akan belajar dari petani untuk bersabar, bekerja keras, menghormati musim dan tidak mengutuk badai, sebab itu hanya buang-buang waktu saja. 

Bergabunglah bersama mereka yang lentur seperti kayu busurmu dan yang memahami pertanda-pertanda yang bertebaran di sepanjang perjalanan. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ragu mengubah arah ketika mereka menemui hambatan tak teratasi, atau ketika mereka melihat adanya kesempatan yang lebih baik.

Mereka memiliki sifat sebagaimana air: mengalir mengitari bebatuan, menyesuaikan alirannya dengan arah sungai, kadang kala menjadi danau dan menggenang hingga memenuhinya, lalu mereka akan melanjutkan perjalanan, sebab air tidak pernah melupakan bahwa laut adalah takdir mereka dan cepat atau lambat mereka mesti mencapainya. 

Bergabunglah dengan mereka yang tak pernah berkata: ‘Oke, cukup sampai di sini saja,’ sebab sebagaimana musim semi niscaya datang menggantikan musim dingin, tiada yang pernah benar-benar berakhir; setelah mencapai tujuan, engkau harus memulai kembali, selalu dengan membawa serta segala yang telah engkau pelajari dalam perjalanan sebelumnya. 

Bergabunglah bersama mereka yang bernyanyi, menceritakan kisah-kisah, menikmati kesenangan yang ditawarkan kehidupan, dan memancarkan keceriaan di matanya, sebab keceriaan itu dapat menular dan mencegah seseorang menjadi lumpuh oleh depresi, rasa kesepian dan kesulitan-kesulitan hidup. 

Bergabunglah bersama mereka yang senantiasa melakukan apapun yang mereka lakukan dengan antusiasme, dan karena engkau dapat berguna bagi mereka sebagaimana mereka bagimu, berusahalah memahami instrumen mereka juga dan bagaimana agar kemampuan mereka menjadi lebih baik lagi. 

Tibalah waktunya, setelah itu, untuk bertemu dengan busur, anak panah, sasaran, dan jalanmu.

Jalan Busur [1.]

terjemahan dari The Way Of The Bow oleh Paulo Coelho.
~

1.

‘Tetsuya.’

Si Bocah menatap orang asing itu dengan heran.

‘Tiada seorang pun di kota ini yang pernah melihat Tetsuya memegang busur,’ ia menjawab. ‘Semua orang di sini mengenalnya sebagai tukang kayu.’

‘Mungkin ia sudah menyerah, mungkin ia telah kehilangan semangat, itu tidak penting bagiku,’ kata orang asing itu. ‘Namun, jika benar demikian, bahwa ia telah meninggalkan seni keahliannya itu, maka itu berarti ia tidak lagi pantas disebut-sebut sebagai pemanah terbaik di seluruh negeri. Karena itulah selama ini aku berkelana mencarinya, untuk menantangnya dan mengakhiri reputasi yang tak pantas lagi diembannya itu.’

Bocah itu berpikir bahwa tiada gunanya ia terus berbicara untuk meyakinkan orang asing itu; lebih baik membawanya langsung ke tempat si tukang kayu agar ia dapat menyaksikan sendiri bahwa ia telah salah.

Tetsuya berada di bengkel kerja di belakang rumahnya. Ia menoleh untuk melihat siapa yang datang, dan senyumnya tiba-tiba membeku ketika pandangannya jatuh pada tas panjang yang dibawa oleh orang asing itu.

‘Tepat seperti yang engkau pikirkan,’ kata pendatang baru itu. ‘Aku datang ke sini bukan untuk mempermalukan atau mengolok-olok lelaki yang telah menjadi legenda. Aku cuma ingin membuktikan bahwa, setelah bertahun-tahun berlatih, aku telah mencapai kesempurnaan,’

Tetsuya berusaha tidak peduli dan bersikap seolah-olah hendak melanjutkan pekerjaannya.

‘Seorang yang menjadi panutan tidak bisa menghilang begitu saja sebagaimana yang telah engkau lakukan,’ orang asing itu melanjutkan. ‘Aku telah mengikuti ajaranmu, aku menghormati jalan busur, dan kurasa kau harus bersedia menyaksikan tembakanku. Jika kau bersedia melakukannya, aku akan pergi dan takkan pernah memberi tahu siapapun perihal keberadaan master terhebat di antara yang terhebat.’

Orang asing itu menarik keluar dari tas panjangnya, sebuah busur panjang dari bambu yang dipoles, dengan pegangan berada sedikit ke bawah di bagian tengahnya. Ia membungkuk pada Tetsuya, lalu beranjak ke kebun di halaman dan membungkuk lagi ke arah tertentu. Ia kemudian menarik keluar sebilah anak panah dengan bulu elang pada ekornya, berdiri dengan kaki terpijak kokoh di atas tanah, dan dengan satu tangan mengangkat busur ke depan wajahnya, sementara dengan tangan yang lain ia memasang anak panah itu pada talinya.

Bocah laki-laki itu manyaksikan dengan perasaan kagum bercampur takjub. Tetsuya sekarang berhenti bekerja dan mengamati orang asing itu dengan sebersit rasa penasaran.

Dengan anak panah yang terpasang ke tali, orang asing itu mengangkat busurnya sedemikian rupa sehingga sejajar dengan bagian tengah dadanya. Ia mengangkatnya melewati tinggi kepala dan, seiring dengan gerakannya merendahkan busur itu kembali, mulai menarik talinya ke belakang.

Ketika anak panah itu berada sejajar dengan matanya, tali busur pun telah ditarik sepenuhnya. Untuk sesaat, momen itu seolah akan berlangsung selama-lamanya, si pemanah dan busurnya diam tak bergerak. Anak laki-laki itu memandang ke arah yang ditunjuk oleh anak panah, namun tidak mampu melihat apa-apa di sana.

Tiba-tiba, tangan itu melepaskan tali busur yang dipegangnya, lalu ditarik ke belakang, sedangkan busur itu kemudian menampilkan suatu gerakan yang mantap dan anak panah pun tiba-tiba menghilang hanya untuk terlihat kembali di kejauhan sana.

‘Pergi dan pungutlah anak panah itu,’ kata Tetsuya.

Bocah laki-laki itu pun pergi dan kembali membawa anak panah itu: sebuah ceri telah dibelahnya, tergeletak di tanah empat puluh meter dari tempat mereka berada.

Tetsuya membungkuk pada pemanah itu, kemudian pergi ke suatu sudut di bengkel kerjanya dan mengambil sesuatu yang nampak seperti sebilah kayu melengkung yang terbungkus dalam gulungan lembaran kulit. Ia membuka gulungan itu secara perlahan-lahan dan kemudian terlihatlah sebuah busur mirip dengan yang dipunyai oleh orang asing itu, kecuali bahwa busur Tetsuya itu sepertinya telah lebih banyak digunakan.

‘Aku tak memiliki anak panah, jadi aku harus menggunkan salah satu anak panah milikmu. Akan kulakukan permintaanmu, namun engkau harus memegang janji yang telah kau ucapkan, bahwa engkau tak akan pernah memberitahu siapapun di mana keberadaanku. Jika seseorang bertanya tentang aku, katakanlah bahwa engkau telah mencariku ke seluruh penjuru bumi dan menemukan bahwa aku telah mati karena gigitan ular berbisa.’

Orang asing itu mengangguk dan memberikan salah satu anak panah miliknya.

Dengan salah satu ujung batang busur bambu itu ditolakkan ke dinding kemudian ditekan kuat ke bawah, Tetsuya memasang tali ke busurnya. Lalu, tanpa berkata-kata, ia berjalan menuju pegunungan.

Orang asing dan anak laki-laki itu mengikutinya. Mereka berjalan selama satu jam, sampai menemukan lembah dalam di antara dua jurang cadas yang di dasarnya mengalir sungai deras, yang hanya dapat diseberangi melalui sebuah jembatan tali usang yang sudah hampir putus.

Dengan penuh ketenangan, Tetsuya berjalan hingga ke tengah-tengah jembatan, yang kemudian mulai terayun ke kanan dan ke kiri seolah-olah akan putus. Ia membungkuk ke arah sesuatu yang berada di seberang jurang, memasang anak panah ke busurnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang asing itu, mengangkatnya ke atas hingga sejajar dengan dada, kemudian menembak.

Bocah laki-laki dan orang asing itu melihat bahwa, dua puluh meter di sana, anak panah itu telah tertancap pada sebuah peach.

‘Engkau mengenai sebuah ceri, aku mengenai sebuah peach,’ kata Tetsuya sembari berjalan kembali dari tengah jembatan ke tepian yang aman. ‘Ceri itu lebih kecil. Engkau menembak sasaranmu dari jarak empat puluh meter, aku menembak dari setengah jarak itu. Engkau pun semestinya mampu melakukan seperti apa yang baru saja kulakukan. Berdiri di sana, di tengah jembatan, dan lakukanlah seperti yang baru saja kulakukan.’

Orang asing itu, dengan penuh ketakutan, berjalan ke tengah jembatan usang itu. Ia membeku menyaksikan betapa dalam jurang di bawah kakinya. Dilakukannya ritual gestur yang sama dan menembak ke arah pohon peach, namun anak panahnya meleset.

Ketika ia telah kembali ke tepi jurang, wajahnya pucat pasi.

‘Engkau memiliki keahlian, kualitas dan postur,’ kata Tetsuya. ‘Engkau memiliki teknik yang bagus dan engkau pun telah menguasai busurmu, namun engkau belum mampu menguasai pikiranmu sendiri. Engkau tahu bagaimana menembak ketika keadaan mendukung, tetapi bila engkau berada dalam situasi berbahaya, kau tak mampu mengenai sasaranmu. Seorang pemanah tidak selalu bisa menentukan medan pertempuran, jadi mulailah kembali latihanmu dan bersiaplah untuk situasi-situasi yang tidak menguntungkan. Teruslah di jalan busur, sebab itu adalah perjalanan sepanjang hidup, namun ingatlah bahwa tembakan yang baik dan akurat sangat berbeda dengan tembakan yang dilakukan dengan jiwa yang damai.’

Orang asing itu membungkuk dalam, memasukkan kembali busur dan anak panahnya ke dalam tas panjang yang dibawanya di pundak, lalu pergi.

Di perjalanan pulang, si bocah laki-laki merasa amat senang karena kemenangan.

‘Engkau telah memperlihatkan padanya, Tetsuya! Engkau benar-benar adalah yang terbaik!’

‘Kita tidak sepantasnya menilai orang tanpa terlebih dahulu belajar mendengarkan dan menghormati mereka. Orang asing itu adalah orang baik; ia tidak mempermalukanku atau berusaha membuktikan bahwa ia lebih baik daripada aku, walaupun ia mungkin terlihat seperti itu. Ia hanya ingin menunjukkan kemampuannya agar memperoleh pengakuan, meskipun ia terlihat seperti menantangku. Lagipula, menemui ujian tak terduga adalah bagian dari jalan busur, dan itulah yang telah orang asing itu izinkan aku melakukannya hari ini.’

‘Ia bilang bahwa engkau adalah pemanah terbaik, dan aku bahkan tak tahu bahwa engkau adalah seoarng ahli memanah. Mengapa engkau bekerja sebagai tukang kayu?”

‘Sebab jalan busur berlaku untuk semua hal, dan impianku adalah bekerja dengan kayu. Lagipula, pemanah yang mengikuti jalan itu tidak memerlukan busur atau anak panah atau sasaran tembak.’

‘Tiada hal menarik yang pernah terjadi di desa ini, dan tiba-tiba saja di hadapanku berada seorang master dari suatu seni yang tiada seorangpun lagi yang peduli,’ kata anak itu dengan mata berbinar-binar. ‘Apakah jalan busur itu? Maukah engkau mengajarkannya kepadaku?’

‘Mengajarkannya tidaklah sulit. Aku bisa melakukannya tak sampai sejam, sementara kita berjalan pulang ke desa. Hal sulitnya adalah memeraktikkannya setiap hari, sampai engkau mencapai presisi yang diperlukan.’

Mata bocah laki-laki itu terlihat memohon kepadanya untuk berkata iya. Tetsuya berjalan dalam diam selama hampir lima belas menit dan ketika kemudian ia berbicara, suaranya terdengar lebih muda.

‘Hari ini aku sedang ringan hati. Demi menghormati laki-laki yang, bertahun-tahun lalu, menyelamatkan hidupku, akan kuajarkan padamu aturan-aturan yang diperlukan, namun tidak lebih dari itu. Bila kau memahami apa yang kusampaikan, kau boleh menggunakannya sesukamu. Sekarang, beberapa menit yang lalu, kau menyebutku seorang master. Apakah master itu? Kukatakan bahwa ia bukanlah seseorang yang mengajarkan sesuatu, melainkan seseorang yang menginspirasi muridnya untuk melakukan yang terbaik yang mampu dilakukannya untuk menemukan pengetahuan yang sesungguhnya telah berada di dalam jiwanya sendiri.’

Dan sembari mereka berjalan turun dari pegunungan, Tetsuya menjelaskan jalan busur.

Satu Langkah (Yang Terakhir) Menuju Kebebasan


“Kematian. Itulah yang menanti di ujung sana. Pada akhirnya kita semua akan sampai di sana. Bagaimana engkau berjalan ke sana, itulah yang lebih penting. Itulah hidup, kawanku.

“Kebanyakan orang menghabiskan waktu mencoba menerka-nerka wajah kematian. Mereka melukiskannya di dalam kepala, menggambarkannya di rambu-rambu jalan raya, untuk menghindarinya dalam perjalanan. Mereka menciptakan ilusi rasa aman dari ancaman bahaya kematian dalam masyarakat. Namun sesungguhnya yang mereka lakukan hanyalah membelenggu jiwa mereka sendiri.

“Kematian adalah kematian, kawanku. Bagaimanapun caranya, kematian adalah kematian. Tak perlu engkau menenggelamkan hidupmu dalam bayang-bayangnya. Pada akhirnya, kita semua akan bertemu dengannya, dan menatap wajahnya secara langsung.

“Sementara itu, berjalanlah dengan sungguh-sungguh. Hiduplah dengan sungguh-sungguh. Mencintailah dengan sungguh-sungguh. Kita adalah jiwa-jiwa yang dibebaskan oleh takdir. Mengembaralah sebebas burung-burung terbang di langit, selepas ikan-ikan berenang di samudera. Mencari kehidupan yang utuh tanpa perlu berburuk sangka pada kematian.”

Apakah aku pernah bertemu seseorang yang mengatakan semua itu padaku? Mungkin kata-kata itu hanya ada dalam khayalanku saja.

Tetapi aku pernah bermimpi. Di dalam mimpi itu, aku jatuh, dan aku takut sekali. Namun dalam mimpi itu juga, aku terbang, dan aku merasa benar-benar hidup[1].
~
Taft Point

Aku menyelami diriku, di puncak tebing granit yang menjulang 3500 kaki[2] (sekitar 1000 meter)  dari dasar lembah. Betapa menakjubkan pemandangan yang kusaksikan dari tempatku itu. Jenis pengalaman yang akan membuatmu menciut hingga sekecil-kecilnya. Tak lebih besar daripada semut-semut yang merayap di permukaan tanah dan di balik bebatuan. Bahkan bisa jauh lebih ciut lagi hingga engkau kan merasa seolah-olah dirimu itu tiada.

I just love any place that I can sit in the sun and feel the warmth of the sun's rays, and feel the connection to the planet, really tapping into how small I am and really how insignificant I am in comparison to the universe.[3]

Formasi menara-menara granit raksasa berdiri di sepanjang lembah, seperti prajurit yang selalu setia menjaga lembah itu dari apapun saja yang dapat merusak keindahan alaminya. Mereka berdiri kokoh menyandang kebesarannya, namun di saat yang sama seolah-olah bersujud pada kekuatan mahadhsyat yang telah menciptakannya. El Capitan membenamkan separuh wajahnya di dalam Bumi. Half Dome berlutut membungkuk merendahkan dirinya di antara Tenaya Creek, danau Cermin. dan sungai Merced yang mengalir di sepanjang lembah. Dari sungai itu, bersemilah keindahan lembah Yosemite yang menenggelamkanku dalam pengalaman meniada.

Petang itu, matahari terbenam di wajah El Cap. Angin katabatik[4] menyapu permukaan Bumi, meluncur menuju ke dasar lembah. Angin-angin itu kadang bersinggah sejenak menyapa punggungku. Aku yang duduk di atas sebongkah batu menghadapi lembah dan sedang ternggelam dalam lamunan membayangkan diriku melayang melintasinya, tiba-tiba saja tergugah oleh dingin yang mengelus pundakku.

“Sebentar lagi malam, kawan.” Angin katabatik berbisik lirih sebelum kemudian melompat dari bibir tebing dan meluncur ke dasar lembah.

Kukenakan jaketku sembari menatap siluet wajah El Cap dalam keremangan petang yang menenggelamkan matahari semakin dalam. Lalu kenyataanku berganti kepada wajahmu.

Ada gejolak yang membeku di dalam diriku seperti magma yang membatu[5]. Menatap wajahmu, kala itu, memicu sesuatu yang seperti mampu menggerakkan lempeng-lempeng kerak Bumi hatiku, melipatnya, mematahkannya, menimbulkan dorongan seperti yang membuat El Cap dan Half Dome menyeruak dari dalamnya. Melalui waktu, melewati masa-masa ketika es menimbun permukaan Bumi hingga meleleh kembali, perasaan itu selalu berada di situ, dan sebagaimana lelehan gletser mengikis tanah lalu mengendapkannya di dasar lembah, semakin jelas ia menjelma di kesadaranku[6]. Sejelas bintang-bintang terlihat di permukaan danau Cermin yang tenang.

Sesuatu bergemuruh dalam keremangan yang kian pekat, bergema di dinding-dinding lembah. Apakah itu suara Yosemite Falls, Bridalveil, Ribbon, Horese Tail, Sentinel, dan air terjun-air terjun lainnya yang mencurahkan air mereka kepada Merced, ataukah itu gemuruh dari dalam diriku sendiri? Tetapi memandangi lembah itu di bawah bayang-bayang senja seakan-akan aku sedang menatap matamu yang jernih dalam balutan senyumanmu yang magis.

Maka aku berdiri kemudian mulai melangkah pelan menuju tepian yang kian memperjelas padaku betapa dalam lembah itu. Semakin terdengar gemuruh itu. Semakin keras jantungku berdebar. Semakin aku gemetar seiring langkah yang membawaku mendekat ke tepian. Pada titik tertentu, cukup dekat dengan bibir jurang, aku berhenti lalu memungut batu segenggaman tangan. Nafasku sudah tak beraturan, namun kucoba untuk tetap menguasai diri.

Kulemparkan batu itu melewati bibir jurang, lalu aku menunggu. Sepuluh detak jantung—enam detik  menurut jam tanganku—kemudian terdengarlah suara batu itu membentur sesuatu di bawah sana, di kaki tebing. Itu, sekiranya, adalah waktu yang cukup untuk terbang[7]. Tetapi, apakah aku akan dapat melakukannya?
~

Before the deed comes the thought. Before the achievement comes the dream. Every mountain we climb, we first climb in our mind.[8]

Dan, malam itu, aku mengunjungi kembali mimpiku. Sudah berkali-kali aku memimpikan hal yang sama. Di dalam mimpi itu aku terbang, bebas, sebebas burung-burung gagak mengembara di langit lembah Yosemite. Namun di dalam mimpi itu pula aku jatuh menuju kematianku. Aku tak ingin mati. Aku takut sekali membayangkan bagaimana wajah kematian. Dan aku jadi selalu bertanya-tanya kepada diriku sendiri, apakah aku akan memiliki cukup keberanian untuk menghadapi rasa takut dan bayang-bayang wajah kematian demi melakukan hal yang paling indah, seindah gagak-gagak[9] yang terbang bebas di langit sore, dalam kehidupanku?

Ketika terbangun, aku seperti baru saja berlari bermil-mil jauhnya hingga nafasku hampir tak sanggup memburu. Tetapi kembali, aku teringat akan senyummu yang ajaib itu. Yang bagiku tak kalah ajaibnya dibanding keindahan lembah Yosemite, tempat di mana aku selalu merenungi kehidupan yang terpantul di permukaan danau Cermin. Dan menatap matamu selalu seperti aku sedang menyaksikan galaksi Bimasakti dalam refleksi danau Cermin. Betapa kecil aku ini. Seperti setitik debu yang terbawa angin melintas di hadapanmu. Jangan sampai aku menodai keindahanmu. Biarlah terbawa angin dan terdampar di selokan.

 Bimasakti di Mirror Lake
~

Apa yang selalu kujumpai di dalam mimpi-mimpiku selalu kukunjungi kembali hampir setiap hari. Akan kutempuh jalan setapak berbatu yang mendaki menuju Taft Point. 3500 kaki di atas lantai lembah, aku akan menenggelamkan diri dalam pertarungan antara kekuatan dan kelemahanku. Pertarungan abadi yang kan selalu berlangsung dalam diri setiap orang, tetapi mungkin tidak semua orang menyadarinya.

Seekor gagak terbang melintas. Bayangannya berkelebat menyapu lantai granit yang berkilau keemasan ditimpa cahaya matahari. Lalu kutemukan bayang-bayang tubuhku sendiri di situ.
Aku terpesona oleh gagak itu. Ingin bisa sepertinya. Bebas. Terbang melintas di atas kenormalan dunia di mana begitu banyak orang hanya separuh hidup[10].

Kurasakan hangatnya cahaya terakhir matahari senja menimpa punggungku dan pandanganku terpatri pada bayang-banyangku sendiri. Kuikuti garis tepian bayang-bayang itu pada lantai granit di hadapanku, lalu perlahan-lahan kurentangkan kedua tangan seolah-olah mereka adalah sayap-sayapku. Kupejamkan mata. Aku merasakan, betapa indahnya eksistensiku di dunia itu, dan tenggelam di dalamnya[11].

Tetapi aku tak pernah mendengar suaramu kecuali yang sayup-sayup terbawa angin dan hinggap di telingaku. Aku tak pernah mengenalmu sebagai engkau yang sesungguhnya selain dalam angan-angan. Angan-angan yang kuciptakan sendiri dari lukisan-lukisan dirimu yang sempat ditinggalkan waktu dalam kenangan-kenangan samar.

Sabagaimana aku baru bisa mengada di dunia itu dalam khayalan ketika memejamkan mata saja. Aku tak pernah benar-benar mengambil langkah terakhir yang kan membawaku terjun ke dalam enam detik yang mungkin akan membawaku terbang bebas atau hancur berkeping-keping membentur tebing granit. Begitulah aku berdiri saja di tepian, selangkah di belakang lompatan yang selalu kubayang-bayangkan dapat membawaku terbang dalam kebebasan, menenggak kehidupan yang sepenuhnya, utuh, tanpa perlu terbelenggu oleh rasa takut akan bayang-bayang kematian.
~

Seperti katanya. “Ia akan selalu ada di sana. Tak terdefinisikan, dan tak perlulah engkau medefinisikannya. Tetapi jangan sekedar berdiri di situ saja. Ambillah setiap langkah itu, dan melangkahlah dalam kehidupan yang seutuhnya tanpa perlu membelenggu diri dalam ketakutan yang merenggut kebebasan yang dianugerahkan takdir kepadamu.”

Namun orang-orang telah membelenggu dirinya dalam ilusi bahwa kebebasan mesti didefinisikan secara konkrit, dan diterapkan dalam kehidupan yang nyaman dan aman, jauh dari bahaya risiko-risiko. Mereka menciptakan lingkaran yang mendefinisikan kehidupan yang pantas dan berkumpul di tengah-tengahnya, berusaha tidak mendekati batas lingkaran itu, bahkan melarang orang-orang mendekati batas itu.

Mereka terjerat oleh rasa takut akan yang tidak mereka ketahui, padahal kehidupan adalah hamparan berbagai hal yang hanya sedikit saja di antaranya yang kita ketahui. Padahal di tepian lingkaran itu, dan di luar itu, adalah berbagai hal yang mampu membuat kita merasakan betapa kehidupan adalah segala sesuatu yang kan membuat kita merasa sedemikian ciut hingga hampir-hampir tiada. Dan itulah yang akan membuat kita merasa benar-benar utuh sebagai eksistensi yang nyaris nihil.

Instead of the god of security, we bow to the greater god of freedom, the freedom to take risks and master danger in order to be intensely alive.[8]

Maka suatu hari, ketika matahari telah terbenam hingga yang tersisa tinggal semburatnya di cakrawala, kuambil langkah terakhir itu dan melayang menuju kebebasanku.

 

Antara keberadaanku dan keberadaanmu terhampar takdir yang menjadi tabir akan rahasia-rahasia di balik wajah kehidupan dan bayang-bayang kematian. Betapa selama ini aku telah demikian bodoh berusaha mendefinisikan apa yang sesungguhnya tak pernah akan mampu kuketahui sebelum melangkah ke dalamnya.

I don't want to die, but I'm ok putting it all out there for the most beautiful expression of my life.[3]
~

“Mencintai adalah menyelami misteri di lubuk takdir. Melepaskan diri dari nyamannya ilusi kepastian yang membelenggu kebebasan jiwa. Satu-satunya yang menggenggam jiwamu adalah takdir, selebihnya engkau bebas sebebas burung-burung mengembara di langit. Mereka bebas bukan karena memberontak terhadap ketetapan takdir, melainkan karena mereka mampu menyelaminya dan menyelaraskan jiwa mereka dengannya.

“Di sati sisi, kepasrahan total. Di sisi lain, pergelutan tak kenal lelah, dengan kreativitasmu dan keberanianmu dalam mempertanyakan setiap ilusi mengenai batas-batas kewajaran yang normal. Betapa kita sering terjebak membeda-bedakan dan memisahkan keduanya, padahal keduanya hanyalah sisi-sisi dari kepingan yang satu, bernama takdir.

“Ketika akhirnya kau benar-benar terjun, pada momen itulah kehidupan menjadi utuh. Pada momen itulah cinta menemukan maknanya. Ia adalah takdir dan engkau adalah jiwa yang bebas. Pada momen itu, segala risiko dan rasa takut menguap menjadi kabut lalu memudar bersama angin.

“Yang menanti di masa depan adalah kepastian yang tak terdefinisi, maka tak perlu engkau mendefinisikannya. Yang berlalu ke masa lalu adalah pengalaman yang kan mengalir memenuhi lubuk-lubuk hatimu, maka biarlah menjadi kenangan dalam ruang refleksi dan kontemplasi jiwamu. Sekarang adalah kenyataan yang utuh, yang engkau maknai sekaligus yang memaknai eksistensimu. Engkau menatap kehidupan. Kehidupan menatapmu. Engkau dan kehidupan adalah satu.

"Dan mungkin, pada momen itu pula, engkau akan melihat betapa kehidupan dan kematian adalah satu.”
~ 
IN MEMORY of
DEAN POTTER & ROYAL ROBBINS

Jogjakarta, 17-18 Maret 2017
________________________
 Catatan:
[1]: Dean Potter mengaku sering bermimpi dirinya terbang dan jatuh.
[2]: Ketinggian Taft Point, tempat dari mana Dean Potter (bersama Graham Hunt, kawannya) melakukan lompatan BASE Jumping-nya yang terakhir pada Sabtu petang 16 Mei 2015 sekitar pukul 19:25 waktu setempat (http://www.mensjournal.com).
[3]: Dean Potter (http://www.azquotes.com).
[4]: Angin katabatik adalah angin yang ditimbulkan oleh pergerakan udara berkerapatan tinggi yang berhembus dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat gaya gravitasi (https://en.wikipedia.org). 
[5]: Mencoba mengacu pada proses terbentuknya batuan granit (http://geology.com). 
[6]: Mencoba meniru gambaran bagaimana proses lembah Yosemite terbentuk (http://www.yosemite.ca.us)
[7]: Enam detik adalah selang waktu ketika sebongkah batu dijatuhkan dari atas Taft Point sejak ia dijatuhkan hingga membentur sesuatu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Chris MacNamara dalam mensjournal.com (http://www.mensjournal.com), yang -juga menurut MacNamara- adalah selang waktu yang cukup bagi seorang wing-suit BASE jumper untuk melakukan initial free fall-nya sebelum kemudian pakaiannya mengembang sehingga ia dapat melayang di udara.
[8]: Royal Robbins (http://www.azquotes.com).
[9]: Dean Potter agaknya mengagumi burung gagak (raven). Ia sering memunculkan burung ini dalam tulisan-tulisannya seperti dalam The Call (http://www.alpinist.com) maupun dalam kutipan-kutipan kata-kata inspiratif darinya (http://www.azquotes.com). Bobbijo Swachin, dalam Chasing The Ravens: 6000 Miles on the Wings of Dean Potter di http://mojagear.com bahkan menjuluki Dean Potter sebagai The Raven.
[10]: Mengacu pada "Entranced by the flight of a raven, I watch its shadow move effortlessly against golden, shimmering granite. I long to be that free, flying above the cluttered world of normalcy, where so many are half alive." dari Dean Potter (http://www.azquotes.com).
[11]: Mengacu pada: "Calmly spinning, I scan as far away as I can see. The last rays of the day's sun warm my back and my stare locks onto my own shadow. I follow the lines of my body on the stone in front of me, spreading my arms as wings, and bathe in the beauty of existence." dari Dean Potter (http://www.azquotes.com).

Gambar:
1. http://news.nationalgeographic.com [Dean Potter memanjat "Haven" (2000 kaki) secara free solo (tanpa menggunakan tali sebagai pengaman) dengan latar belakang Half Dome. Foto: MIKEY SCHAEFFER]
2. http://yourshot.nationalgeographic.com [Sunset di Taft Point. Foto: MICAHEL THOMAS]
3. https://i.imgur.com
4. http://www.hcn.org [Dean Potter melakukan Wing-suit BASE Jumping. Foto: DREW KELLY]

Ritual Pagi

~
1 
Matahari hendak terbit 

Sebagaimana sudah menjadi kewajibannya selalu, matahari senantiasa terbit waktu pagi hari. Tiada yang mengetahui pasti apakah pagi yang menerbitkan matahari ataukah matahari yang terbit membawa pagi dan hari baru bersamanya. Kita sudah terlalu terbiasa dengan kenyataan itu setiap hari sehingga merasa tidak perlu terlalu memikirkannya. Sudah seperti itulah memang kewajarannya. Matahari terbit dan pagi hari adalah suatu kesatuan fenomena alami.

Pagi itu ia pun terbit seperti biasanya. Pertama-tama ia menebar semburat cahaya remang-remang di langit sebelah timur sebagai semacam prolog sebuah cerita. Sebuah intro yang mengawali proses penampakannya. Pertanda bagi berbagai mahluk yang tersebar di permukaan bumi, termasuk manusia. Mungkin mereka harus melakukan sesuatu sebelum dirinya terbit. Ayam-ayam jantan, misalnya, selalu saja jadi semakin ramai berkokok pada waktu itu. Dan manusia biasanya terbangun karena itu.

Meskipun begitu, matahari menyaksikan bahwa semakin lama semakin banyak manusia yang masih tetap tertidur pulas bahkan hingga dirinya telah sampai di titik tertinggi peredarannya dalam suatu hari. Tak sedikit pula yang tetap tertidur sampai ia sudah mulai turun ke ujung barat cakrawala, dan bahkan ada juga yang tertidur sepanjang hari. Ia sesungguhnya tidak punya pendapat apa-apa mengenai itu. Ia hanya mengamat-amati saja, sembari menjalankan perannya. Begitulah. Matahari senang mengamat-amati apa yang terjadi di atas panggung pentas kehidupan di permukaan bumi.

Dan pagi itu, ia sempat mengamati suatu peristiwa yang belum pernah disaksikannya secara lengkap dari awal. Mungkin bukan peristiwa yang begitu penting. Namun bagaimanapun, matahari yang ketika itu masih mengintip-intip saja dari balik punggung pegunungan, memang selalu senang mengamati sesuatu yang tidak biasanya. Perkara apakah itu penting atau tidak bukanlah sesuatu yang berhak diputuskannya. Ia pun tak perlu menimbang-nimbang dan memikirkan itu. Ia hanya mengamati saja.

Bagaimana ada seorang laki-laki muda mengayuh sepeda menembus kabut embun pagi yang masih mengambang gamang di udara yang tanpa angin di atas rerumput, di antara pepohonan, di atas petak-petak ladang, maupun di jalan-jalan raya yang sepi. Pepohonan pinus yang rimbun terkadang menutupi pandangannya, namun melalui celah-celah kanopinya ia masih dapat mengikuti ke mana laki-laki itu melesat dengan kecepatan tinggi.

Semakin terlihat jelas bagaimana laki-laki itu seperti terburu-buru sehingga tak pernah mengurangi kecepatan kayuhannya barang sejenak ketika ia telah keluar dari daerah hutan pinus yang rimbun dan mulai melaju di antara petak-petak ladang. Jalan yang landai menguntungkannya. Dan laki-laki itu ternyata memang menuju ke daerah pesisir pulau yang dari kota terdekat, yang diperkirakan matahari sebagai kota asal laki-laki itu, memang senantiasa melandai kontur daratannya.

Sesekali lelaki itu menoleh dan melirik melewati bahunya, ke arah puncak pegunungan di mana matahari biasanya terbit, dan setiap kali itu pula ia akan semakin berusaha untuk lebih cepat mengayuh sepedanya. Mungkin saja ia sudah hampir terlambat menepati suatu janji. Entahlah. Matahari tidak ingin sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Ia hanya tertarik untuk menyaksikan bagaimana segala kemungkinan itu terkuak nantinya. Sementara itu, ia melongo sedikit lebih tinggi lagi di atas punggung pegunungan.

Sesampainya di dekat garis pantai, laki-laki itu melompat dari sepedanya. Sepeda itu terus saja meluncur hingga akhirnya rebah tergeletak di atas rerumput liar basah. Rodanya masih terus berputar. Sementara laki-laki itu melanjutkan dengan berlari mengikuti jalan setapak berbatu yang menanjak ke arah puncak sebuah bukit tanjung yang di ujungnya terdapat jurang terjal yang di bawahnya bergolak lautan dengan ombak-ombak raksasanya yang menghempas-hempas karang.

Debur memecah gelombang menjadi buih-buih putih yang mendesis. Laki-laki itu berlari. Beberapa kali terpeleset dan tersandung, namun ia tetap saja terus berlari. Sekawanan camar berkeliaran mencari ikan di sekitar tanjung itu. Mereka pun terlihat mulai membagi perhatiannya antara mencari ikan yang semakin sulit ditemukan dan mengamati lelaki muda yang berlari hingga ke puncak tanjung itu. Seperti matahari, mungkin mereka pun gemar mengamati peristiwa semacam itu.

~
2 
Camar-camar kelaparan 

Di tengah-tengah kesibukan mereka mencari ikan di bawah permukaan laut di sela-sela gelombang, camar-camar itu mulai menemukan peristiwa lain yang cukup menarik perhatian. Seringkali bahkan lebih menarik daripada melulu memelototi lautan yang sepi akan ikan. Mereka tentu saja tetap sesekali memicingkan mata menembus permukaan laut untuk melihat siapa tahu ikan-ikan yang belakangan semakin sulit ditemukan ada yang kebetulan terbawa arus ke teluk itu. Namun menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh lelaki yang baru saja sampai di puncak tanjung itu selalu menjadi semacam hiburan selingan yang cukup menarik untuk sejenak mengusir kejenuhan mereka dalam mencari ikan.

Ikan-ikan telah semakin jarang terlihat di sekitar teluk itu dalam tahun-tahun belakangan. Kian hari kian sulit bagi kawanan mereka untuk dapat menangkap ikan. Bila dahulu mereka bisa mendapatkan cukup ikan dalam setengah hari saja sehingga sisanya dapat mereka habiskan untuk bermain-main bersama kawanan, akhir-akhir ini mereka harus terus berputar-putar saja sepanjang hari untuk bisa mendapatkan ikan untuk disantap. Itu pun tidak sebanyak dulu.

Bahkan desa nelayan yang dahulu ramai di teluk itu kini nyaris kosong sama sekali karena hampir semua nelayan kini telah berhijrah ke pedalaman pulau. Jika biasanya camar-camar dapat mencuri-curi ikan dari perahu-perahu nelayan yang pulang melaut. Kini hal tersebut hampir mustahil lagi. Tinggal tersisa satu orang nelayan yang tinggal di sebuah gubuk dekat pantai teluk itu, tetapi nelayan itu pun seringkali tidak lebih beruntung dari camar-camar. Cukup sering mereka melihat bagaimana perahu nelayan itu ketika pulang dari melaut tidak membawa seekor pun ikan melainkan onggokan sampah plastik yang memenuhi perahu kecilnya. Terkadang camar-camar itu pun merasa iba pada nelayan itu, tetapi biar bagaimanapun mereka adalah camar yang memang kerjaannya hanya mencari ikan untuk dimakan demi bertahan hidup.

Begitulah sehingga sebagian besar kawanan mereka telah memutuskan untuk bermigrasi ke tempat-tempat lain untuk mencari tempat yang terdapat cukup banyak ikan. Tetapi belum ada kabar akan tempat-tempat seperti itu dari angin maupun burung-burung pengembara yang kebetulan lewat. Karena itu mereka tetap di tempat itu saja sampai entah kapan mereka akan mendengar kabar tentang tempat yang lebih menjanjikan itu. Sementara itu, mereka sudah biasa berputar-putar mencari ikan sepanjang hari sambil sesekali bercanda dan bermain dengan kawanan.

Dan salah satu hiburan pertama yang selalu mereka nantikan menjelang pagi hari di sela pencarian mereka akan ikan adalah apa yang biasanya dilakukan oleh laki-laki itu. Tetapi tidak seperti biasanya, pagi itu ia datang agak terlambat. Selain itu, ia juga terlihat begitu terburu-buru sampai berlari-lari mendaki bukit tanjung itu. Mereka sudah sempat berpikir bahwa, pagi itu, tidak akan ada aksi dari si lelaki itu sebagaimana biasanya. Biasanya ia sudah berada di atas tebing tanjung itu sebelum matahari sempat muncul dari balik punggung pegunungan. Tetapi untunglah ia akhirnya datang juga meskipun lebih lambat daripada biasanya.

Mereka memekik-mekik untuk saling memberitahu camar-camar lain perihal kedatangan laki-laki itu, lalu mulai bertengger di igir-igir atau di pucuk-pucuk karang yang mencuat dari kedalaman laut. Begitulah mereka selalu menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu. Tak jarang pula dengan sedikit mengobrol sesama camar, sekedar mengomentari, bahkan ada yang bertaruh seekor dua ekor ikan.

Namun tentu saja laki-laki itu tidak pernah mengetahui obrolan camar-camar itu. Ia hanya akan mendengarnya sebagai pekik-pekik camar yang di antara debur dan desis ombak sekedar menjadikan suasana laut demikian lengkap mencekam dalam penghayatannya. Aroma laut menyatu dalam embun. Lelaki itu menghirupnya dalam-dalam. Langit di seberang samudera masih kelabu dan kelam. Lelaki itu biasanya berlama-lama mengurai satu-satu pengalamannya ketika berada di pucuk bukit tanjung itu, namun kali itu matahari sudah mulai menyembul sehingga ia tak bisa berlama-lama.

Camar-camar menyaksikan bagaimana laki-laki itu mulai menanggalkan pakaian luarnya, melipatnya dengan rapi, lalu meletakkannya di atas rerumput. Sedikit terburu-buru namun tetap hati-hati. Ia seperti tak ingin merusak momen sakral itu dengan ketergesa-gesaan.

Salah satu camar memekik karena melihat sebuah perahu nelayan meluncur pelan di atas gelombang. Nelayan itu akhirnya kembali juga dari melaut. Entah apakah kali ini ia berhasil mendapatkan tangkapan ikan atau tidak, namun camar-camar yang kelaparan sudah tidak sabar menunggu. Beberapa camar kelaparan segera saja terbang menuju perahu itu. Sebagian yang lain tetap di tempatnya untuk menyaksikan bagaimana laki-laki itu, setelah berdiri tegap mengangkat kedua tangannya, kemudian melompat dari bibir tebing, berputar dan bersalto seperti atlet loncat indah, kemudian menukik langsung ke dalam lautan yang bergolak di bawahnya.

~
3 
Nelayan sebatang kara 

“Aku mendengar suara sesuatu yang berat tercebur ke laut pagi itu.”

Kulihat mata nelayan itu menerawang jauh ke masa lalu. “Anda yakin dengan itu?”

“Aku sudah biasa mendengar debur suara ombak pecah menghantam karang dan tebing sehingga kenal betul dengan setiap detil suara semacam itu. Tetapi pagi itu aku mendengar suara yang sedikit berbeda di sela-sela pekik camar-camar yang bergegas menghampiri perahuku. Aku tahu itu adalah sesuatu yang berat jatuh tercebur ke laut.”

Semakin jelas kalau ini memang adalah kasus bunuh diri. Tetapi ada sesuatu yang masih terasa janggal, dan bagi seorang detektif yang sudah berpengalaman sepertiku, kejanggalan yang sulit dijelaskan biasanya adalah pertanda bahwa kasus tersebut sesungguhnya belum layak untuk disimpulkan dan dinyatakan selasai.

Tetapi sudah hampir sebulan berlalu sejak pemuda itu dilaporkan menghilang oleh keluarganya. Beberapa hari kemudian, sepeda pemuda itu ditemukan di kaki bukit tanjung, dan pakaiannya ditemukan di puncak tanjung dekat bibir tebing. Pihak berwenang memang sudah menutup kasus pemuda hilang itu dengan kesimpulan bahwa ia telah melakukan bunuh diri dengan terjun ke laut dari atas tebing, dan kasus itupun dinyatakan selesai. Mereka bahkan tidak melakukan operasi pencarian jasadnya sama sekali.

“Ikan-ikan mungkin sudah memakan habis tubuh itu. Kalau tidak, arus pasti sudah membawanya jauh ke tengah lautan. Apalagi, tanpa pakaian jasadnya tentu akan sulit terlihat di tengah lautan. Bukti-bukti petunjuk juga sudah sangat jelas sekali. Lagipula pihak keluarga pemuda itu juga sudah merelakan kepergiannya, meskipun lebih karena malu kepada khalayak, sebab bunuh diri anggota keluarga adalah aib besar bagi keluarga itu. Paling tidak, ini jadi menghemat biaya. Tak perlu biaya untuk operasi pencarian. Tak perlu biaya pemakaman. Dan berita bunuh diri itu pun tak perlu jadi berita besar-besaran.” Begitu kata atasanku di kepolisian.

Betapa kasihan pemuda itu. Tiada pemakaman baginya. Orang-orang memang menganggap orang yang bunuh diri tak pantas dibuatkan nisan sebab itu hanya akan menjadi prasasti kenangan buruk yang tak elok dikenang. Lebih baik membiarkan waktu saja yang menguburkannya dalam-dalam melebihi dalamnya kenangan yang terlupakan. Segala barang miliknya akan dibakar sampai menjadi abu. Tidak akan ada lagi cerita tentangnya. Bercerita tentang orang yang sudah mati karena bunuh diri adalah tabu.

Namun benarkah ia telah bunuh diri? Mengapa seseorang yang ingin bunuh diri mesti melepas pakaiannya, bahkan meletakkannya secara terlipat rapi di atas rumput? Kata atasan dan kawan-kawan detektifku, hal seperti itu memang terkadang dilakukan oleh orang yang hendak bunuh diri. Paling-paling karena kebiasaan saja. Tetapi aku masih menyimpan rasa penasaran mengenai kasus itu. Karena itulah kukunjungi lagi nelayan itu digubuknya, sebagai satu-satunya saksi atas kasus itu.

Ia adalah nelayan sebatang kara. Bahkan, ialah satu-satunya nelayan yang tersisa dari sekian banyak nelayan yang dulunya ada di berbagai desa nelayan di penjuru pulau. Hampir semua orang yang dulunya nelayan kini telah pindah ke kota di pedalaman pulau dan bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan tambang yang tak dapat kuceritakan lebih jauh mengenainya. Semuanya, kecuali laki-laki paruh baya itu, yang kini tinggal seorang diri dalam gubuknya di dekat pantai di teluk. 

Entah mengapa ia masih menjadi nelayan. Sebuah kenyataan kecil yang membuatku mulai penasaran dengan dirinya sehingga pertanyaan-pertanyaanku yang selanjutnya lebih banyak tentang nelayan itu.

“Menjadi nelayan adalah satu-satunya keahlian yang pernah kupelajari. Selain kawan-kawan sesama nelayan, laut adalah sahabatku dalam kehidupan. Ketika mereka semua memutuskan pindah ke pedalaman, aku merasa tak sanggup berpisah dengan laut sehingga aku memilih untuk tetap di sini. Belantara di pedalaman adalah daerah yang terlalu asing bagiku. Aku tak bisa berpikir akan dapat mempelajari keahlian lain selain berlayar, menjaring, memancing dan menangkap ikan.

“Bila kehidupan ini memang suatu saat akan kutinggalkan, aku ingin meninggalkannya dengan laut sebagai saksi. Aku ingin hidup bersama laut, atau mati dengannya di dekatku. Laut yang selama ini menghidupiku. Biarlah ia juga yang akan mengantarkanku menyeberang ke kematian.”

Nelayan itu mulai bercerita mengenai laut seolah-olah laut adalah mahluk hidup. Bagaimana ia sering bermain dan bercanda dengannya, atau kadang juga bertengkar dengannya. Tetapi laut, kata nelayan itu, akhir-akhir ini lebih sering murung dan bersedih. Ikan-ikan pun jadi semakin langka karena kesedihan laut semakin mendalam saja. Ia sudah pergi ke laut-laut jauh dan melihat kemurungan yang sama pada lautan.

Suatu ketika ia pernah sampai terdampar ke pulau yang mengambang terombang-ambing di tengah samudera. Pulau itu tidak terdiri dari tanah melainkan dari sampah-sampah plastik yang terbawa arus dari berbagai penjuru benua. Ia pun mengisi penuh perahunya dengan sampah-sampah itu lalu membawanya pulang sebagai tangkapan. Ia beranggapan bahwa jika laut sedang cukup ceria, maka ia akan memperoleh tangkapan ikan sebagai wujud kemurahan hati laut. Namun jika laut sedang bersedih, ia akan hanya mendapatkan sampah saja, dan mesti dibawanya pulang sebagai tangkapan pula.

“Di pagi hari ketika pemuda itu melompat ke laut, laut sedang murung-murungnya.” Kata nelayan itu.

“Apakah kemurungan laut beraitan dengan bunuh diri pemuda itu?” tanyaku padanya.
Ia menatapku lekat-lekat dengan sorot mata seperti orang yang hatinya terlukai. Aku merasa seolah telah mengatakan sesuatu yang menginggung perasaannya.

“Pemuda itu tidak bunuh diri, Tuan.”

“Apa maksud Anda? Bukankah ia melompat dari atas tebing? Ataukah ada seseorang yang telah mendorongnya?” Bagian itu belum pernah diceritakannya kepada para penyidik sehingga aku begitu penasaran untuk menggalinya lebih dalam. Kasus ini mungkin tidak seperti kasus-kasus lain yang biasa, pikirku.

“Tidak. Ia melompat atas kehendaknya sendiri. Begitulah yang dilakukannya selalu setiap menjelang pagi. Itu adalah semacam ritual ibadahnya”

Aku tak mengerti. Kucoba mencerna kembali setiap perkataan yang telah dilontarkannya. Berusaha memahami apa sesungguhnya maksud nelayan itu.

Tetapi nelayan itu lalu melanjutkan bicara. Sorot matanya kembali menerawang jauh. “Pemuda itu kadang berjumpa denganku di pantai setelah ia melakukan ritual lompatannya dan aku baru saja kembali dari melaut. Kami sempat berbincang-bincang. Bisa kulihat di matanya bagaimana ia juga telah demikian akrab dengan laut dengan cara yang hampir sama denganku.”

Ia berhenti bicara sejenak, namun kutahan dorongan untuk melemparinya dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai ritual yang dimaksudnya dan kubiarkan keheningan mengisi jeda itu saja. Ia mungkin hanya sedang mengumpulkan kembali kenangannya tentang pemuda itu untuk diceritakan. Aku harus sedikit lebih bersabar menghadapi nelayan yang sedang terbawa emosi itu.

“Setiap petang aku berangkat melaut dan menyerahkan kehidupanku kepada laut. Apa yang kuperoleh dari laut adalah apa yang akan kugunakan sebagai penyambung kehidupanku. Ketika laut memberiku tangkapan ikan, itulah kehidupan yang dianugerahkan laut kepadaku. Ketika laut tak memberiku apa-apa, itulah kehidupan yang dianugerahkan laut kepadaku. Ketika laut memberiku sampah, itulah juga kehidupan yang dianugerahkan laut kepadaku. Maka setiap pagi ketika kembali dari melaut, yang kubawa selalu adalah anugerah kehidupan dari laut.

“Begitu pula, setiap pagi, pemuda itu melompat dari tebing di atas tanjung ke dalam laut. Ia melakukan itu dengan kesadaran penuh sebagaimana aku setiap kali berangkat melaut. Bukan dengan niat untuk bunuh diri, melainkan untuk mempersembahkan hak hidupnya ke hadapan laut. Ia menyerahkan hidupnya kepada laut. Ketika kemudian ia berhasil berenang menepi ke pantai, itu, baginya, adalah pertanda bahwa laut masih mengizinkannya melanjutkan kehidupan dan dia akan menjalankannya sepenuh hati. Setiap hari diawalinya dengan mengembalikan hak hidupnya kepada laut, dan setiap hari laut mengembalikan hak itu kepadanya, dan ia menyukurinya dengan menjalani hari sepenuh hati.

“Pagi itu, laut hanya memutuskan untuk menerima dan menyimpan hidup pemuda itu saja, sehingga ia tak berhasil menepi kembali bersama nyawanya.”

~
4 
Aku 

Apa yang baru saja diceritakan nelayan itu kepadaku terus saja menghantui pikiranku sepanjang perjalanan kembali ke kota. Kukendarai sepeda motorku dengan pelan-pelan saja sambil membiarkan pikiranku mengembara di dunia yang begitu tak mudah dipahami.

Jelas, bila apa yang diceritakan nelayan itu memang benar adanya, pemuda itu memang telah melakukan aksi bunuh diri. Begitulah bila menggunakan penalaran akal sehat sebagaimana akal sehat pada umumnya. Ia telah mencoba bunuh diri berkali-kali namun tak pernah berhasil. Baru pagi itulah ia akhirnya berhasil menunaikan niatannya.

Namun, sebagaimana kata nelayan itu yang konon pernah diceritakan sendiri oleh pemuda itu kepadanya, niat pemuda itu dalam melompat dari atas tebing ke dalam laut ternyata tidak sesederhana niat untuk bunuh diri. Maka apakah kesimpulan dari penalaran akal sehat, bahwa pemuda itu telah melakukan bunuh diri, adalah suatu kesimpulan yang benar adanya?

Nelayan itu menggambarkan bagaimana aksi melompat ke laut dari atas tebing oleh pemuda itu, sebagaimana aktivitasnya sehari-hari sebagai nelayan, seolah-olah merupakan ritual spiritual. Hanya saja, ritual semacam itu bukanlah ritual yang umum di masyarakat, dan juga terlalu sulit diterima akal sehat umum. Namun, tidakkah hampir semua ritual spiritual itu memang tidak mudah dijelaskan dengan akal sehat umum?

Entahlah. Aku merasa tak sanggup menilai semua itu secara jernih. Dan, rasanya kejanggalan itu jadi kian membesar saja, namun aku merasa lelah dengan semua pemikiran ini. Mungkin lebih baik kubiarkan saja segalanya berjalan normal sebagaimana adanya.

Aku ingin segera pulang dan tidur saja.

~
5 
Akhirnya 

Nelayan itu menurunkan segundukan sampah plasik dari perahunya, kemudian membawanya ke dalam gubuknya. Ditumpuknya sampah itu di sudut paling dalam, yang paling gelap. Sampah-sampah itu kian hari kian memenuhi gubuknya. Tiada ikan hari ini. Tiada ikan kemarin. Tiada satu ekor ikan pun yang berhasil ditangkapnya dalam sebulan terakhir sejak pemuda itu tak berhasil kembali hidup-hidup dari lompatannya.

Ia menatap tumpukan sampah itu sambil menahan kesedihan di hatinya. Lalu ia kemudian membuka peti ikan yang ada di sudut lain ruangan dalam gubuknya. Tentu saja tiada seekor ikanpun di dalamnya. Tetapi ada potongan-potongan daging yang memang telah disimpannya sejak sebulan lalu. Diawetkan dengan teknik tertentu yang diketahuinya mampu membuat daging-daging maupun ikan-ikan yang disimpan di dalamnya bertahan lama sampai berbulan-bulan.

Daripada memakan plastik-plastik yang tak enak itu sebagaimana biasanya bila hasil tangkapannya hanya sampah plastik, ia memutuskan untuk memakan daging itu saja. Lagipula, lautlah yang memberikan itu padanya, yang berarti bahwa itulah anugerah dari laut untuknya sebagai penyambung kehidupan.

Laut menyimpan nyawa pemuda itu, dan memberikan tubuhnya kepada si nelayan.

~ 

Jogjakarta, 14 Maret 2017

Alam dan Aspirasi Hidup

Sebuah artikel jurnal penelitian membuatku berpikir: jika kamu ingin meminta donasi, lakukan di tempat-tempat yang bernuansa alami, misalnya taman atau tempat wisata alam, sebab hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa immersion (apa bahasa Indonesianya? Semacam perasaan tenggelam dalam suatu pengalaman atau hadir secara penuh dalam suatu pengalaman) terhadap lingkungan alami membuat seseorang cenderung lebih bermurah hati kepada orang lain.

Mungkin sudah banyak kita ketahui bahwa berada di lingkungan yang alami dapat bermanfaat banyak, misalnya membuat kita lebih rileks, jauh dari stres, lebih bahagia (greater well-being), lebih berenergi, bahkan lebih sehat jasmani, dan itu semua memang sudah didasari oleh hasil-hasil penelitian ilmiah (sebagaimana yang secara sekilas disinggung oleh Weinstein, Przybylski, & Ryan (2009) pada bagian pendahuluan artikel penelitian mereka yang akan diceritakan dalam tulisan ini). Namun, lebih dari itu, ternyata pengalaman berada di lingkungan alami juga dapat mempengaruhi aspirasi hidup (life aspiration) kita.

‘Aspirasi hidup’, hm… mungkin kurang begitu familiar sebagai istilah dalam bahasa Indonesia, sebab istilah tersebut memang sekedar alih-bahasa langsung dari bahasa Inggrisnya yaitu life aspiration. Kalau dijelaskan, mungkin istilah tersebut dapat diartikan sebagai sesuatu yang kita pandang bernilai dalam kehidupan ini sehingga dapat mempengaruhi tujuan-tujuan yang kita tetapkan serta bagaimana kita membuat keputusan dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penting dalam kehidupan. Value-laden goals, kalau kata Kasser (dalam Weinstein, dkk., 2009).

Secara umum, terdapat dua tipe aspirasi hidup, yaitu aspirasi intrinsik (intrinsic aspiration) dan aspirasi ekstrinsik (extrinsic aspiration). Kalau aspirasi intrinsik, sebagaimana dijelaskan oleh Weinstein, dkk. (2009), mengacu pada usaha mengejar tujuan yang sejalan dengan kebutuhan psikologis dasar (misalnya mencakup pertumbuhan pribadi (personal growth), intimasi (intimacy), komunitas (community)) yang sifatnya intrinsik, aspirasi ekstrinsik fokus pada usaha mengejar hal-hal yang bernilai secara eksternal yang dipandang akan meningkatkan penghargaan positif dari orang lain meskipun sebenarnya tidak secara inheren memuaskan (misalnya uang, ketenaran, dan penampilan yang keren).

Sedikit njlimet dengan penjelasan ala literatur ilmiah? Untung saja Weinstein dkk. (2009) juga menjelaskannya dengan cara lain yang mungkin akan lebih mudah dipahami. Sederhananya, aspirasi intrinsik mencerminkan orientasi nilai seseorang yang lebih mengarah kepada perilaku prososial atau perilaku yang lebih mengedepankan kebaikan bagi orang lain (prosocial and other-facused value orientation) sedangkan aspirasi ekstrinsik mencerminkan orientasi nilai yang lebih mementingkan diri sendiri (self-focused value orientation). Kedua macam tipe aspirasi hidup ini katanya sudah cukup banyak diteliti keterhubungannya dengan well-being (lihat Sheldon, Ryan, Deci, & Kasser, 2004) dan relevansinya dalam budaya di negara-negara Barat maupun Timur (Grouzet, dkk., 2005; Ryan, dkk., 1999).

Penelitian yang dilakukan oleh Weinstein, dkk. (2009) menguji hubungan antara pengalaman kontak psikologis atau immersion terhadap alam dengan aspirasi intrinsik dan aspirasi ekstrinsik seseorang. Immersion yang dimaksud mengacu pada seberapa “penuh” seseorang itu “hadir” dan “terlibat” dalam lingkungan yang dihayatinya. Lebih jauh, Weinstein, dkk. tidak sekedar menguji hubungan langsung antara immersion terhadap alam dengan dua tipe aspirasi hidup tersebut, namun juga menyelidiki kemungkinan pengaruh variabel mediator, yaitu feelings of personal autonomy (perasaan memiliki otonomi atau perasaan sebagai subjek yang otonom) dan feelings of relatedness to nature (perasaan terhubung dengan alam) dalam hubungan tersebut.

Otonomi diartikan sebagai perasaan bahwa seseorang dapat mengekspresikan dirinya dalam berperilaku, atau perasaan bahwa perbuatan yang dilakukannya itu sesuai dengan kehendak dirinya yang kompatibel dengan kepentingan atau nilai yang ada di masyarakat. Dalam Teori Self-Determination (Deci & Ryan, 2012) dijelaskan bahwa otonomi tidak secara khusus mengacu pada perilaku yang bebas sepenuhnya dari pengaruh orang lain maupun institusi sosial yang lebih tinggi, namun lebih berarti sebagai perilaku yang “dimiliki” dalam artian bahwa perilaku tersebut, entah bersumber dari dalam diri sendiri maupun atas tuntunan aturan sosial yang berlaku, terintegrasi dengan nilai-nilai, sikap, maupun kepercayaan yang sentral pada diri sendiri. Secara fenomenologis, otonomi dialami sebagai bentuk rasa keterhubungan dengan diri sendiri atau pengalaman yang kongruen dengan dorongan dari dalam diri dan bebas dari tekanan internal maupun eksternal. Sederhananya, otonomi adalah rasa “memiliki” terhadap perbuatan yang dilakukan.

Adapun alam, menurut beberapa tokoh (misalnya Kaplan, 1995; dan Walker, Hull, & Roggenbuck, 1998), dapat mempengaruhi pengalaman seseorang sehingga menjadi lebih terintegrasi melalui introspeksi dan perasaan koheren dalam diri. Selain itu, alam juga secara tidak langsung menyediakan semacam pengalaman alternatif yang menghindarkan seseorang dari perasaan tertekan oleh kehidupan sehari-hari (Stein & Lee, 1995). Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa konteks yang mendukung otonomi mampu memprediksi aspirasi intrinsik. Maka dari itu, Weinstein, dkk. (2009) kemudian menghipotesiskan bahwa immersion terhadap alam dapat dimediasi oleh perasaan otonomi dalam hubungannya dengan apirasi hidup seseorang (yang diprediksi akan lebih cenderung intrinsik daripada ekstrinsik).

Sementara itu, rasa keterhubungan dengan alam adalah seberapa jauh seseorang memandang bahwa dirinya juga merupakan representasi dari alam, atau memandang dirinya sebagai sesuatu yang terhubung secara intim dengan alam. Berbagai perilaku yang mengindikasikan aspirasi intrinsik, berdasarkan berbagai penelitian yang ditinjau oleh Weinstein, dkk. (2009), juga berhubungan dengan rasa keterhubungan dengan alam. Maka variabel keterhubungan dengan alam kemudian juga dihipotesiskan sebagai variebel mediator dalam hubungan antara immersion terhadap alam dengan aspirasi hidup seseorang (yang diprediksi akan cenderung intrinsik daripada ekstrinsik).

Secara umum, Weinstein, dkk. (2009) mengajukan hipotesis bahwa lingkungan alami, tidak seperti lingkungan buatan manusia, akan meningkatkan aspirasi intrinsik dan menurunkan aspirasi ekstrinsik seseorang sebab lingkungan alami mampu menghasilkan pengalaman otonomi maupun rasa keterhubungan dengan alam. Dalam penelitian yang dilaukan Weinstein, dkk. tersebut, aspirasi intrinsik diwakili oleh aspirasi hubungan interpersonal (relationship aspiration) yaitu orientasi terhadap usaha membangun hubungan baik dengan orang lain, dan aspirasi konstribusi terhadap komunitas (community aspiration) yaitu orientasi terhadap usaha berkontribusi terhadap komunitas sosial yang lebih besar. Sedangkan aspirasi ekstrinsik diwakili oleh aspirasi terhadap ketenaran (fame aspiration) yaitu kecenderungan untuk ingin menjadi pusat perhatian dan diterima oleh orang lain, dan aspirasi terhadap kekayaan (wealth aspiration) yaitu kecenderungan untuk memperoleh barang-barang maupun uang yang pada umumnya diasosiasikan dengan kekayaan. Weinstein, dkk. melakukan 4 studi eksperimental untuk menguji hipotesis mereka.

Pada studi 1, para partisipan secara acak ditempatkan dalam salah satu dari dua kondisi (alami: di mana mereka diperlihatkan gambar pemandangan alami, dan non-alami: di mana mereka diperlihatkan gambar pemandangan lingkungan non-alami seperti pemandangan kota). Sebelumnya, para partisipan telah diminta mengisi serangkaian kuesioner filler yang terselipi kuesioner aspirasi intrinsik dan ekstrinsik di dalamnya. Partisipan kemudian diperlihatkan gambar sesuai kondisi, disertai dengan mendengarkan skrip melalui headphone yang berfungsi sebagai panduan untuk memperdalam penghayatan terhadap gambar sehingga memperkuat sensasi pengalaman. Setelah itu mereka diminta untuk mengisi kuesioner untuk mengukur aspirasi intrinsik dan ekstrinsik mereka lagi, serta tingkat afek positif dan tingkat immersion.

Studi 1 menunjukkan bahwa partisipan yang ditempatkan dalam kondisi alami melaporkan aspirasi intrinsik yang lebih tinggi dan aspirasi ekstrinsik yang lebih rendah. Tingkat immersion (yang mengacu pada seberapa “penuh” seseorang itu “hadir” dan “terlibat” dalam lingkungannya) juga ditemukan menjadi variabel moderator antara kondisi lingkungan (alami atau non-alami) dengan perubahan aspirasi intrinsik maupun ekstrinsik. Semakin tinggi tingkat immersion seseorang terhadap kondisi alami, semakin tinggi pula peningkatan aspirasi intrinsiknya. Begitu pula, semakin tinggi tingkat immersion seseorang terhadap kondisi non-alami, semakin tinggi aspirasi ekstrinsik dan semakin rendah aspirasi intrinsiknya.

Studi 1 merupakan studi eksploratori, yang kemudian direplikasi pada studi 2, namun dengan tambahan variabel otonomi dan variabel keterhubungan dengan alam sebagai mediator. Prosedurnya sama dengan studi 1, namun dengan tambahan kuesioner yang mengukur keterhubungan dengan alam dan otonomi setelah manipulasi. Hasil analisis menunjukkan kesimpulan yang senada dengan studi 1, dan lebih lanjut, menunjukkan bahwa otonomi dan keterhubungan dengan alam sepenuhnya memediasi pengaruh immersion terhadap kondisi lingkungan (alami maupun non-alami) terhadap aspirasi intrinsik maupun ekstrinsik.

Studi 3 kemudian dilakukan dengan mengembangkan dua studi sebelumnya, di mana selain mengukur tingkat aspirasi (intrinsik maupun ekstrinsik) partisipan setelah diberi perlakuan, eksperimenter juga menyelidiki apakah perubahan aspirasi dalam wujud perilaku murah hati (generosity) dapat terjadi. Kemurah hatian dipandang sebagai indikator aspirasi intrinsik yang lebih tinggi daripada aspirasi ekstrinsik. Prosedur eksperimen yang dilakukan secara garis besar sama dengan pada studi 1 dan 2, namun dengan tambahan instruksi untuk mengambil keputusan dalam tugas pendistribusian dana (funds distribution task) setelah diberi perlakuan.

Berkaitan dengan tugas pendistribusian dana tersebut, para partisipan diminta untuk memutuskan apakah akan memberikan uang senilai $5 (yang merupakan hadiah atas partisipasinya) kepada partisipan lainnya atau tidak. Jika iya, maka partisipan penerima akan diberi uang senilai dua kali lipatnya ($10) untuk didistribusikan sesuai kehendaknya. Jika partisipan penerima tersebut mengembalikan separuhnya, maka kedua partisipan akan memperoleh masing-masing $5, namun jika tidak maka partisipan penerima akan mendapatkan $10 dan partisipan pemberi tidak akan mendapatkan apa-apa. Partisipan juga diberi tahu bahwa keputusan mereka tidak akan diketahui oleh eksperimenter, dan identitas partisipan penerima juga tidak akan diketahui oleh partisipan pemberi. Dengan kata lain, keputusan mereka bersifat pribadi dan rahasia.

Studi 3 tersebut menunjukkan hasil yang konsisten dengan studi-studi sebelumnya. Semakin tinggi tingkat immersion terhadap alam, partisipan melaporkan aspirasi intrinsik yang lebih tinggi dan aspirasi ekstrinsik yang lebih rendah. Di lain pihak, tingkat immersion terhadap konteks non-alami yang lebih tinggi membuat aspirasi ekstrinsik lebih tinggi sedangkan aspirasi intrinsik tidak berubah. Partisipan juga menjadi merasa lebih memiliki otonomi dan terhubung dengan alam sejalan dengan tingkat immersion terhadap alam, dan sebaliknya sejalan dengan tingkat immersion terhadap konteks non-alami. Pengalaman otonomi dan keterhubungan dengan alam juga sepenuhnya memediasi pengaruh tingkat immersion terhadap konteks (alami atau non-alami) terhadap aspirasi hidup. Immersion terhadap alam juga ditemukan mampu memprediksi keputusan yang lebih murah hati dalam tugas pendistribusian dana sebagai indikator akan aspirasi intrinsik yang lebih tinggi daripada aspirasi ekstrinsik.

Kemudian, pada studi 4, eksperimen yang serupa dilakukan, namun alih-alih dengan menampilkan gambar, kondisi yang disajikan berupa ada atau tidak adanya tanaman hidup dalam ruang eksperimen. Pada kondisi alami, ruang eksperimen dihiasi dengan beberapa tanaman hidup (yang bervariasi) dalam pot yang ditaruh di beberapa tempat, sedangkap pada kondisi non-alami tidak terdapat tanaman dalam ruangan yang serupa. Sebelum datang ke laboratorium, para partisipan mengisi kuesioner online untuk mengukur aspirasi intrinsik dan ekstrinsik pada malam sebelumnya. Para partisipan kemudian ditempatkan ke dalam salah satu dari dua kondisi yang ada (alami: ruang eksperimen dihiasi tanaman; atau non-alami: ruang eksperimen tidak dihiasi tanaman) secara acak. Di awal, partisipan diminta mengisi kuesioner filler, setelah itu kemudian diberi waktu 5 menit untuk relaksasi, kemudian diminta mengisi kuesioner untuk mengukur aspirasi intrinsik dan ekstrinsik, tingkat immersion, keterhubungan dengan alam, dan otonomi. Setelah itu, partisipan diberi tugas pengambilan keputusan dalam pendistribusian dana seperti pada studi 3.

Studi 4 ini juga menunjukkan hasil yang konsisten dengan studi-studi yang lain. Partisipan yang ditempatkan pada kondisi immersion terhadap lingkungan alami menunjukkan tingkat aspirasi intrinsik yang lebih tinggi, sementara mereka yang berada pada kondisi immersion terhadap lingkungan non-alami tidak mengalami perubahan tingkat aspirasi intrinsik. Mereka yang berada pada kondisi lingkungan non-alami menunjukkan tingkat aspirasi ekstrinsik yang lebih tinggi dan aspirasi intrinsik yang lebih rendah. Sebagaimana pada studi 2 dan 3, partisipan merasa lebih otonom dan terhubung dengan alam pada kondisi lingkungan alami dibanding pada kondisi lingkungan non-alami, dan pengalaman tersebut sepenuhnya memediasi pengaruh lingkungan terhadap aspirasi intrinsik dan ekstrinsik. Sebagaimana pada studi 3, immersion terhadap lingkungan alami memprediksi pengambilan keputusan yang lebih murah hati sementara immersion terhadap lingkungan non-alami menghambatnya, dan pengaruh tersebut juga dimediasi oleh perasaam otonomi dan keterhubungan dengan alam.

Jadi, apa sebenarnya yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut? Dalam diskusi penutup di akhir artikel, Weintein, dkk. (2009) mengungkapkan bahwa penelitian mereka memperluas dan memperkuat hasil berbagai penelitian sebelumnya terkait pengaruh lingkungan alami terhadap kebahagiaan (well-being) dan berbagai indikator yang menunjukkan keberfungsian positif (positive functioning) seseorang. Penelitian Weinstein, dkk. tersebut secara khusus menunjukkan peran tingkat immersion sebagai moderator dalam efek positif yang mungkin ditimbulkan oleh pengalaman berada pada lingkungan alami, yang salah satunya adalah peningkatan aspirasi intrinsik dan penurunan aspirasi ekstrinsik seseorang. Dengan kata lain, semakin dalam penghayatan seseorang terhadap pengalamannya berada di lingkungan alami, semakin besar efek positif yang terjadi padanya, dan efek tersebut di antaranya adalah semakin meningkatnya aspirasi intrinsik dan semakin menurunnya aspirasi ekstrinsik. Perubahan aspirasi hidup seseorang tersebut (aspirasi yang semakin cenderung intrinsik daripada ekstrinsik) membuat seseorang menjadi lebih murah hati (generous) terhadap orang lain. Weinstein, dkk. bahkan mengungkapkan bahwa penelitian mereka menunjukkan bahwa alam membuat seseorang lebih terhubung lebih dekat dengan orang lain, sementara lingkungan buatan manusia membuat seseorang cenderung lebih egois.

Lebih jauh, penelitian oleh Weinstein, dkk. tersebut juga dapat membuktikan hipotesis mengenai pengaruh lingkungan terhadap aspirasi hidup seseorang yang dimediasi oleh otonomi dan rasa keterhubungan dengan alam. Lingkungan yang alami ditemukan meningkatkan otonomi dan rasa keterhubungan dengan alam pada diri seseorang, sementara lingkungan yang tidak alami menurunkannya. Kedua hal tersebutlah (perasaan otonomi dan terhubung dengan alam) yang membuat seseorang kemudian menjadi lebih cenderung memiliki aspirasi hidup yang intrinsik daripada ekstrinsik, dalam artian bahwa ia menjadi lebih menghargai pertumbuhan pribadi (personal growth), intimasi (intimacy), dan rasa komunitas (community) daripada kekayaan (wealth), ketenaran (fame), maupun penampilan keren (self-image) sehingga ia menjadi lebih bermurah hati kepada orang lain. Temuan tersebut juga memperkuat pandangan mengenai alam sebagai tempat yang mampu memfasilitasi rasa otonomi (yang dalam banyak literatur sering disebut sebagai sense of self atau rasa sebagai diri sendiri yang otentik) dan meningkatkan keterhubungan (baik itu dengan alam secara keseluruhan maupun dengan sesama manusia yang dalam beberapa literatur diistilahkan dengan sense of community atau connection).

Ini membuatku teringat pada yang pernah dikatakan seseorang (atau orang-orang) bahwa kalau engkau ingin tahu (mengenali) diri seseorang yang sesungguhnya (one's true self), ajaklah dia bertualang naik gunung. Lihatlah ketika dia merasakan "tidak enaknya" petualangan itu, maka kira-kira itulah ekspresi dirinya yang sesungguhnya. Meskipun sebagian besar ilmuwan Psikologi Sosial katanya cenderung tidak memercayai (skeptis) bahwa seseorang memiliki 'diri sejati' atau 'diri yang sesungguhnya' (authentic self atau true self), namun konsep tersebut mungkin memang terlalu romantis untuk dibuang begitu saja.

~

Sumber utama:

Weinstein, B., Przybylski, A. K., & Ryan, R. M. (2009, October). Can Nature Make Us More Caring? Effects of Immersion in Nature on Intrinsic Aspirations and Generosity. Personality and Social Psychology Bulletin, 35(10), 1315-1329. doi: 10.1177/0146167209341649.

Sumber tambahan:

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2012). Self-Determination Theory. In P. A. Van Lange, A. W. Kruglanski, & E. T. Higgins (Eds.), The Handbook of Theories of Social Psychology (Vol. 1, pp. 416-437). Sage Publication Ltd.
 

Grouzet, F. M. E., Ahuvia, A., Kim, Y., Ryan, R. M., Schmuck, P., Kasser, T., et al. (2005). The structure of goal contents across 15 cultures. Journal of Personality and Social Psychology, 89, 800-816.
 

Kaplan S. (1995). The restorative benefits of nature: Toward an integrative framework. Journal of Environmental Psychology, 15, 169-182.
 

Ryan, R. M., Chirkov, V. I., Little, T. D., Sheldon, K. M., Timoshina, E., & Deci, E. L. (1999). The American Dream in Russia: Extrinsic aspirations and well-being in two cultures. Personality and Social Psychology Bulletin, 25, 1509-1524.
 

Sheldon, K. M., Ryan, R. M., Deci, E. L., & Kasser T. (2004). The independent effects of goal contents and motives on well-being: It’s both what you pursue and why you pursue it. Personality and Social Psychology Bulletin, 30, 475-486.
 

Stein, T. V., & Lee, M. E. (1995). Managing recreation resources for positive outcomes: An application of benefits-based management. Journal of Park and Recreation Administration, 13(2), 52-70
 

Walker, G. J., Hull, R. B., IV, & Roggenbuck, J. W. (1998). On-site optimal experiences and their relationship to off-site benefits. Journal of Leisure Research, 30, 453-471.