Pages - Menu

Ritual Pagi

~
1 
Matahari hendak terbit 

Sebagaimana sudah menjadi kewajibannya selalu, matahari senantiasa terbit waktu pagi hari. Tiada yang mengetahui pasti apakah pagi yang menerbitkan matahari ataukah matahari yang terbit membawa pagi dan hari baru bersamanya. Kita sudah terlalu terbiasa dengan kenyataan itu setiap hari sehingga merasa tidak perlu terlalu memikirkannya. Sudah seperti itulah memang kewajarannya. Matahari terbit dan pagi hari adalah suatu kesatuan fenomena alami.

Pagi itu ia pun terbit seperti biasanya. Pertama-tama ia menebar semburat cahaya remang-remang di langit sebelah timur sebagai semacam prolog sebuah cerita. Sebuah intro yang mengawali proses penampakannya. Pertanda bagi berbagai mahluk yang tersebar di permukaan bumi, termasuk manusia. Mungkin mereka harus melakukan sesuatu sebelum dirinya terbit. Ayam-ayam jantan, misalnya, selalu saja jadi semakin ramai berkokok pada waktu itu. Dan manusia biasanya terbangun karena itu.

Meskipun begitu, matahari menyaksikan bahwa semakin lama semakin banyak manusia yang masih tetap tertidur pulas bahkan hingga dirinya telah sampai di titik tertinggi peredarannya dalam suatu hari. Tak sedikit pula yang tetap tertidur sampai ia sudah mulai turun ke ujung barat cakrawala, dan bahkan ada juga yang tertidur sepanjang hari. Ia sesungguhnya tidak punya pendapat apa-apa mengenai itu. Ia hanya mengamat-amati saja, sembari menjalankan perannya. Begitulah. Matahari senang mengamat-amati apa yang terjadi di atas panggung pentas kehidupan di permukaan bumi.

Dan pagi itu, ia sempat mengamati suatu peristiwa yang belum pernah disaksikannya secara lengkap dari awal. Mungkin bukan peristiwa yang begitu penting. Namun bagaimanapun, matahari yang ketika itu masih mengintip-intip saja dari balik punggung pegunungan, memang selalu senang mengamati sesuatu yang tidak biasanya. Perkara apakah itu penting atau tidak bukanlah sesuatu yang berhak diputuskannya. Ia pun tak perlu menimbang-nimbang dan memikirkan itu. Ia hanya mengamati saja.

Bagaimana ada seorang laki-laki muda mengayuh sepeda menembus kabut embun pagi yang masih mengambang gamang di udara yang tanpa angin di atas rerumput, di antara pepohonan, di atas petak-petak ladang, maupun di jalan-jalan raya yang sepi. Pepohonan pinus yang rimbun terkadang menutupi pandangannya, namun melalui celah-celah kanopinya ia masih dapat mengikuti ke mana laki-laki itu melesat dengan kecepatan tinggi.

Semakin terlihat jelas bagaimana laki-laki itu seperti terburu-buru sehingga tak pernah mengurangi kecepatan kayuhannya barang sejenak ketika ia telah keluar dari daerah hutan pinus yang rimbun dan mulai melaju di antara petak-petak ladang. Jalan yang landai menguntungkannya. Dan laki-laki itu ternyata memang menuju ke daerah pesisir pulau yang dari kota terdekat, yang diperkirakan matahari sebagai kota asal laki-laki itu, memang senantiasa melandai kontur daratannya.

Sesekali lelaki itu menoleh dan melirik melewati bahunya, ke arah puncak pegunungan di mana matahari biasanya terbit, dan setiap kali itu pula ia akan semakin berusaha untuk lebih cepat mengayuh sepedanya. Mungkin saja ia sudah hampir terlambat menepati suatu janji. Entahlah. Matahari tidak ingin sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Ia hanya tertarik untuk menyaksikan bagaimana segala kemungkinan itu terkuak nantinya. Sementara itu, ia melongo sedikit lebih tinggi lagi di atas punggung pegunungan.

Sesampainya di dekat garis pantai, laki-laki itu melompat dari sepedanya. Sepeda itu terus saja meluncur hingga akhirnya rebah tergeletak di atas rerumput liar basah. Rodanya masih terus berputar. Sementara laki-laki itu melanjutkan dengan berlari mengikuti jalan setapak berbatu yang menanjak ke arah puncak sebuah bukit tanjung yang di ujungnya terdapat jurang terjal yang di bawahnya bergolak lautan dengan ombak-ombak raksasanya yang menghempas-hempas karang.

Debur memecah gelombang menjadi buih-buih putih yang mendesis. Laki-laki itu berlari. Beberapa kali terpeleset dan tersandung, namun ia tetap saja terus berlari. Sekawanan camar berkeliaran mencari ikan di sekitar tanjung itu. Mereka pun terlihat mulai membagi perhatiannya antara mencari ikan yang semakin sulit ditemukan dan mengamati lelaki muda yang berlari hingga ke puncak tanjung itu. Seperti matahari, mungkin mereka pun gemar mengamati peristiwa semacam itu.

~
2 
Camar-camar kelaparan 

Di tengah-tengah kesibukan mereka mencari ikan di bawah permukaan laut di sela-sela gelombang, camar-camar itu mulai menemukan peristiwa lain yang cukup menarik perhatian. Seringkali bahkan lebih menarik daripada melulu memelototi lautan yang sepi akan ikan. Mereka tentu saja tetap sesekali memicingkan mata menembus permukaan laut untuk melihat siapa tahu ikan-ikan yang belakangan semakin sulit ditemukan ada yang kebetulan terbawa arus ke teluk itu. Namun menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh lelaki yang baru saja sampai di puncak tanjung itu selalu menjadi semacam hiburan selingan yang cukup menarik untuk sejenak mengusir kejenuhan mereka dalam mencari ikan.

Ikan-ikan telah semakin jarang terlihat di sekitar teluk itu dalam tahun-tahun belakangan. Kian hari kian sulit bagi kawanan mereka untuk dapat menangkap ikan. Bila dahulu mereka bisa mendapatkan cukup ikan dalam setengah hari saja sehingga sisanya dapat mereka habiskan untuk bermain-main bersama kawanan, akhir-akhir ini mereka harus terus berputar-putar saja sepanjang hari untuk bisa mendapatkan ikan untuk disantap. Itu pun tidak sebanyak dulu.

Bahkan desa nelayan yang dahulu ramai di teluk itu kini nyaris kosong sama sekali karena hampir semua nelayan kini telah berhijrah ke pedalaman pulau. Jika biasanya camar-camar dapat mencuri-curi ikan dari perahu-perahu nelayan yang pulang melaut. Kini hal tersebut hampir mustahil lagi. Tinggal tersisa satu orang nelayan yang tinggal di sebuah gubuk dekat pantai teluk itu, tetapi nelayan itu pun seringkali tidak lebih beruntung dari camar-camar. Cukup sering mereka melihat bagaimana perahu nelayan itu ketika pulang dari melaut tidak membawa seekor pun ikan melainkan onggokan sampah plastik yang memenuhi perahu kecilnya. Terkadang camar-camar itu pun merasa iba pada nelayan itu, tetapi biar bagaimanapun mereka adalah camar yang memang kerjaannya hanya mencari ikan untuk dimakan demi bertahan hidup.

Begitulah sehingga sebagian besar kawanan mereka telah memutuskan untuk bermigrasi ke tempat-tempat lain untuk mencari tempat yang terdapat cukup banyak ikan. Tetapi belum ada kabar akan tempat-tempat seperti itu dari angin maupun burung-burung pengembara yang kebetulan lewat. Karena itu mereka tetap di tempat itu saja sampai entah kapan mereka akan mendengar kabar tentang tempat yang lebih menjanjikan itu. Sementara itu, mereka sudah biasa berputar-putar mencari ikan sepanjang hari sambil sesekali bercanda dan bermain dengan kawanan.

Dan salah satu hiburan pertama yang selalu mereka nantikan menjelang pagi hari di sela pencarian mereka akan ikan adalah apa yang biasanya dilakukan oleh laki-laki itu. Tetapi tidak seperti biasanya, pagi itu ia datang agak terlambat. Selain itu, ia juga terlihat begitu terburu-buru sampai berlari-lari mendaki bukit tanjung itu. Mereka sudah sempat berpikir bahwa, pagi itu, tidak akan ada aksi dari si lelaki itu sebagaimana biasanya. Biasanya ia sudah berada di atas tebing tanjung itu sebelum matahari sempat muncul dari balik punggung pegunungan. Tetapi untunglah ia akhirnya datang juga meskipun lebih lambat daripada biasanya.

Mereka memekik-mekik untuk saling memberitahu camar-camar lain perihal kedatangan laki-laki itu, lalu mulai bertengger di igir-igir atau di pucuk-pucuk karang yang mencuat dari kedalaman laut. Begitulah mereka selalu menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu. Tak jarang pula dengan sedikit mengobrol sesama camar, sekedar mengomentari, bahkan ada yang bertaruh seekor dua ekor ikan.

Namun tentu saja laki-laki itu tidak pernah mengetahui obrolan camar-camar itu. Ia hanya akan mendengarnya sebagai pekik-pekik camar yang di antara debur dan desis ombak sekedar menjadikan suasana laut demikian lengkap mencekam dalam penghayatannya. Aroma laut menyatu dalam embun. Lelaki itu menghirupnya dalam-dalam. Langit di seberang samudera masih kelabu dan kelam. Lelaki itu biasanya berlama-lama mengurai satu-satu pengalamannya ketika berada di pucuk bukit tanjung itu, namun kali itu matahari sudah mulai menyembul sehingga ia tak bisa berlama-lama.

Camar-camar menyaksikan bagaimana laki-laki itu mulai menanggalkan pakaian luarnya, melipatnya dengan rapi, lalu meletakkannya di atas rerumput. Sedikit terburu-buru namun tetap hati-hati. Ia seperti tak ingin merusak momen sakral itu dengan ketergesa-gesaan.

Salah satu camar memekik karena melihat sebuah perahu nelayan meluncur pelan di atas gelombang. Nelayan itu akhirnya kembali juga dari melaut. Entah apakah kali ini ia berhasil mendapatkan tangkapan ikan atau tidak, namun camar-camar yang kelaparan sudah tidak sabar menunggu. Beberapa camar kelaparan segera saja terbang menuju perahu itu. Sebagian yang lain tetap di tempatnya untuk menyaksikan bagaimana laki-laki itu, setelah berdiri tegap mengangkat kedua tangannya, kemudian melompat dari bibir tebing, berputar dan bersalto seperti atlet loncat indah, kemudian menukik langsung ke dalam lautan yang bergolak di bawahnya.

~
3 
Nelayan sebatang kara 

“Aku mendengar suara sesuatu yang berat tercebur ke laut pagi itu.”

Kulihat mata nelayan itu menerawang jauh ke masa lalu. “Anda yakin dengan itu?”

“Aku sudah biasa mendengar debur suara ombak pecah menghantam karang dan tebing sehingga kenal betul dengan setiap detil suara semacam itu. Tetapi pagi itu aku mendengar suara yang sedikit berbeda di sela-sela pekik camar-camar yang bergegas menghampiri perahuku. Aku tahu itu adalah sesuatu yang berat jatuh tercebur ke laut.”

Semakin jelas kalau ini memang adalah kasus bunuh diri. Tetapi ada sesuatu yang masih terasa janggal, dan bagi seorang detektif yang sudah berpengalaman sepertiku, kejanggalan yang sulit dijelaskan biasanya adalah pertanda bahwa kasus tersebut sesungguhnya belum layak untuk disimpulkan dan dinyatakan selasai.

Tetapi sudah hampir sebulan berlalu sejak pemuda itu dilaporkan menghilang oleh keluarganya. Beberapa hari kemudian, sepeda pemuda itu ditemukan di kaki bukit tanjung, dan pakaiannya ditemukan di puncak tanjung dekat bibir tebing. Pihak berwenang memang sudah menutup kasus pemuda hilang itu dengan kesimpulan bahwa ia telah melakukan bunuh diri dengan terjun ke laut dari atas tebing, dan kasus itupun dinyatakan selesai. Mereka bahkan tidak melakukan operasi pencarian jasadnya sama sekali.

“Ikan-ikan mungkin sudah memakan habis tubuh itu. Kalau tidak, arus pasti sudah membawanya jauh ke tengah lautan. Apalagi, tanpa pakaian jasadnya tentu akan sulit terlihat di tengah lautan. Bukti-bukti petunjuk juga sudah sangat jelas sekali. Lagipula pihak keluarga pemuda itu juga sudah merelakan kepergiannya, meskipun lebih karena malu kepada khalayak, sebab bunuh diri anggota keluarga adalah aib besar bagi keluarga itu. Paling tidak, ini jadi menghemat biaya. Tak perlu biaya untuk operasi pencarian. Tak perlu biaya pemakaman. Dan berita bunuh diri itu pun tak perlu jadi berita besar-besaran.” Begitu kata atasanku di kepolisian.

Betapa kasihan pemuda itu. Tiada pemakaman baginya. Orang-orang memang menganggap orang yang bunuh diri tak pantas dibuatkan nisan sebab itu hanya akan menjadi prasasti kenangan buruk yang tak elok dikenang. Lebih baik membiarkan waktu saja yang menguburkannya dalam-dalam melebihi dalamnya kenangan yang terlupakan. Segala barang miliknya akan dibakar sampai menjadi abu. Tidak akan ada lagi cerita tentangnya. Bercerita tentang orang yang sudah mati karena bunuh diri adalah tabu.

Namun benarkah ia telah bunuh diri? Mengapa seseorang yang ingin bunuh diri mesti melepas pakaiannya, bahkan meletakkannya secara terlipat rapi di atas rumput? Kata atasan dan kawan-kawan detektifku, hal seperti itu memang terkadang dilakukan oleh orang yang hendak bunuh diri. Paling-paling karena kebiasaan saja. Tetapi aku masih menyimpan rasa penasaran mengenai kasus itu. Karena itulah kukunjungi lagi nelayan itu digubuknya, sebagai satu-satunya saksi atas kasus itu.

Ia adalah nelayan sebatang kara. Bahkan, ialah satu-satunya nelayan yang tersisa dari sekian banyak nelayan yang dulunya ada di berbagai desa nelayan di penjuru pulau. Hampir semua orang yang dulunya nelayan kini telah pindah ke kota di pedalaman pulau dan bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan tambang yang tak dapat kuceritakan lebih jauh mengenainya. Semuanya, kecuali laki-laki paruh baya itu, yang kini tinggal seorang diri dalam gubuknya di dekat pantai di teluk. 

Entah mengapa ia masih menjadi nelayan. Sebuah kenyataan kecil yang membuatku mulai penasaran dengan dirinya sehingga pertanyaan-pertanyaanku yang selanjutnya lebih banyak tentang nelayan itu.

“Menjadi nelayan adalah satu-satunya keahlian yang pernah kupelajari. Selain kawan-kawan sesama nelayan, laut adalah sahabatku dalam kehidupan. Ketika mereka semua memutuskan pindah ke pedalaman, aku merasa tak sanggup berpisah dengan laut sehingga aku memilih untuk tetap di sini. Belantara di pedalaman adalah daerah yang terlalu asing bagiku. Aku tak bisa berpikir akan dapat mempelajari keahlian lain selain berlayar, menjaring, memancing dan menangkap ikan.

“Bila kehidupan ini memang suatu saat akan kutinggalkan, aku ingin meninggalkannya dengan laut sebagai saksi. Aku ingin hidup bersama laut, atau mati dengannya di dekatku. Laut yang selama ini menghidupiku. Biarlah ia juga yang akan mengantarkanku menyeberang ke kematian.”

Nelayan itu mulai bercerita mengenai laut seolah-olah laut adalah mahluk hidup. Bagaimana ia sering bermain dan bercanda dengannya, atau kadang juga bertengkar dengannya. Tetapi laut, kata nelayan itu, akhir-akhir ini lebih sering murung dan bersedih. Ikan-ikan pun jadi semakin langka karena kesedihan laut semakin mendalam saja. Ia sudah pergi ke laut-laut jauh dan melihat kemurungan yang sama pada lautan.

Suatu ketika ia pernah sampai terdampar ke pulau yang mengambang terombang-ambing di tengah samudera. Pulau itu tidak terdiri dari tanah melainkan dari sampah-sampah plastik yang terbawa arus dari berbagai penjuru benua. Ia pun mengisi penuh perahunya dengan sampah-sampah itu lalu membawanya pulang sebagai tangkapan. Ia beranggapan bahwa jika laut sedang cukup ceria, maka ia akan memperoleh tangkapan ikan sebagai wujud kemurahan hati laut. Namun jika laut sedang bersedih, ia akan hanya mendapatkan sampah saja, dan mesti dibawanya pulang sebagai tangkapan pula.

“Di pagi hari ketika pemuda itu melompat ke laut, laut sedang murung-murungnya.” Kata nelayan itu.

“Apakah kemurungan laut beraitan dengan bunuh diri pemuda itu?” tanyaku padanya.
Ia menatapku lekat-lekat dengan sorot mata seperti orang yang hatinya terlukai. Aku merasa seolah telah mengatakan sesuatu yang menginggung perasaannya.

“Pemuda itu tidak bunuh diri, Tuan.”

“Apa maksud Anda? Bukankah ia melompat dari atas tebing? Ataukah ada seseorang yang telah mendorongnya?” Bagian itu belum pernah diceritakannya kepada para penyidik sehingga aku begitu penasaran untuk menggalinya lebih dalam. Kasus ini mungkin tidak seperti kasus-kasus lain yang biasa, pikirku.

“Tidak. Ia melompat atas kehendaknya sendiri. Begitulah yang dilakukannya selalu setiap menjelang pagi. Itu adalah semacam ritual ibadahnya”

Aku tak mengerti. Kucoba mencerna kembali setiap perkataan yang telah dilontarkannya. Berusaha memahami apa sesungguhnya maksud nelayan itu.

Tetapi nelayan itu lalu melanjutkan bicara. Sorot matanya kembali menerawang jauh. “Pemuda itu kadang berjumpa denganku di pantai setelah ia melakukan ritual lompatannya dan aku baru saja kembali dari melaut. Kami sempat berbincang-bincang. Bisa kulihat di matanya bagaimana ia juga telah demikian akrab dengan laut dengan cara yang hampir sama denganku.”

Ia berhenti bicara sejenak, namun kutahan dorongan untuk melemparinya dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai ritual yang dimaksudnya dan kubiarkan keheningan mengisi jeda itu saja. Ia mungkin hanya sedang mengumpulkan kembali kenangannya tentang pemuda itu untuk diceritakan. Aku harus sedikit lebih bersabar menghadapi nelayan yang sedang terbawa emosi itu.

“Setiap petang aku berangkat melaut dan menyerahkan kehidupanku kepada laut. Apa yang kuperoleh dari laut adalah apa yang akan kugunakan sebagai penyambung kehidupanku. Ketika laut memberiku tangkapan ikan, itulah kehidupan yang dianugerahkan laut kepadaku. Ketika laut tak memberiku apa-apa, itulah kehidupan yang dianugerahkan laut kepadaku. Ketika laut memberiku sampah, itulah juga kehidupan yang dianugerahkan laut kepadaku. Maka setiap pagi ketika kembali dari melaut, yang kubawa selalu adalah anugerah kehidupan dari laut.

“Begitu pula, setiap pagi, pemuda itu melompat dari tebing di atas tanjung ke dalam laut. Ia melakukan itu dengan kesadaran penuh sebagaimana aku setiap kali berangkat melaut. Bukan dengan niat untuk bunuh diri, melainkan untuk mempersembahkan hak hidupnya ke hadapan laut. Ia menyerahkan hidupnya kepada laut. Ketika kemudian ia berhasil berenang menepi ke pantai, itu, baginya, adalah pertanda bahwa laut masih mengizinkannya melanjutkan kehidupan dan dia akan menjalankannya sepenuh hati. Setiap hari diawalinya dengan mengembalikan hak hidupnya kepada laut, dan setiap hari laut mengembalikan hak itu kepadanya, dan ia menyukurinya dengan menjalani hari sepenuh hati.

“Pagi itu, laut hanya memutuskan untuk menerima dan menyimpan hidup pemuda itu saja, sehingga ia tak berhasil menepi kembali bersama nyawanya.”

~
4 
Aku 

Apa yang baru saja diceritakan nelayan itu kepadaku terus saja menghantui pikiranku sepanjang perjalanan kembali ke kota. Kukendarai sepeda motorku dengan pelan-pelan saja sambil membiarkan pikiranku mengembara di dunia yang begitu tak mudah dipahami.

Jelas, bila apa yang diceritakan nelayan itu memang benar adanya, pemuda itu memang telah melakukan aksi bunuh diri. Begitulah bila menggunakan penalaran akal sehat sebagaimana akal sehat pada umumnya. Ia telah mencoba bunuh diri berkali-kali namun tak pernah berhasil. Baru pagi itulah ia akhirnya berhasil menunaikan niatannya.

Namun, sebagaimana kata nelayan itu yang konon pernah diceritakan sendiri oleh pemuda itu kepadanya, niat pemuda itu dalam melompat dari atas tebing ke dalam laut ternyata tidak sesederhana niat untuk bunuh diri. Maka apakah kesimpulan dari penalaran akal sehat, bahwa pemuda itu telah melakukan bunuh diri, adalah suatu kesimpulan yang benar adanya?

Nelayan itu menggambarkan bagaimana aksi melompat ke laut dari atas tebing oleh pemuda itu, sebagaimana aktivitasnya sehari-hari sebagai nelayan, seolah-olah merupakan ritual spiritual. Hanya saja, ritual semacam itu bukanlah ritual yang umum di masyarakat, dan juga terlalu sulit diterima akal sehat umum. Namun, tidakkah hampir semua ritual spiritual itu memang tidak mudah dijelaskan dengan akal sehat umum?

Entahlah. Aku merasa tak sanggup menilai semua itu secara jernih. Dan, rasanya kejanggalan itu jadi kian membesar saja, namun aku merasa lelah dengan semua pemikiran ini. Mungkin lebih baik kubiarkan saja segalanya berjalan normal sebagaimana adanya.

Aku ingin segera pulang dan tidur saja.

~
5 
Akhirnya 

Nelayan itu menurunkan segundukan sampah plasik dari perahunya, kemudian membawanya ke dalam gubuknya. Ditumpuknya sampah itu di sudut paling dalam, yang paling gelap. Sampah-sampah itu kian hari kian memenuhi gubuknya. Tiada ikan hari ini. Tiada ikan kemarin. Tiada satu ekor ikan pun yang berhasil ditangkapnya dalam sebulan terakhir sejak pemuda itu tak berhasil kembali hidup-hidup dari lompatannya.

Ia menatap tumpukan sampah itu sambil menahan kesedihan di hatinya. Lalu ia kemudian membuka peti ikan yang ada di sudut lain ruangan dalam gubuknya. Tentu saja tiada seekor ikanpun di dalamnya. Tetapi ada potongan-potongan daging yang memang telah disimpannya sejak sebulan lalu. Diawetkan dengan teknik tertentu yang diketahuinya mampu membuat daging-daging maupun ikan-ikan yang disimpan di dalamnya bertahan lama sampai berbulan-bulan.

Daripada memakan plastik-plastik yang tak enak itu sebagaimana biasanya bila hasil tangkapannya hanya sampah plastik, ia memutuskan untuk memakan daging itu saja. Lagipula, lautlah yang memberikan itu padanya, yang berarti bahwa itulah anugerah dari laut untuknya sebagai penyambung kehidupan.

Laut menyimpan nyawa pemuda itu, dan memberikan tubuhnya kepada si nelayan.

~ 

Jogjakarta, 14 Maret 2017