Pages - Menu

Satu Langkah (Yang Terakhir) Menuju Kebebasan


“Kematian. Itulah yang menanti di ujung sana. Pada akhirnya kita semua akan sampai di sana. Bagaimana engkau berjalan ke sana, itulah yang lebih penting. Itulah hidup, kawanku.

“Kebanyakan orang menghabiskan waktu mencoba menerka-nerka wajah kematian. Mereka melukiskannya di dalam kepala, menggambarkannya di rambu-rambu jalan raya, untuk menghindarinya dalam perjalanan. Mereka menciptakan ilusi rasa aman dari ancaman bahaya kematian dalam masyarakat. Namun sesungguhnya yang mereka lakukan hanyalah membelenggu jiwa mereka sendiri.

“Kematian adalah kematian, kawanku. Bagaimanapun caranya, kematian adalah kematian. Tak perlu engkau menenggelamkan hidupmu dalam bayang-bayangnya. Pada akhirnya, kita semua akan bertemu dengannya, dan menatap wajahnya secara langsung.

“Sementara itu, berjalanlah dengan sungguh-sungguh. Hiduplah dengan sungguh-sungguh. Mencintailah dengan sungguh-sungguh. Kita adalah jiwa-jiwa yang dibebaskan oleh takdir. Mengembaralah sebebas burung-burung terbang di langit, selepas ikan-ikan berenang di samudera. Mencari kehidupan yang utuh tanpa perlu berburuk sangka pada kematian.”

Apakah aku pernah bertemu seseorang yang mengatakan semua itu padaku? Mungkin kata-kata itu hanya ada dalam khayalanku saja.

Tetapi aku pernah bermimpi. Di dalam mimpi itu, aku jatuh, dan aku takut sekali. Namun dalam mimpi itu juga, aku terbang, dan aku merasa benar-benar hidup[1].
~
Taft Point

Aku menyelami diriku, di puncak tebing granit yang menjulang 3500 kaki[2] (sekitar 1000 meter)  dari dasar lembah. Betapa menakjubkan pemandangan yang kusaksikan dari tempatku itu. Jenis pengalaman yang akan membuatmu menciut hingga sekecil-kecilnya. Tak lebih besar daripada semut-semut yang merayap di permukaan tanah dan di balik bebatuan. Bahkan bisa jauh lebih ciut lagi hingga engkau kan merasa seolah-olah dirimu itu tiada.

I just love any place that I can sit in the sun and feel the warmth of the sun's rays, and feel the connection to the planet, really tapping into how small I am and really how insignificant I am in comparison to the universe.[3]

Formasi menara-menara granit raksasa berdiri di sepanjang lembah, seperti prajurit yang selalu setia menjaga lembah itu dari apapun saja yang dapat merusak keindahan alaminya. Mereka berdiri kokoh menyandang kebesarannya, namun di saat yang sama seolah-olah bersujud pada kekuatan mahadhsyat yang telah menciptakannya. El Capitan membenamkan separuh wajahnya di dalam Bumi. Half Dome berlutut membungkuk merendahkan dirinya di antara Tenaya Creek, danau Cermin. dan sungai Merced yang mengalir di sepanjang lembah. Dari sungai itu, bersemilah keindahan lembah Yosemite yang menenggelamkanku dalam pengalaman meniada.

Petang itu, matahari terbenam di wajah El Cap. Angin katabatik[4] menyapu permukaan Bumi, meluncur menuju ke dasar lembah. Angin-angin itu kadang bersinggah sejenak menyapa punggungku. Aku yang duduk di atas sebongkah batu menghadapi lembah dan sedang ternggelam dalam lamunan membayangkan diriku melayang melintasinya, tiba-tiba saja tergugah oleh dingin yang mengelus pundakku.

“Sebentar lagi malam, kawan.” Angin katabatik berbisik lirih sebelum kemudian melompat dari bibir tebing dan meluncur ke dasar lembah.

Kukenakan jaketku sembari menatap siluet wajah El Cap dalam keremangan petang yang menenggelamkan matahari semakin dalam. Lalu kenyataanku berganti kepada wajahmu.

Ada gejolak yang membeku di dalam diriku seperti magma yang membatu[5]. Menatap wajahmu, kala itu, memicu sesuatu yang seperti mampu menggerakkan lempeng-lempeng kerak Bumi hatiku, melipatnya, mematahkannya, menimbulkan dorongan seperti yang membuat El Cap dan Half Dome menyeruak dari dalamnya. Melalui waktu, melewati masa-masa ketika es menimbun permukaan Bumi hingga meleleh kembali, perasaan itu selalu berada di situ, dan sebagaimana lelehan gletser mengikis tanah lalu mengendapkannya di dasar lembah, semakin jelas ia menjelma di kesadaranku[6]. Sejelas bintang-bintang terlihat di permukaan danau Cermin yang tenang.

Sesuatu bergemuruh dalam keremangan yang kian pekat, bergema di dinding-dinding lembah. Apakah itu suara Yosemite Falls, Bridalveil, Ribbon, Horese Tail, Sentinel, dan air terjun-air terjun lainnya yang mencurahkan air mereka kepada Merced, ataukah itu gemuruh dari dalam diriku sendiri? Tetapi memandangi lembah itu di bawah bayang-bayang senja seakan-akan aku sedang menatap matamu yang jernih dalam balutan senyumanmu yang magis.

Maka aku berdiri kemudian mulai melangkah pelan menuju tepian yang kian memperjelas padaku betapa dalam lembah itu. Semakin terdengar gemuruh itu. Semakin keras jantungku berdebar. Semakin aku gemetar seiring langkah yang membawaku mendekat ke tepian. Pada titik tertentu, cukup dekat dengan bibir jurang, aku berhenti lalu memungut batu segenggaman tangan. Nafasku sudah tak beraturan, namun kucoba untuk tetap menguasai diri.

Kulemparkan batu itu melewati bibir jurang, lalu aku menunggu. Sepuluh detak jantung—enam detik  menurut jam tanganku—kemudian terdengarlah suara batu itu membentur sesuatu di bawah sana, di kaki tebing. Itu, sekiranya, adalah waktu yang cukup untuk terbang[7]. Tetapi, apakah aku akan dapat melakukannya?
~

Before the deed comes the thought. Before the achievement comes the dream. Every mountain we climb, we first climb in our mind.[8]

Dan, malam itu, aku mengunjungi kembali mimpiku. Sudah berkali-kali aku memimpikan hal yang sama. Di dalam mimpi itu aku terbang, bebas, sebebas burung-burung gagak mengembara di langit lembah Yosemite. Namun di dalam mimpi itu pula aku jatuh menuju kematianku. Aku tak ingin mati. Aku takut sekali membayangkan bagaimana wajah kematian. Dan aku jadi selalu bertanya-tanya kepada diriku sendiri, apakah aku akan memiliki cukup keberanian untuk menghadapi rasa takut dan bayang-bayang wajah kematian demi melakukan hal yang paling indah, seindah gagak-gagak[9] yang terbang bebas di langit sore, dalam kehidupanku?

Ketika terbangun, aku seperti baru saja berlari bermil-mil jauhnya hingga nafasku hampir tak sanggup memburu. Tetapi kembali, aku teringat akan senyummu yang ajaib itu. Yang bagiku tak kalah ajaibnya dibanding keindahan lembah Yosemite, tempat di mana aku selalu merenungi kehidupan yang terpantul di permukaan danau Cermin. Dan menatap matamu selalu seperti aku sedang menyaksikan galaksi Bimasakti dalam refleksi danau Cermin. Betapa kecil aku ini. Seperti setitik debu yang terbawa angin melintas di hadapanmu. Jangan sampai aku menodai keindahanmu. Biarlah terbawa angin dan terdampar di selokan.

 Bimasakti di Mirror Lake
~

Apa yang selalu kujumpai di dalam mimpi-mimpiku selalu kukunjungi kembali hampir setiap hari. Akan kutempuh jalan setapak berbatu yang mendaki menuju Taft Point. 3500 kaki di atas lantai lembah, aku akan menenggelamkan diri dalam pertarungan antara kekuatan dan kelemahanku. Pertarungan abadi yang kan selalu berlangsung dalam diri setiap orang, tetapi mungkin tidak semua orang menyadarinya.

Seekor gagak terbang melintas. Bayangannya berkelebat menyapu lantai granit yang berkilau keemasan ditimpa cahaya matahari. Lalu kutemukan bayang-bayang tubuhku sendiri di situ.
Aku terpesona oleh gagak itu. Ingin bisa sepertinya. Bebas. Terbang melintas di atas kenormalan dunia di mana begitu banyak orang hanya separuh hidup[10].

Kurasakan hangatnya cahaya terakhir matahari senja menimpa punggungku dan pandanganku terpatri pada bayang-banyangku sendiri. Kuikuti garis tepian bayang-bayang itu pada lantai granit di hadapanku, lalu perlahan-lahan kurentangkan kedua tangan seolah-olah mereka adalah sayap-sayapku. Kupejamkan mata. Aku merasakan, betapa indahnya eksistensiku di dunia itu, dan tenggelam di dalamnya[11].

Tetapi aku tak pernah mendengar suaramu kecuali yang sayup-sayup terbawa angin dan hinggap di telingaku. Aku tak pernah mengenalmu sebagai engkau yang sesungguhnya selain dalam angan-angan. Angan-angan yang kuciptakan sendiri dari lukisan-lukisan dirimu yang sempat ditinggalkan waktu dalam kenangan-kenangan samar.

Sabagaimana aku baru bisa mengada di dunia itu dalam khayalan ketika memejamkan mata saja. Aku tak pernah benar-benar mengambil langkah terakhir yang kan membawaku terjun ke dalam enam detik yang mungkin akan membawaku terbang bebas atau hancur berkeping-keping membentur tebing granit. Begitulah aku berdiri saja di tepian, selangkah di belakang lompatan yang selalu kubayang-bayangkan dapat membawaku terbang dalam kebebasan, menenggak kehidupan yang sepenuhnya, utuh, tanpa perlu terbelenggu oleh rasa takut akan bayang-bayang kematian.
~

Seperti katanya. “Ia akan selalu ada di sana. Tak terdefinisikan, dan tak perlulah engkau medefinisikannya. Tetapi jangan sekedar berdiri di situ saja. Ambillah setiap langkah itu, dan melangkahlah dalam kehidupan yang seutuhnya tanpa perlu membelenggu diri dalam ketakutan yang merenggut kebebasan yang dianugerahkan takdir kepadamu.”

Namun orang-orang telah membelenggu dirinya dalam ilusi bahwa kebebasan mesti didefinisikan secara konkrit, dan diterapkan dalam kehidupan yang nyaman dan aman, jauh dari bahaya risiko-risiko. Mereka menciptakan lingkaran yang mendefinisikan kehidupan yang pantas dan berkumpul di tengah-tengahnya, berusaha tidak mendekati batas lingkaran itu, bahkan melarang orang-orang mendekati batas itu.

Mereka terjerat oleh rasa takut akan yang tidak mereka ketahui, padahal kehidupan adalah hamparan berbagai hal yang hanya sedikit saja di antaranya yang kita ketahui. Padahal di tepian lingkaran itu, dan di luar itu, adalah berbagai hal yang mampu membuat kita merasakan betapa kehidupan adalah segala sesuatu yang kan membuat kita merasa sedemikian ciut hingga hampir-hampir tiada. Dan itulah yang akan membuat kita merasa benar-benar utuh sebagai eksistensi yang nyaris nihil.

Instead of the god of security, we bow to the greater god of freedom, the freedom to take risks and master danger in order to be intensely alive.[8]

Maka suatu hari, ketika matahari telah terbenam hingga yang tersisa tinggal semburatnya di cakrawala, kuambil langkah terakhir itu dan melayang menuju kebebasanku.

 

Antara keberadaanku dan keberadaanmu terhampar takdir yang menjadi tabir akan rahasia-rahasia di balik wajah kehidupan dan bayang-bayang kematian. Betapa selama ini aku telah demikian bodoh berusaha mendefinisikan apa yang sesungguhnya tak pernah akan mampu kuketahui sebelum melangkah ke dalamnya.

I don't want to die, but I'm ok putting it all out there for the most beautiful expression of my life.[3]
~

“Mencintai adalah menyelami misteri di lubuk takdir. Melepaskan diri dari nyamannya ilusi kepastian yang membelenggu kebebasan jiwa. Satu-satunya yang menggenggam jiwamu adalah takdir, selebihnya engkau bebas sebebas burung-burung mengembara di langit. Mereka bebas bukan karena memberontak terhadap ketetapan takdir, melainkan karena mereka mampu menyelaminya dan menyelaraskan jiwa mereka dengannya.

“Di sati sisi, kepasrahan total. Di sisi lain, pergelutan tak kenal lelah, dengan kreativitasmu dan keberanianmu dalam mempertanyakan setiap ilusi mengenai batas-batas kewajaran yang normal. Betapa kita sering terjebak membeda-bedakan dan memisahkan keduanya, padahal keduanya hanyalah sisi-sisi dari kepingan yang satu, bernama takdir.

“Ketika akhirnya kau benar-benar terjun, pada momen itulah kehidupan menjadi utuh. Pada momen itulah cinta menemukan maknanya. Ia adalah takdir dan engkau adalah jiwa yang bebas. Pada momen itu, segala risiko dan rasa takut menguap menjadi kabut lalu memudar bersama angin.

“Yang menanti di masa depan adalah kepastian yang tak terdefinisi, maka tak perlu engkau mendefinisikannya. Yang berlalu ke masa lalu adalah pengalaman yang kan mengalir memenuhi lubuk-lubuk hatimu, maka biarlah menjadi kenangan dalam ruang refleksi dan kontemplasi jiwamu. Sekarang adalah kenyataan yang utuh, yang engkau maknai sekaligus yang memaknai eksistensimu. Engkau menatap kehidupan. Kehidupan menatapmu. Engkau dan kehidupan adalah satu.

"Dan mungkin, pada momen itu pula, engkau akan melihat betapa kehidupan dan kematian adalah satu.”
~ 
IN MEMORY of
DEAN POTTER & ROYAL ROBBINS

Jogjakarta, 17-18 Maret 2017
________________________
 Catatan:
[1]: Dean Potter mengaku sering bermimpi dirinya terbang dan jatuh.
[2]: Ketinggian Taft Point, tempat dari mana Dean Potter (bersama Graham Hunt, kawannya) melakukan lompatan BASE Jumping-nya yang terakhir pada Sabtu petang 16 Mei 2015 sekitar pukul 19:25 waktu setempat (http://www.mensjournal.com).
[3]: Dean Potter (http://www.azquotes.com).
[4]: Angin katabatik adalah angin yang ditimbulkan oleh pergerakan udara berkerapatan tinggi yang berhembus dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat gaya gravitasi (https://en.wikipedia.org). 
[5]: Mencoba mengacu pada proses terbentuknya batuan granit (http://geology.com). 
[6]: Mencoba meniru gambaran bagaimana proses lembah Yosemite terbentuk (http://www.yosemite.ca.us)
[7]: Enam detik adalah selang waktu ketika sebongkah batu dijatuhkan dari atas Taft Point sejak ia dijatuhkan hingga membentur sesuatu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Chris MacNamara dalam mensjournal.com (http://www.mensjournal.com), yang -juga menurut MacNamara- adalah selang waktu yang cukup bagi seorang wing-suit BASE jumper untuk melakukan initial free fall-nya sebelum kemudian pakaiannya mengembang sehingga ia dapat melayang di udara.
[8]: Royal Robbins (http://www.azquotes.com).
[9]: Dean Potter agaknya mengagumi burung gagak (raven). Ia sering memunculkan burung ini dalam tulisan-tulisannya seperti dalam The Call (http://www.alpinist.com) maupun dalam kutipan-kutipan kata-kata inspiratif darinya (http://www.azquotes.com). Bobbijo Swachin, dalam Chasing The Ravens: 6000 Miles on the Wings of Dean Potter di http://mojagear.com bahkan menjuluki Dean Potter sebagai The Raven.
[10]: Mengacu pada "Entranced by the flight of a raven, I watch its shadow move effortlessly against golden, shimmering granite. I long to be that free, flying above the cluttered world of normalcy, where so many are half alive." dari Dean Potter (http://www.azquotes.com).
[11]: Mengacu pada: "Calmly spinning, I scan as far away as I can see. The last rays of the day's sun warm my back and my stare locks onto my own shadow. I follow the lines of my body on the stone in front of me, spreading my arms as wings, and bathe in the beauty of existence." dari Dean Potter (http://www.azquotes.com).

Gambar:
1. http://news.nationalgeographic.com [Dean Potter memanjat "Haven" (2000 kaki) secara free solo (tanpa menggunakan tali sebagai pengaman) dengan latar belakang Half Dome. Foto: MIKEY SCHAEFFER]
2. http://yourshot.nationalgeographic.com [Sunset di Taft Point. Foto: MICAHEL THOMAS]
3. https://i.imgur.com
4. http://www.hcn.org [Dean Potter melakukan Wing-suit BASE Jumping. Foto: DREW KELLY]