Pages - Menu

Alam dan Aspirasi Hidup

Sebuah artikel jurnal penelitian membuatku berpikir: jika kamu ingin meminta donasi, lakukan di tempat-tempat yang bernuansa alami, misalnya taman atau tempat wisata alam, sebab hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa immersion (apa bahasa Indonesianya? Semacam perasaan tenggelam dalam suatu pengalaman atau hadir secara penuh dalam suatu pengalaman) terhadap lingkungan alami membuat seseorang cenderung lebih bermurah hati kepada orang lain.

Mungkin sudah banyak kita ketahui bahwa berada di lingkungan yang alami dapat bermanfaat banyak, misalnya membuat kita lebih rileks, jauh dari stres, lebih bahagia (greater well-being), lebih berenergi, bahkan lebih sehat jasmani, dan itu semua memang sudah didasari oleh hasil-hasil penelitian ilmiah (sebagaimana yang secara sekilas disinggung oleh Weinstein, Przybylski, & Ryan (2009) pada bagian pendahuluan artikel penelitian mereka yang akan diceritakan dalam tulisan ini). Namun, lebih dari itu, ternyata pengalaman berada di lingkungan alami juga dapat mempengaruhi aspirasi hidup (life aspiration) kita.

‘Aspirasi hidup’, hm… mungkin kurang begitu familiar sebagai istilah dalam bahasa Indonesia, sebab istilah tersebut memang sekedar alih-bahasa langsung dari bahasa Inggrisnya yaitu life aspiration. Kalau dijelaskan, mungkin istilah tersebut dapat diartikan sebagai sesuatu yang kita pandang bernilai dalam kehidupan ini sehingga dapat mempengaruhi tujuan-tujuan yang kita tetapkan serta bagaimana kita membuat keputusan dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penting dalam kehidupan. Value-laden goals, kalau kata Kasser (dalam Weinstein, dkk., 2009).

Secara umum, terdapat dua tipe aspirasi hidup, yaitu aspirasi intrinsik (intrinsic aspiration) dan aspirasi ekstrinsik (extrinsic aspiration). Kalau aspirasi intrinsik, sebagaimana dijelaskan oleh Weinstein, dkk. (2009), mengacu pada usaha mengejar tujuan yang sejalan dengan kebutuhan psikologis dasar (misalnya mencakup pertumbuhan pribadi (personal growth), intimasi (intimacy), komunitas (community)) yang sifatnya intrinsik, aspirasi ekstrinsik fokus pada usaha mengejar hal-hal yang bernilai secara eksternal yang dipandang akan meningkatkan penghargaan positif dari orang lain meskipun sebenarnya tidak secara inheren memuaskan (misalnya uang, ketenaran, dan penampilan yang keren).

Sedikit njlimet dengan penjelasan ala literatur ilmiah? Untung saja Weinstein dkk. (2009) juga menjelaskannya dengan cara lain yang mungkin akan lebih mudah dipahami. Sederhananya, aspirasi intrinsik mencerminkan orientasi nilai seseorang yang lebih mengarah kepada perilaku prososial atau perilaku yang lebih mengedepankan kebaikan bagi orang lain (prosocial and other-facused value orientation) sedangkan aspirasi ekstrinsik mencerminkan orientasi nilai yang lebih mementingkan diri sendiri (self-focused value orientation). Kedua macam tipe aspirasi hidup ini katanya sudah cukup banyak diteliti keterhubungannya dengan well-being (lihat Sheldon, Ryan, Deci, & Kasser, 2004) dan relevansinya dalam budaya di negara-negara Barat maupun Timur (Grouzet, dkk., 2005; Ryan, dkk., 1999).

Penelitian yang dilakukan oleh Weinstein, dkk. (2009) menguji hubungan antara pengalaman kontak psikologis atau immersion terhadap alam dengan aspirasi intrinsik dan aspirasi ekstrinsik seseorang. Immersion yang dimaksud mengacu pada seberapa “penuh” seseorang itu “hadir” dan “terlibat” dalam lingkungan yang dihayatinya. Lebih jauh, Weinstein, dkk. tidak sekedar menguji hubungan langsung antara immersion terhadap alam dengan dua tipe aspirasi hidup tersebut, namun juga menyelidiki kemungkinan pengaruh variabel mediator, yaitu feelings of personal autonomy (perasaan memiliki otonomi atau perasaan sebagai subjek yang otonom) dan feelings of relatedness to nature (perasaan terhubung dengan alam) dalam hubungan tersebut.

Otonomi diartikan sebagai perasaan bahwa seseorang dapat mengekspresikan dirinya dalam berperilaku, atau perasaan bahwa perbuatan yang dilakukannya itu sesuai dengan kehendak dirinya yang kompatibel dengan kepentingan atau nilai yang ada di masyarakat. Dalam Teori Self-Determination (Deci & Ryan, 2012) dijelaskan bahwa otonomi tidak secara khusus mengacu pada perilaku yang bebas sepenuhnya dari pengaruh orang lain maupun institusi sosial yang lebih tinggi, namun lebih berarti sebagai perilaku yang “dimiliki” dalam artian bahwa perilaku tersebut, entah bersumber dari dalam diri sendiri maupun atas tuntunan aturan sosial yang berlaku, terintegrasi dengan nilai-nilai, sikap, maupun kepercayaan yang sentral pada diri sendiri. Secara fenomenologis, otonomi dialami sebagai bentuk rasa keterhubungan dengan diri sendiri atau pengalaman yang kongruen dengan dorongan dari dalam diri dan bebas dari tekanan internal maupun eksternal. Sederhananya, otonomi adalah rasa “memiliki” terhadap perbuatan yang dilakukan.

Adapun alam, menurut beberapa tokoh (misalnya Kaplan, 1995; dan Walker, Hull, & Roggenbuck, 1998), dapat mempengaruhi pengalaman seseorang sehingga menjadi lebih terintegrasi melalui introspeksi dan perasaan koheren dalam diri. Selain itu, alam juga secara tidak langsung menyediakan semacam pengalaman alternatif yang menghindarkan seseorang dari perasaan tertekan oleh kehidupan sehari-hari (Stein & Lee, 1995). Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa konteks yang mendukung otonomi mampu memprediksi aspirasi intrinsik. Maka dari itu, Weinstein, dkk. (2009) kemudian menghipotesiskan bahwa immersion terhadap alam dapat dimediasi oleh perasaan otonomi dalam hubungannya dengan apirasi hidup seseorang (yang diprediksi akan lebih cenderung intrinsik daripada ekstrinsik).

Sementara itu, rasa keterhubungan dengan alam adalah seberapa jauh seseorang memandang bahwa dirinya juga merupakan representasi dari alam, atau memandang dirinya sebagai sesuatu yang terhubung secara intim dengan alam. Berbagai perilaku yang mengindikasikan aspirasi intrinsik, berdasarkan berbagai penelitian yang ditinjau oleh Weinstein, dkk. (2009), juga berhubungan dengan rasa keterhubungan dengan alam. Maka variabel keterhubungan dengan alam kemudian juga dihipotesiskan sebagai variebel mediator dalam hubungan antara immersion terhadap alam dengan aspirasi hidup seseorang (yang diprediksi akan cenderung intrinsik daripada ekstrinsik).

Secara umum, Weinstein, dkk. (2009) mengajukan hipotesis bahwa lingkungan alami, tidak seperti lingkungan buatan manusia, akan meningkatkan aspirasi intrinsik dan menurunkan aspirasi ekstrinsik seseorang sebab lingkungan alami mampu menghasilkan pengalaman otonomi maupun rasa keterhubungan dengan alam. Dalam penelitian yang dilaukan Weinstein, dkk. tersebut, aspirasi intrinsik diwakili oleh aspirasi hubungan interpersonal (relationship aspiration) yaitu orientasi terhadap usaha membangun hubungan baik dengan orang lain, dan aspirasi konstribusi terhadap komunitas (community aspiration) yaitu orientasi terhadap usaha berkontribusi terhadap komunitas sosial yang lebih besar. Sedangkan aspirasi ekstrinsik diwakili oleh aspirasi terhadap ketenaran (fame aspiration) yaitu kecenderungan untuk ingin menjadi pusat perhatian dan diterima oleh orang lain, dan aspirasi terhadap kekayaan (wealth aspiration) yaitu kecenderungan untuk memperoleh barang-barang maupun uang yang pada umumnya diasosiasikan dengan kekayaan. Weinstein, dkk. melakukan 4 studi eksperimental untuk menguji hipotesis mereka.

Pada studi 1, para partisipan secara acak ditempatkan dalam salah satu dari dua kondisi (alami: di mana mereka diperlihatkan gambar pemandangan alami, dan non-alami: di mana mereka diperlihatkan gambar pemandangan lingkungan non-alami seperti pemandangan kota). Sebelumnya, para partisipan telah diminta mengisi serangkaian kuesioner filler yang terselipi kuesioner aspirasi intrinsik dan ekstrinsik di dalamnya. Partisipan kemudian diperlihatkan gambar sesuai kondisi, disertai dengan mendengarkan skrip melalui headphone yang berfungsi sebagai panduan untuk memperdalam penghayatan terhadap gambar sehingga memperkuat sensasi pengalaman. Setelah itu mereka diminta untuk mengisi kuesioner untuk mengukur aspirasi intrinsik dan ekstrinsik mereka lagi, serta tingkat afek positif dan tingkat immersion.

Studi 1 menunjukkan bahwa partisipan yang ditempatkan dalam kondisi alami melaporkan aspirasi intrinsik yang lebih tinggi dan aspirasi ekstrinsik yang lebih rendah. Tingkat immersion (yang mengacu pada seberapa “penuh” seseorang itu “hadir” dan “terlibat” dalam lingkungannya) juga ditemukan menjadi variabel moderator antara kondisi lingkungan (alami atau non-alami) dengan perubahan aspirasi intrinsik maupun ekstrinsik. Semakin tinggi tingkat immersion seseorang terhadap kondisi alami, semakin tinggi pula peningkatan aspirasi intrinsiknya. Begitu pula, semakin tinggi tingkat immersion seseorang terhadap kondisi non-alami, semakin tinggi aspirasi ekstrinsik dan semakin rendah aspirasi intrinsiknya.

Studi 1 merupakan studi eksploratori, yang kemudian direplikasi pada studi 2, namun dengan tambahan variabel otonomi dan variabel keterhubungan dengan alam sebagai mediator. Prosedurnya sama dengan studi 1, namun dengan tambahan kuesioner yang mengukur keterhubungan dengan alam dan otonomi setelah manipulasi. Hasil analisis menunjukkan kesimpulan yang senada dengan studi 1, dan lebih lanjut, menunjukkan bahwa otonomi dan keterhubungan dengan alam sepenuhnya memediasi pengaruh immersion terhadap kondisi lingkungan (alami maupun non-alami) terhadap aspirasi intrinsik maupun ekstrinsik.

Studi 3 kemudian dilakukan dengan mengembangkan dua studi sebelumnya, di mana selain mengukur tingkat aspirasi (intrinsik maupun ekstrinsik) partisipan setelah diberi perlakuan, eksperimenter juga menyelidiki apakah perubahan aspirasi dalam wujud perilaku murah hati (generosity) dapat terjadi. Kemurah hatian dipandang sebagai indikator aspirasi intrinsik yang lebih tinggi daripada aspirasi ekstrinsik. Prosedur eksperimen yang dilakukan secara garis besar sama dengan pada studi 1 dan 2, namun dengan tambahan instruksi untuk mengambil keputusan dalam tugas pendistribusian dana (funds distribution task) setelah diberi perlakuan.

Berkaitan dengan tugas pendistribusian dana tersebut, para partisipan diminta untuk memutuskan apakah akan memberikan uang senilai $5 (yang merupakan hadiah atas partisipasinya) kepada partisipan lainnya atau tidak. Jika iya, maka partisipan penerima akan diberi uang senilai dua kali lipatnya ($10) untuk didistribusikan sesuai kehendaknya. Jika partisipan penerima tersebut mengembalikan separuhnya, maka kedua partisipan akan memperoleh masing-masing $5, namun jika tidak maka partisipan penerima akan mendapatkan $10 dan partisipan pemberi tidak akan mendapatkan apa-apa. Partisipan juga diberi tahu bahwa keputusan mereka tidak akan diketahui oleh eksperimenter, dan identitas partisipan penerima juga tidak akan diketahui oleh partisipan pemberi. Dengan kata lain, keputusan mereka bersifat pribadi dan rahasia.

Studi 3 tersebut menunjukkan hasil yang konsisten dengan studi-studi sebelumnya. Semakin tinggi tingkat immersion terhadap alam, partisipan melaporkan aspirasi intrinsik yang lebih tinggi dan aspirasi ekstrinsik yang lebih rendah. Di lain pihak, tingkat immersion terhadap konteks non-alami yang lebih tinggi membuat aspirasi ekstrinsik lebih tinggi sedangkan aspirasi intrinsik tidak berubah. Partisipan juga menjadi merasa lebih memiliki otonomi dan terhubung dengan alam sejalan dengan tingkat immersion terhadap alam, dan sebaliknya sejalan dengan tingkat immersion terhadap konteks non-alami. Pengalaman otonomi dan keterhubungan dengan alam juga sepenuhnya memediasi pengaruh tingkat immersion terhadap konteks (alami atau non-alami) terhadap aspirasi hidup. Immersion terhadap alam juga ditemukan mampu memprediksi keputusan yang lebih murah hati dalam tugas pendistribusian dana sebagai indikator akan aspirasi intrinsik yang lebih tinggi daripada aspirasi ekstrinsik.

Kemudian, pada studi 4, eksperimen yang serupa dilakukan, namun alih-alih dengan menampilkan gambar, kondisi yang disajikan berupa ada atau tidak adanya tanaman hidup dalam ruang eksperimen. Pada kondisi alami, ruang eksperimen dihiasi dengan beberapa tanaman hidup (yang bervariasi) dalam pot yang ditaruh di beberapa tempat, sedangkap pada kondisi non-alami tidak terdapat tanaman dalam ruangan yang serupa. Sebelum datang ke laboratorium, para partisipan mengisi kuesioner online untuk mengukur aspirasi intrinsik dan ekstrinsik pada malam sebelumnya. Para partisipan kemudian ditempatkan ke dalam salah satu dari dua kondisi yang ada (alami: ruang eksperimen dihiasi tanaman; atau non-alami: ruang eksperimen tidak dihiasi tanaman) secara acak. Di awal, partisipan diminta mengisi kuesioner filler, setelah itu kemudian diberi waktu 5 menit untuk relaksasi, kemudian diminta mengisi kuesioner untuk mengukur aspirasi intrinsik dan ekstrinsik, tingkat immersion, keterhubungan dengan alam, dan otonomi. Setelah itu, partisipan diberi tugas pengambilan keputusan dalam pendistribusian dana seperti pada studi 3.

Studi 4 ini juga menunjukkan hasil yang konsisten dengan studi-studi yang lain. Partisipan yang ditempatkan pada kondisi immersion terhadap lingkungan alami menunjukkan tingkat aspirasi intrinsik yang lebih tinggi, sementara mereka yang berada pada kondisi immersion terhadap lingkungan non-alami tidak mengalami perubahan tingkat aspirasi intrinsik. Mereka yang berada pada kondisi lingkungan non-alami menunjukkan tingkat aspirasi ekstrinsik yang lebih tinggi dan aspirasi intrinsik yang lebih rendah. Sebagaimana pada studi 2 dan 3, partisipan merasa lebih otonom dan terhubung dengan alam pada kondisi lingkungan alami dibanding pada kondisi lingkungan non-alami, dan pengalaman tersebut sepenuhnya memediasi pengaruh lingkungan terhadap aspirasi intrinsik dan ekstrinsik. Sebagaimana pada studi 3, immersion terhadap lingkungan alami memprediksi pengambilan keputusan yang lebih murah hati sementara immersion terhadap lingkungan non-alami menghambatnya, dan pengaruh tersebut juga dimediasi oleh perasaam otonomi dan keterhubungan dengan alam.

Jadi, apa sebenarnya yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut? Dalam diskusi penutup di akhir artikel, Weintein, dkk. (2009) mengungkapkan bahwa penelitian mereka memperluas dan memperkuat hasil berbagai penelitian sebelumnya terkait pengaruh lingkungan alami terhadap kebahagiaan (well-being) dan berbagai indikator yang menunjukkan keberfungsian positif (positive functioning) seseorang. Penelitian Weinstein, dkk. tersebut secara khusus menunjukkan peran tingkat immersion sebagai moderator dalam efek positif yang mungkin ditimbulkan oleh pengalaman berada pada lingkungan alami, yang salah satunya adalah peningkatan aspirasi intrinsik dan penurunan aspirasi ekstrinsik seseorang. Dengan kata lain, semakin dalam penghayatan seseorang terhadap pengalamannya berada di lingkungan alami, semakin besar efek positif yang terjadi padanya, dan efek tersebut di antaranya adalah semakin meningkatnya aspirasi intrinsik dan semakin menurunnya aspirasi ekstrinsik. Perubahan aspirasi hidup seseorang tersebut (aspirasi yang semakin cenderung intrinsik daripada ekstrinsik) membuat seseorang menjadi lebih murah hati (generous) terhadap orang lain. Weinstein, dkk. bahkan mengungkapkan bahwa penelitian mereka menunjukkan bahwa alam membuat seseorang lebih terhubung lebih dekat dengan orang lain, sementara lingkungan buatan manusia membuat seseorang cenderung lebih egois.

Lebih jauh, penelitian oleh Weinstein, dkk. tersebut juga dapat membuktikan hipotesis mengenai pengaruh lingkungan terhadap aspirasi hidup seseorang yang dimediasi oleh otonomi dan rasa keterhubungan dengan alam. Lingkungan yang alami ditemukan meningkatkan otonomi dan rasa keterhubungan dengan alam pada diri seseorang, sementara lingkungan yang tidak alami menurunkannya. Kedua hal tersebutlah (perasaan otonomi dan terhubung dengan alam) yang membuat seseorang kemudian menjadi lebih cenderung memiliki aspirasi hidup yang intrinsik daripada ekstrinsik, dalam artian bahwa ia menjadi lebih menghargai pertumbuhan pribadi (personal growth), intimasi (intimacy), dan rasa komunitas (community) daripada kekayaan (wealth), ketenaran (fame), maupun penampilan keren (self-image) sehingga ia menjadi lebih bermurah hati kepada orang lain. Temuan tersebut juga memperkuat pandangan mengenai alam sebagai tempat yang mampu memfasilitasi rasa otonomi (yang dalam banyak literatur sering disebut sebagai sense of self atau rasa sebagai diri sendiri yang otentik) dan meningkatkan keterhubungan (baik itu dengan alam secara keseluruhan maupun dengan sesama manusia yang dalam beberapa literatur diistilahkan dengan sense of community atau connection).

Ini membuatku teringat pada yang pernah dikatakan seseorang (atau orang-orang) bahwa kalau engkau ingin tahu (mengenali) diri seseorang yang sesungguhnya (one's true self), ajaklah dia bertualang naik gunung. Lihatlah ketika dia merasakan "tidak enaknya" petualangan itu, maka kira-kira itulah ekspresi dirinya yang sesungguhnya. Meskipun sebagian besar ilmuwan Psikologi Sosial katanya cenderung tidak memercayai (skeptis) bahwa seseorang memiliki 'diri sejati' atau 'diri yang sesungguhnya' (authentic self atau true self), namun konsep tersebut mungkin memang terlalu romantis untuk dibuang begitu saja.

~

Sumber utama:

Weinstein, B., Przybylski, A. K., & Ryan, R. M. (2009, October). Can Nature Make Us More Caring? Effects of Immersion in Nature on Intrinsic Aspirations and Generosity. Personality and Social Psychology Bulletin, 35(10), 1315-1329. doi: 10.1177/0146167209341649.

Sumber tambahan:

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2012). Self-Determination Theory. In P. A. Van Lange, A. W. Kruglanski, & E. T. Higgins (Eds.), The Handbook of Theories of Social Psychology (Vol. 1, pp. 416-437). Sage Publication Ltd.
 

Grouzet, F. M. E., Ahuvia, A., Kim, Y., Ryan, R. M., Schmuck, P., Kasser, T., et al. (2005). The structure of goal contents across 15 cultures. Journal of Personality and Social Psychology, 89, 800-816.
 

Kaplan S. (1995). The restorative benefits of nature: Toward an integrative framework. Journal of Environmental Psychology, 15, 169-182.
 

Ryan, R. M., Chirkov, V. I., Little, T. D., Sheldon, K. M., Timoshina, E., & Deci, E. L. (1999). The American Dream in Russia: Extrinsic aspirations and well-being in two cultures. Personality and Social Psychology Bulletin, 25, 1509-1524.
 

Sheldon, K. M., Ryan, R. M., Deci, E. L., & Kasser T. (2004). The independent effects of goal contents and motives on well-being: It’s both what you pursue and why you pursue it. Personality and Social Psychology Bulletin, 30, 475-486.
 

Stein, T. V., & Lee, M. E. (1995). Managing recreation resources for positive outcomes: An application of benefits-based management. Journal of Park and Recreation Administration, 13(2), 52-70
 

Walker, G. J., Hull, R. B., IV, & Roggenbuck, J. W. (1998). On-site optimal experiences and their relationship to off-site benefits. Journal of Leisure Research, 30, 453-471.