Pages - Menu

Semasa - Cerita Yang Datar Tapi Tak Hambar

Belum lama ini saya melihat sebuah cuitan melintas di linimasa Twitter (sekarang X), meminta saran buku bacaan fiksi yang bagus. Di kolom komentarnya, ada yang menyarankan 'Semasa'. Saya jadi teringat bahwa beberapa tahun yang lalu, seorang teman pernah juga menyarankan buku tersebut pada saya. Tak lama kemudian saya pun membelinya, lalu, tentu saja, membacanya.

Saya menyukai sampulnya yang sederhana. Boleh dikata minimalis. Di depan, siluet tiga utas kabel listrik melintang dengan dua ekor burung bertengger masing-masing pada kabel yang berbeda, terpisahkan oleh jarak dan seutas kabel di antaranya, dengan latar belakang warna oranye sebagai warna dominan sampul buku ini. Berkesan hangat, namun sekaligus menyiratkan kesunyian, dua hal yang secara garis besar memang sarat saya rasakan sepanjang pembacaan buku ini.


'Blurb' [saya baru tahu istilah ini] di sampul belakang memperingatkan bahwa cerita di dalam buku ini adalah tentang "melepaskan". 'Move on', dalam istilah serapan populernya. Terasa klise, memang, tetapi saya kira begitulah adanya kehidupan. Untuk melangkah ke depan, kita mesti rela mengangkat kaki dari pijakan di belakang. 

Saya juga mendapatkan selembar kartu, kira-kira seukuran kartu pada umumnya, bersamaan dengan buku ini. Sepintas seperti selembar kartu nama belaka, bertuliskan nama, kontak, dan alamat toko buku dari mana saya memesan buku ini, yang ketika saya balik, ternyata sekaligus juga merupakan "sertifikat adopsi" yang menyatakan bahwa buku ini sekarang adalah punya saya (ada nama saya tertulis-tangan di situ). 

Hal ini cukup menggelitik saya. Di satu sisi, saya pikir itu mungkin tak lebih dari sekadar akal-akalan si penjual buku untuk membuat pembeli merasa tersentuh secara personal sehingga hubungan penjual-pembeli yang biasanya memang cuma transaksional saja dapat sedikit-banyak bergeser ke arah (seolah-olah) interpersonal dengan sepercik nuansa emosional. 

Meski demikian, di sisi lain, tak dapat saya sangkal bahwa kartu sederhana yang boleh difungsikan sebagai penanda halaman itu telah berhasil membuat saya cukup tersentuh. Buku ini jadi terasa agak istimewa. Terlebih ketika saya kemudian mulai membuka halaman-halamannya satu demi satu, membaca pesan penerbit di sisi dalam sampul belakang, dan merasakan sendiri betapa kertas buku ini memang lebih tebal dari kertas buku-buku pada umumnya. Terasalah bahwa buku ini seperti diterbitkan tidak secara sembarangan melainkan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan.

Adapun cerita di dalamnya sebenarnya, bagi saya, biasa-biasa saja. Tidak terlalu istimewa. Tak ada hal khusus yang membuat saya kagum. Intinya, ya, sebagaimana terangkum pada uraian singkat di sampul belakang buku. Mau tidak mau, suka tidak suka, kehidupan akan menuntut kita untuk melepaskan. Dan yang dilepaskan itu tidak jarang adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kita. Persoalannya tinggal bagaimana proses melepaskan semua itu. Kurang lebih demikianlah benang merah yang saya tangkap dalam alur cerita buku ini. 

Meski begitu, ada hal-hal yang saya sukai, yang membuat saya lumayan betah membaca buku ini. Walau inti ceritanya, buat saya, tidak terlalu menarik, cara penceritaannya ternyata mampu membuat saya rela menyisihkan waktu untuk membaca. Ini menyadarkan saya pada kenyataan bahwa isi cerita adalah satu hal yang bisa jadi memang penting, namun bagaimana cerita itu dibawakan adalah hal lain yang tak kalah penting. 

Entah apa istilah tepatnya, tapi kiranya bolehlah saya sebut itu sebagai 'teknik bercerita'. Ini meliputi: bagaimana kalimat-kalimat dirangkai, diksi atau pilihan kata yang dipakai dalam membangun deskripsi, selipan-selipan metafora dan pemaknaan terhadap peristiwa dari sudut pandang tokoh utama, serta manuver-manuver kilas-balik ('flash-back') yang disisipkan secara halus di banyak momen untuk memperkenalkan para tokoh serta menyibak latar persoalan yang mereka hadapi secara perlahan-lahan, tanpa harus membuat pembaca tersasar dalam kebingungan anakronis terhadap alur cerita. 

Tak terlalu banyak pengarang, saya kira, yang mampu menyajikan cerita dengan cara yang baik sedemikian rupa sehingga sebuah cerita yang tak terlalu menarik dapat terasa cukup menarik dibaca. Ada sensasi empuk dalam kalimat-kalimatnya yang serasa pas di benak. Tidak melelahkan ketika dibaca, terasa mengalir, tidak memburu-buru namun tidak juga berleret-leret, dan mampu menggoda saya untuk terus membaca tanpa harus menanamkan rasa penasaran ataupun kejutan-kejutan mendebarkan pemicu adrenalin. Cukup menakjubkan mendapati diri saya membaca sebuah cerita yang cenderung datar tapi ternyata tak terasa hambar. 

Ada kehangatan yang samar terasa di dalam cerita yang tergulirkan lewat serangkaian permenungan dari sudut pandang orang pertama dalam benak tokoh utama yang berperan sebagai narator. (Maklum, ini adalah sepotong kisah dalam bingkai sebuah keluarga). Di lain pihak, ada hawa kesunyian yang mengambang di antara ruang bagi kesepian dan ruang bagi pemaknaan, baik dalam kenangan-kenangan yang dibayangkan maupun harapan-harapan yang didambakan oleh narator dan para tokoh. Antara kedekatan batin yang terjalin dan keterpisahan jarak yang nyata. Antara masa muda bertabur kemungkinan dan masa tua yang kian mengendap dan menetap. 

Begitulah. Kelak, saya mungkin akan membaca ulang buku ini, entah kapan, suatu saat nanti. Bukan untuk melihat kembali apa yang diceritakan, melainkan untuk menikmati bagaimana sebuah kisah diceritakan. 


____________

Catatan lain: 

Selagi menulis ini, tiba-tiba saya merasa familiar dengan ilustrasi di sampul depan. Seperti pernah menjumpainya entah di mana. 

Menggali ingatan, saya pun teringat sepotong sajak berjudul 'Lanskap' oleh Sapardi Djoko Damono: 

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua

waktu hari hampir lengkap, menunggu senja

putih, kita pun putih memandangnya setia

sampai habis semua senja 


—29 Februari 2024

Tiga Dalam Kayu — Merangkai Fragmen Ingatan

Pernah kucoba membaca Semua Ikan di Langit. Tak sampai selesai satu bab, aku menyerah. Kepalaku dipenuhi puing-puing asing yang tak dapat kupahami. Aku mual intelektual (maksudnya: pusing). Sistem pencernaan dalam kepalaku tak sanggup mengurai potongan-potongan informasi yang kujejalkan ke dalamnya menjadi sesuatu yang mudah terbayangkan. Pada akhirnya, kusingkirkan buku itu dari hadapanku. Kubiarkan ia tergeletak di pojok rak, di bawah selimut debu dan jaring laba-laba, di bawah tumpukan buku-buku lain yang juga tak pernah selesai kubaca.

Pengalaman itu menyisakan semacam "trauma". Kupikir, novel karya Ziggy itu mungkin memang bukan untukku. Tak cocok dengan seleraku. Maka, untuk waktu yang lama, aku tak pernah lagi tertarik membaca karya-karya Ziggy lainnya. Rasanya tentu tak akan begitu jauh berbeda dengan 'Semua Ikan di Langit', pikirku.

Tetapi Jakarta Sebelum Pagi dan Di Tanah Lada kelihatannya begitu populer. Di rak virtual iPusnas, tak pernah kutemukan buku itu menganggur menunggu pembaca. Justru para pembaca yang jumlahnya ribuan itu rela mengantre dalam ketidakpastian untuk mendapatkan giliran kesempatan membacanya. Di toko-toko buku fisik pun, buku-buku tersebut sulit ditemukan.

Itu membuatku penasaran. Semenarik itukah karya Ziggy? Mungkin aku perlu mencoba kembali membaca karyanya untuk mencari tahu. Namun, karena kedua judul tersebut begitu sulit ditemukan, kubeli bukunya yang lain. Tiga Dalam Kayu akhirnya berada di hadapanku.

*

Demi menjaga diri dari terpaan rasa kecewa yang sama dengan yang pernah kualami di masa lalu, kutekan ekspektasiku serendah-rendahnya. Kupegang buku ini sambil dalam hati membulatkan tekad untuk membacanya sampai selesai. Seperti kenyataan sehari-hari, isi buku sering kali tak dapat diperkirakan, namun, suka atau tidak, itu mesti dihadapi dan sedapatnya diselesaikan. Beruntung, buku ini tidak begitu tebal, 160 halaman saja.

Sampulnya berwarna gelap. Serupa warna langit ketika malam, namun bukan hitam. Terkesan misterius. Seperti kelam yang membalut siluet bayang-bayang ketika dinihari. Begitu, kesan yang kudapati pertama kali. Kesan yang tidak terlalu melenceng dari apa yang nantinya kurasakan selama membaca isinya.

"Jangan menilai buku dari sampulnya!" Kata orang-orang ketika berusaha bijak. Harus disisipkan kata 'hanya' di tengah-tengah, supaya lebih akurat, menurutku. "Jangan menilai buku hanya dari sampulnya!" Bagaimana pun, sampul adalah bagian dari sebuah buku. Jadi, membaca buku tentu mencakup pula membaca sampul buku itu, bukan?

Misalnya membaca judul yang tertera di depan atau di punggung buku. Membaca nama sang pengarang yang terpampang ("Ziggy Zzzzz"). Membaca pilihan warna sampulnya. Membaca gambar-gambar ilustrasi pada sampul itu. Membaca "U 18+" di sebelah "novel" pada kotak putih tempat kode bar di pojok kanan bawah sampul belakang. Membaca "cetakan ketiga". Juga membaca sinopsisnya.

Kubaca semua itu pelan-pelan dan dengan penuh penghayatan, seperti mengeja tanda-tanda datangnya perubahan musim, berusaha menikmati kesan-kesan yang muncul, sebelum membiarkannya mengendap di dasar gelas.

Sepatu. Piano. Serangkai bunga. Dan, ada satu gambar ilustrasi pada sampulnya yang sulit kuterka sebagai apa. "Tampak seperti kue tart, atau potongan batang pohon kayu yang tergeletak?" pikirku. Nantinya, kusadari bahwa itu adalah sesuatu yang sama sekali lain, setelah selesai membaca seluruh cerita dalam buku ini.

Kubaca sekilas sinopsisnya. Cukup tak memberi kejelasan apa-apa mengenai apa yang boleh diharapkan. Tak kudapati timbulnya rasa penasaran yang lebih, dalam diriku. Kukira sinopsis tersebut telah gagal. Atau mungkin aku telah cukup sukses menekan tingkat ekspektasiku sendiri.

Lantas, seperti seorang bocah kecil dengan rasa ingin tahu mencondongkan kepalanya untuk memeriksa kedalaman sumur gorong-gorong, aku pun mencemplungkan wajahku ke dalam remang bayang-bayang pada halaman-halaman cerita pertama.

(Tak sempat peduli membaca daftar isi).

*

Aku sudah lupa apa saja yang sempat kubaca pada Semua Ikan di Langit, kecuali 'ikan julung-julung'. Cerita di bab pertama buku ini memperkenalkanku pada 'ikan selar', dan aku jadi teringat pengalaman bertemu 'ikan julung-julung'. Salah satu hal menyenangkan dari membaca buku adalah menemukan kata-kata, istilah, atau nama-nama yang seperti belum pernah dikenal sebelumnya. Mereka memberi tekstur berbeda pada pengalaman sehari-hari yang biasa.

Menjumpai pohon, bunga-bunga, melihat ikan, burung-burung, dan sebagainya, mungkin sudah menjadi hal biasa dalam keseharian. Tetapi pengalaman itu akan terasa berbeda bila yang dijumpai adalah, misalnya, Pohon Nusa Indah, atau Pohon Ketapang Kencana, atau Bunga Bara Belantara, atau Bunga Pijar Hutan, atau Kembang Kasih Terbakar, atau … dsb. Layaknya ketika kita berjalan-jalan di keramaian kota, antara bertemu dengan orang-orang, dan bertemu dengan seseorang yang dikenali, pengalaman itu akan terasa berbeda, bukan?

Perbendaharaan pengetahuanku mengenai nama-nama ikan memang layak dibilang miskin. Sama juga dengan nama-nama bunga. Nama-nama pohon. Atau nama-nama berbagai hal lainnya. Aku cukup payah dalam menghafalkan nama-nama. Mungkin itu ada hubungannya dengan aku yang tak banyak bergaul. Mungkin tidak, entahlah.

Ini bukan sesuatu yang penting buat semua orang, tapi cukup penting bagiku. Ikan Selar tak punya tempat khusus dalam keseluruhan atau bahkan sebagian saja dari buku ini. Ia hanya berarti khusus bagiku. Betapa menyenangkannya berkenalan dengan ikan-ikan, bunga-bunga, pohon-pohon, atau jenis-jenis gaya penataan rambut. Kata-kata memberi tekstur pada pengalaman. Membaca, salah-satunya, adalah proses berkenalan dengan kata-kata. Semakin banyak kata yang dikenali, semakin kaya pengalaman kita.

Dalam hal serupa nama-nama, Ziggy juga pandai memberi julukan pada apa saja. Kalau nama-nama adalah sesuatu yang baku dan berlaku umum, julukan adalah sesuatu yang lebih spesial dan cenderung personal. Lebih intim. Seperti nama yang berlaku khusus di antara yang menjuluki dan yang dijuluki. Julukan mengandung kualitas khusus, ciri-ciri khas, sifat-sifat unik, yang membedakan satu entitas dengan entitas lain yang sejenis. Melampaui nama-nama, mengenali sesuatu dengan julukannya akan menghadirkan pengalaman yang kiranya lebih dalam lagi.

Tiap penulis, pengarang, atau penyair, biasanya punya ciri-ciri khas tersendiri terkait preferensi kata-kata yang dipakainya dalam menciptakan suatu gambaran. Cukup mudah merasakan itu, meski belum tentu mudah menjelaskannya.

Sejak semula membaca Tiga Dalam Kayu ini, langsung bisa terasakan ciri khas Ziggy dalam kata-kata yang dipakainya untuk menghidupkan kalimat-kalimatnya. Seperti ada nuansa keluguan yang mengandung kejernihan, layaknya seorang kanak-kanak memandang dunia, namun tanpa kesan naif. Menggemaskan, tetapi juga mengandung ketajaman.

Tetapi bukan hanya itu, kekhasan yang dimaksud juga sangat terasa dalam cara Ziggy membangun gambaran mengenai apa yang diceritakannya. "Seperti menyusun keping-keping puzzle," aku sering bergumam ketika membaca.

Tiap kalimat adalah potongan informasi. Tiap paragraf adalah sepotong gambaran. Tiap bab adalah mozaik. Ziggy menyusunnya dalam suatu cara yang tidak terlalu biasa. Seperti membiarkan banyak celah menganga yang menuntut daya pikir, daya ingat, dan imajinasi pembaca untuk bekerja mengisinya sendiri dengan hubungan-hubungan entah bagaimana yang dapat membuat keseluruhan kisah menjadi sebuah dunia yang utuh dan masuk akal (meski tak harus sesuai dengan kenyataan sehari-hari). Tetapi ia seperti melakukannya tidak secara serampangan. Tak mungkin itu dapat dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Setidak-tidaknya, Ziggy juga selalu meninggalkan petunjuk-petunjuk untuk sedikit membantu pembaca merangkai potongan-potongan informasi yang ditebarnya menjadi cerita yang cukup utuh. Dan, di situlah kukira letak "kejeniusan" Ziggy.

Bagaimana menggambarkan gunung tanpa memperlihatkan gunung? Ziggy mungkin akan menghadirkan pohon-pohon tertentu, rumput-rumput yang bukan sembarang rumput, burung-burung dari spesies tertentu, dan berbagai hal spesifik lain yang, bagi pembaca dengan cukup pengetahuan dan pengalaman, akan dengan mudah dikenali sebagai—"oh, ini gunung." Ini sebuah perumpamaan saja. Tapi begitulah kira-kira.

Membaca Ziggy, ibarat seorang pelukis, seperti menyaksikan secara langsung prosesnya melukis sedangkan apa yang dilukisnya tak terlihat jelas sebelum segalanya benar-benar selesai dilukiskan. Ia menyicil cerita sedikit demi sedikit, meletakkan berbagai kepingan adegan secara (seolah-olah) sporadis namun tak sembarangan, menyingkap sepotong demi sepotong peristiwa yang saling tak terhubung, pelan-pelan, dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, dengan tetap memperhitungkan segala sesuatunya supaya senantiasa terasa mengalir terbacanya, sedikit demi sedikit, seperti diam-diam menyembunyikan benang merah sembari menampakkan fragmen-fragmen yang memukau perhatian, bagaikan seorang pesulap dengan trik rahasia, menciptakan penggalan-penggalan cerita-cerita misterius yang tak pernah gagal menarik perhatian, sebelum kemudian meletakkan potongan informasi penting pada akhirnya, dengan cara yang begitu kasual, nyaris tak disadari, tetapi kemudian menjadikan keseluruhan peristiwa tiba-tiba menjadi utuh sebagai sebuah cerita.

Berkali-kali aku dibuat terhenyak tepat pada titik di akhir kalimat terakhir. Berkali-kali aku dibuat seperti anak kecil yang lugu (agak dungu juga) dan mudah ditipu. Berkali-kali aku dibuat gemas atas pilihan-pilihan kata yang digunakannya. Berkali-kali aku merasa tercerahkan ketika menemukan potongan-potongan kalimat yang sederhana tetapi dalam maknanya. Meski tak jarang pula aku dibuat kebingungan merangkai alur dan gambaran peristiwa yang diceritakan.

Membaca buku ini (dan mungkin juga buku-buku Ziggy lainnya) jelas memerlukan daya tangkap dan daya ingat yang cukup terasah supaya terasa benar nikmatnya. Kalau tidak, bakal mudah terjebak alur, dan kesulitan merangkai cerita. Minimal, ada rasa ingin tahu dan kesungguhan hati untuk mengerti, meski harus membaca pelan-pelan.

*

Bab pertama buku ini langsung menenggelamkanku ke dalam sebuah dunia yang misterius. Kelam, cukup seram, dan agak mengerikan—segera saja "U 18+" di sampul belakang buku itu jadi masuk akal. Banyak kata-kata dan kalimat-kalimat yang "mencurigakan". Seperti ada maksud tertentu yang samar-samar. Rasanya seperti berjalan dalam keremangan subuh yang mencekam berbekal sebatang lilin di tangan. Jalan setapak membentang penuh kelokan di antara semak-semak rimbun, tak kelihatan ujungnya. Di sekitar terasa sepi, namun seolah-olah ada sesuatu yang selalu mengikuti di balik keremangan. Tak jarang aku jadi merasa harus menoleh ke belakang, memeriksa apakah jalan setapak yang tadi kulalui masih ada di sana untuk meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang tersesat. Kadang-kadang, jalan setapak di hadapanku tiba-tiba menghilang sehingga aku harus berbalik untuk mencari persimpangan yang tanpa sadar telah kulewatkan.

Sebelas bab pertama, rupa-rupanya, adalah sebelas buah cerita yang tak segera dapat ditemukan ketersambungannya. Tetapi akan selalu terasa ada hal-hal yang menjadikan semua itu sebenarnya cukup berhubungan. (Cerita tentang ibu, nenek, nenek buyut, istri, Maria, Soleram, penjara, persalinan, perkosaan, warna merah, Hawa.) Keterhubungan ini semakin dipertegas adanya pada bab ke-12. Meski begitu, selalu terasa ada sensasi mengganjal yang tertinggal. Seperti ada petunjuk-petunjuk yang terlewatkan. Aku jadi kerap diterpa keinginan untuk mengulang kembali pembacaan dari awal, meski tak kulakukan sebelum selesai, demi menghormati kemurnian peranku sebagai pembaca yang lugu. Lagipula, kisah belum sepenuhnya selesai. "Di depan sana, pasti akan kutemukan sesuatu yang kan menjadikan segalanya lebih terang," pikirku meyakinkan diri untuk terus membaca pelan-pelan.

"Ziggy membuatku jadi kanak-kanak," gumamku pada suatu ketika.

"Ziggy pandai memberi julukan," pikirku pada waktu yang lain.

Ziggy sering menghadirkan sesuatu yang berwarna merah, misalnya bunga dan darah. "Ini mencurigakan," pikirku.

"Siapakah 'aku' ini?" sering pula aku bertanya-tanya. Ziggy menghadirkan teka-teki yang membuatku bingung sampai lupa peran. "Aku harus jeli memperhatikan tanda-tanda."

Aku membaca ingatan-ingatan usangku sendiri tercermin dalam latar cerita-cerita pada paruh pertama buku ini. Zaman-zaman yang kebanyakan hanya pernah kualami sebagai cerita dari masa lampau yang dibawakan buku pelajaran sejarah, maupun buku-buku lainnya. Adapun "isi" ceritanya, kalau boleh kuterka (sebab memang tak terlalu gamblang ditampakkan), masih berkaitan dengan tema yang dewasa ini kian santer diperdebatkan di tengah masyarakat, dalam skala lokal hingga global. Kukira, buku ini mungkin bakal cukup menarik dikaji secara akademis sebagai bagian dari gelombang kritik terhadap realitas sosial politik masa kini.

Aku mencurigai adanya sejumlah "simbolisasi" yang seakan-akan menantang pembaca untuk coba menafsirkannya sendiri. Setidak-tidaknya, untuk dibawa pulang ke dunia nyata sebagai bahan permenungan sambil ngopi, atau sekadar teman duduk di dekat jendela sambil menatap awan berarak di atas pepohonan, mendengarkan burung-burung berkicau dari dahan-dahannya, dan bertanya-tanya apakah cinta ini masih layak diperjuangkan.

Di antara hal yang kubawa pulang sebagai oleh-oleh berharga dari petualangan membaca buku ini adalah sebuah lagu rakyat dari tanah asing. Lagu itu seharusnya dapat kutemukan sejak awal (kalau sudi meluangkan waktu membaca daftar isi) namun luput hingga buku ini selesai kubaca. Sebuah lagu yang, pada akhirnya, akan terasa pantas mengiringi permenungan terhadap cerita-cerita dalam buku ini.

Lagu itu juga tak lepas dari kecurigaanku. Kehadirannya, yang seakan sengaja disamarkan, seolah mengandung intensi tertentu. Meski tak menutup kemungkinan bahwa Ziggy hanya kebetulan saja memang menyukai lagu-lagu rakyat dari tanah asing yang jauh itu sehingga dengan semangat iseng-isenganya, meminjam penggalan-penggalan liriknya untuk digunakan, tanpa harus mengandung maksud khusus. Namun adegan pada akhir bab terakhir membuatku tak dapat tidak menganggap hal ini sebagai sebuah petunjuk penting. Tetapi kecurigaanku ini mungkin tak perlu kuuraikan lebih jauh. Anggap saja ini sekadar sebagai gambaran bahwa membaca buku ini hingga selesai tidak dapat menjamin bahwa pembacaan terhadapnya akan benar-benar terasa selesai. Apakah itu suatu yang baik atau buruk, kukira lebih afdal bila dikembalikan kepada masing-masing pembaca.

Pada akhirnya, meski tak dapat kukatakan sebagai buku yang mendekati predikat sempurna, Tiga Dalam Kayu adalah buku yang bagus. Kira-kira 7,5/10, kalau harus kuberi nilai.

*

Dalam pembacaanku, buku ini seperti percobaan  menghadirkan berbagai masa yang pernah dicatat sejarah, menjadikannya latar yang tersamar, untuk menampakkan peristiwa-peristiwa "kecil" yang sering dianggap tak penting, melambungkannya jauh hingga ke masa depan yang tak mustahil adanya, dirangkai jadi suatu kisah yang mengandung sindiran-sindiran berlapis (seperti bawang) terhadap kemanusiaan manusia. Apakah kita pernah sungguh-sungguh belajar, menggunakan pengetahuan-pengetahuan yang telah kita gali dan tumpuk-tumpuk dari zaman ke zaman, untuk memperbaiki diri? Ataukah semua itu memang hanya akan menjadi "kuburan" bagi kita sendiri? Dengan segala yang dapat kita ketahui, mungkinkah zaman akan berubah lebih baik?


—Agustus 2023

Salu Betue - Mengintip Jeram-Jeram Besar di Pedalaman Sulawesi

Selain Sungai Lariang dan Sungai Sa'dan, di antara sekian banyak sungai besar yang mengalir menembus daerah pegunungan bagian tengah Pulau Sulawesi, adalah Sungai Karama. Sungai ini, sebagaimana Lariang dan Sa'dan, mengumpulkan air dari berbagai dataran tinggi di kawasan pegunungan pedalaman Sulawesi, dan mengalirkannya ke lepas pantai Selat Makassar di sisi barat pulau terbesar ke-11 di dunia tersebut.

Sungai Sa'dan dan Lariang sudah cukup terkenal di kalangan pengarung jeram, khususnya pekayak, hingga ke mancanegara. Cukup sering saya mendengar pekayak dari luar negeri melakukan perjalanan di Sulawesi, dan setiap kali, Sa'dan dan Lariang selalu berada di antara daftar sungai-sungai yang mereka arungi. Mereka biasanya menjadikan Rantepao atau Makale di Tana Toraja sebagai home base. Dari situ, Sa'dan dan berbagai sungai anakannya berada tak jauh, dan relatif mudah diakses. Sedangkan Lariang yang berada cukup jauh sehingga butuh lebih dari sehari perjalanan darat untuk dicapai, serta 2 - 3 hari untuk diarungi, biasanya dijadikan sajian utama yang dikemas sebagai petualangan semi-ekspedisi.

Adapun Sungai Karama, hampir tidak pernah terdengar kabarnya di telinga saya. Terakhir kali saya mendengar kabar terkait sungai tersebut adalah ketika pada 2016, Wanadri melaksanakan ekspedisi mengarungi Salu Uro yang--setelah saya pelajari di kemudian hari--ternyata merupakan salah satu anak sungai di hulu Sungai Karama. Sungai Karama sendiri sudah sejak 1993 tercatat diarungi pertama kali oleh tim ekspedisi Palapsi UGM (yang pada waktu itu, konon katanya, juga sempat mengarungi 5 km bagian Salu Uro).

Menelusuri kembali informasi yang dapat saya peroleh mengenai kedua ekspedisi tersebut sambil membuka peta, saya menemukan bahwa selain Salu Uro, ada sebuah sungai lain yang juga merupakan penyuplai air utama bagi Sungai Karama. Sungai ini bernama Salu Betue.

Membandingkan wilayah tangkapan air antara Salu Uro dan Salu Betue secara sepintas pada peta topografi, sungai yang terakhir ini nampak memiliki wilayah tangkapan yang lebih luas. Dengan kata lain, potensi debit airnya pun berkemungkinan lebih besar daripada Salu Uro.

Agak mengherankan bagi saya bahwa Wanadri memilih Salu Uro, alih-alih Salu Betue, sebagai sungai yang dijadikan target ekspedisi. Mengingat kedua sungai tersebut berada dalam satu sistem sungai yang sama, juga dalam wilayah administratif yang sama. Akses jalan menuju Salu Betue bahkan kelihatannya relatif lebih mudah. Dalam benak saya, Salu Betue seharusnya lebih "mengugah" ketimbang Salu Uro.

Bagian yang saya kira paling "menarik" untuk diarungi dari Salu Betue adalah sepanjang 26 km, mulai dari pertemuan Salu Lodang, dekat ibu kota Kecamatan Seko [-2.281434, 119.885556], ke arah barat hingga di sebuah jembatan antara Desa Hoyane dan Desa Tanama Kaleang [-2.317273, 119.715681], sekitar 4 km sebelum pertemuan Salu Uro.

Dari total 26 km itu, 9 km pertama aliran sungai terlihat didominasi oleh flat. Gradien rata-rata bagian ini—menurut hasil perhitungan jarak dan beda ketinggian di atas peta topografi—adalah 4,5 m/km, dengan beberapa jeram yang kemungkinan termasuk dalam kategori tingkat kesulitan grade 2 hingga 3. Sepanjang bagian ini, sungai mengalir di dasar lembahan berlereng curam antara Buntu Tambolang dan Buntu Donno.

Peta RBI Salu Betue
Potongan Peta RBI Skala 1:50.000 Lembar 2113-62 [ENO] Menampilkan Salu Betue (Sumber: tanahair.indonesia.go.id)

Lepas dari lembahan tersebut, sungai akan mengalir meliuk melewati daerah persawahan di lubuk suatu daerah cekungan landai dekat Buntu Datta, di mana aliran Salu Sae dan Salu Lambiri bergabung dari sisi kiri. Inilah titik akhir bagian 9 km pertama itu. Pada citra satelit terlihat adanya perkampungan tak jauh dari sungai, dan ada beberapa jembatan gantung menyeberangi sungai yang sepertinya adalah akses jalan bagi para penduduk untuk menuju sawah. Titik ini, berada tak jauh dari Dusun Lambiri, Desa Embonatana, dapat pula menjadi alternatif titik awal pengarungan jika tidak ingin mengarungi bagian 9 km yang minim jeram di atasnya. Tepat setelah titik ini, selepas jembatan gantung terakhir setelah sungai berbelok ke kiri, gradien aliran sungai akan menjadi curam. Sepanjang 15 km selanjutnya, dari citra satelit terlihat jeram-jeram besar dan panjang mendominasi.

Silakan jelajahi satellites.pro untuk tampilan citra satelit yang lebih jelas dibanding Google Maps. Berikut ini beberapa jeram panjang yang ada.








Gradien rata-rata secara keseluruhan bagian ini adalah 18,6 m/km. Namun, bila mengabaikan panjang aliran flat, total panjang bagian berjeram adalah 6,1 km. Bila ini digunakan sebagai pembagi selisih elevasi titik awal (1060 mdpl) dan akhir (780 mdpl), maka dapat diperkirakan bahwa rata-rata gradien jeram pada bagian tengah ini adalah 45,9 m/km. Dengan gradien securam itu, ditambah debit air yang cukup besar, penampakan citra satelit yang memperlihatkan jeram-jeram besar penuh buih-buih putih pun menjadi lebih masuk akal.

Topografi Rabbit Hole - Jembatan Parhitean di Sungai Asahan diambil dari Google Maps.
Perhatikan bahwa beda ketinggian antar garis kontur kecil adalah 20 m. Titik 0 km garis ukur berada di antara garis kontur ketinggian 280 dan 300, dan titik 3,2 km berada di antara ketinggian 200 dan 220. Jika diambil rata-ratanya, maka titik 0 berada kira-kira pada 290 mdpl dan titik 3,2 berada kira-kira pada 210 mdpl. Maka perhitungan gradien rata-ratanya adalah (290 - 210) / 3,2 = 80 / 3,2 = 25 m/km.

Untuk perbandingan, gradien rata-rata 3,2 km Rabbit Hole Section sampai Jembatan Parhitean di Sungai Asahan adalah 25 m/km. Dengan debit air yang melimpah, bagian tersebut memiliki jeram-jeram bertingkat kesulitan grade 4 hingga 5. Adapun Salu Betue ini, debit airnya mungkin memang tidak sebesar debit Asahan, tetapi dengan gradien yang jauh lebih curam, maka dapat diperkirakan bahwa jeram-jeram pada 15 km bagian tengah Salu Betue akan didominasi oleh jeram-jeram grade 5. Bahkan mungkin pula terdapat jeram grade 6.

Topografi sebuah jeram di Sungai Cimanuk di bawah Waduk Jatigede.
Dengan cara yang sama dengan sebelumnya, dapat diamati bahwa perbedaan elevasi sepanjang 1 km bagian tersebut adalah kira-kira 40 m.
Tampilan citra satelit jeram Sungai Cimanuk di bawah Waduk Jatigede tersebut pada situs satellites.pro.

Pembanding lain yang karakteristiknya mungkin lebih serupa adalah 2,5 km bagian Sungai Cimanuk selepas Waduk Jati Gede, dari Jembatan Eretan sampai Jembatan Parakan Kondang. Penampakan jeram-jeram di bagian tersebut, terutama jeram yang paling besar, mirip dengan jeram-jeram di bagian tengah Salu Betue, dengan profil gradien yang juga hampir sama, serta batu-batu besar berserakan dan menyembul di tengah-tengah jeram.

Selepas 15 km di bagian tengah Salu Betue ini, gradien aliran sungai akan kembali melandai sepanjang 2 km sampai di jembatan batas Desa Tanama Kaleang - Hoyne. Ini adalah titik ideal untuk mengakhiri pengarungan, sebab berada tak jauh dari wilayah perkampungan dan akses jalannya terlihat cukup lebar dibanding jembatan sebelumnya.

Aliran sungai sebenarnya masih terus berlanjut hingga pertemuan Salu Uro, kemudian memasuki Sungai Karama di wilayah Sulawesi Barat. Namun, 2 km selepas jembatan Tanama Kaleang - Hoyane, gradien aliran sungai akan kembali menjadi curam. Pengamatan pada peta citra satelit memperlihatkan jeram yang sangat panjang berkelanjutan tanpa jeda dengan banyak batu-batu besar berserakan dan bertumpuk-tumpuk. Pengukuran pada peta topografi menunjukkan bahwa gradien 2 km bagian ini hingga ke pertemuan Salu Uro adalah 50 m/km. Besar kemungkinan bagian ini terlalu berbahaya untuk dapat diarungi.

Jeram pertama selepas jembatan Tanama Kaleang - Hoyane

Dari hasil mengamati dan mempelajari peta tersebut, menjadi dapat dimengerti mengapa kiranya Wanadri tidak memilih mengarungi sungai ini. Jeram-jeram yang menanti sepertinya terlalu besar dan panjang. Jeram-jeram ini juga mungkin akan sangat sulit untuk diarungi menggunakan perahu karet. Namun, saya kira jeram-jeram tersebut masih cukup memungkinkan untuk diarungi menggunakan kayak. Tentunya oleh kelompok pekayak dengan skill yang sudah cukup tinggi.

Adakah pekayak-pekayak dalam negeri yang punya skill sepadan untuk mengarungi Salu Betue ini? Ataukah kita memang hanya bisa menunggu pekayak dari luar negeri menemukan dan mengarunginya lebih dulu?


Juli, 2013

Menelusuri Kembali Jejak Informasi Ekspedisi Salu Uro dan Salu Karama — Sebuah Penjelajahan Lewat Dunia Maya

Pada bulan Juli hingga Agustus tahun 2016, Wanadri melakukan ekspedisi mengarungi Salu Uro menggunakan perahu karet. Pengarungan tersebut diklaim sebagai 'first descent'.

'First descent' adalah sebuah istilah yang, dalam makna paling umum dan prestisius di dunia arung jeram, berarti bahwa sebuah pengarungan merupakan pengarungan yang pertama kalinya dilakukan di suatu sungai (atau bagian tertentu suatu sungai).

Waktu pertama kali saya mendengar berita ekspedisi Wanadri tersebut, sebagai seorang yang berasal dari Tana Luwu, khususnya Kab. Luwu Utara, wilayah di mana Salu Uro berada, saya merasa cukup penasaran untuk mengetahui di manakah gerangan letak sungai itu pada peta.

Mencermati Google Maps, dan membandingkannya dengan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000 yang diunduh dari situs tanahair.indonesia.go.id, akhirnya saya ketahui bahwa sungai tersebut mengalir di dataran tinggi Rongkong dan Seko yang, dari kampung halaman saya, berada sangat jauh di pedalaman daerah pegunungan sana. Daerah yang memang tak mudah diakses.

Cukup lama berselang setelah itu, Wanadri akhirnya mempublikasikan vidio dokumentasi ekspedisi tersebut di YouTube. Namun, tak terlalu banyak informasi yang cukup jelas perihal dari titik mana hingga titik mana bagian sungai yang telah mereka arungi dapat diperoleh dari situ.

Di kemudian hari, setelah Palapsi UGM merayakan Lustrum ke-9, iseng, saya membaca-baca salah satu 'blog post' di pecintaalampsikologiugm.wordpress.com. Sebuah artikel lama tentang arung jeram Sungai Karama, salah satu ekspedisi pengarungan yang pernah dilakukan Palapsi pada 1993.

Di situ disebutkan bahwa sebelum mengarungi Sungai Karama, tim Palapsi sempat mengarungi Salu Uro. Diceritakan bahwa sehari sebelum tanggal 11 Januari, mereka mengarungi Salu Uro sepanjang 5 km dengan titik akhir di Desa Kariango (-2.3866053, 119.7632845).

Setelah mengetahui hal tersebut, saya pun berusaha mencari tahu kembali berbagai informasi tentang ekspedisi Salu Uro Wanadri. Satu hal yang saya ketahui dari vidio di YouTube tersebut, ada bagian sepanjang 9 km di tengah-tengah pengarungan yang mereka 'skip' karena dinilai 'unrunnable'.

Hasil amatan saya terhadap Salu Uro melalui citra satelit Google Maps membawa kesimpulan bahwa bagian yang mungkin mereka 'skip' itu adalah dari titik -2.463204,119.788100 hingga titik -2.4360248, 119.7572016 di mana terdapat sebuah jembatan gantung. Pada bagian sepanjang 9 km (menurut hasil ukur pada Google Maps) itu, sungai mengitari sebuah gunung (yang di peta RBI bernama Buntu Maipi) dan memang terlihat dipenuhi jeram-jeram sangat panjang serta tumpukan batu-batu besar pada citra satelit Google Maps.

Menghitung garis kontur pada peta RBI, sepanjang 9 km itu, sungai mengalir dari ketinggian 1720 mdpl ke 1225 mdpl. Artinya, gradien rata-rata bagian tersebut adalah sekitar 52,8 m/km. Itu jauh di atas gradien sungai-sungai yang lazim diarungi di Indonesia yang, sepengetahuan saya, rata-rata tak lebih dari 25 m/km.

Dari vidio YouTube tersebut juga dapat diketahui bahwa bagian yang mereka 'skip', atau yang dalam istilah Wanadri: 'dilambungi' itu, bermula dari kilo meter (KM) 28 hingga KM 37. Dengan informasi tersebut, setelah diukur pada Google Maps, saya perkirakan titik mula pengarungan mereka adalah di sekitar pertemuan antara Salu Uro dengan Salu Toraja pada titik koordinat -2.597704,119.846039.

Beberapa artikel berita daring yang kebanyakan dipublikasikan pada Januari 2016 menyebutkan bahwa ekspedisi Wanadri tersebut akan mengarungi Salu Uro sepanjang 76,66 km. Namun, di situs Portal Bandung (bandung.go.id), rilisan berita bertanggal 13 Agustus 2016 tentang pelepasan keberangkatan ekspedisi tersebut oleh Gubernur Jawa Barat ketika itu, Ridwan Kamil, disebutkan bahwa:

"Wanadri menargetkan akan mengarungi aliran Salu Uro dengan beragam tingkat kesulitan jeram yang ada di sepanjang 53 kilometer aliran sungai yang mulai di arungi dari Rongkong dan berakhir di Desa Pohyaang Kecamatan Seko."

Jika diukur dari titik pertemuan Salu Toraja, yang secara administratif memang masuk dalam wilayah Kecamatan Rongkong menurut peta RBI maupun Google Maps, sepanjang sekitar 53 km ke arah hilir, maka kemungkinan titik akhir pengarungan tersebut adalah di [-2.353186,119.723783-2.358431,119.714597 (*dikoreksi). Titik tersebut, jika dilihat pada peta RBI, berada tak jauh dari Pohyaang. Ini cukup sesuai dengan pernyataan kutipan di atas.

Selain itu, bila mengamati momen ketika Wanadri mengakhiri pengarungan dan sebuah foto yang kelihatannya diambil di tempat yang sama, dalam vidio di YouTube (pada menit 11:17 - 11:38) itu, bentukan sungai yang berbelok ke kiri serta penampakan batuan di tepian sungai terlihat cukup mirip dengan gambar citra satelit Google Maps pada titik tersebut. Ditambah lagi, terdapat penampakan jalan setapak dari tepi kanan sungai menuju desa terdekat. Hal-hal tersebut menjadikan saya cukup yakin bahwa memang di situlah titik akhir pengarungan Wanadri.

Jika apa-apa yang saya perkirakan di atas itu ternyata memang benar adanya, maka pengarungan Wanadri tersebut tentunya melewati Desa Kariango serta bagian sepanjang 5 km yang pernah diarungi Palapsi pada 1993. Dari hasil pengukuran Google Maps, kemungkinan titik mula pengarungan S. Uro Palapsi adalah di -2.4202910, 119.7694285, sekitar 5 km ke arah hulu dari Kariango dan 4 km ke arah hilir dari jembatan gantung tempat perkiraan titik permulaan kembali pengarungan Wanadri sehabis melambungi Buntu Maipi.

Adapun bila diukur sejauh sekitar 76 km dari pertemuan Salu Toraja, maka titik akhir pengarungan akan berada di -2.3586857, 119.6189160, tak jauh dari Desa Karama. Dalam artikel Palapsi disebutkan bahwa setelah mengarungi 5 km Salu Uro, tim mereka melakukan perjalanan darat menuju Karama (Tambingtambing) dan memulai kembali pengarungan dari desa tersebut sampai ke Desa Kalumpang, ibukota Kecamatan Kalumpang.

Ini membuat saya mengira-ngira bahwa mungkin, pada awalnya, Wanadri berencana melakukan pengarungan sepanjang 76 km dengan titik akhir di Karama. Namun kemudian, setelah mempelajari sungai yang hendak mereka arungi secara lebih detil, diketahui bahwa di daerah lembah antara tiga gunung, yakni Tanete Tanduk, Tanete Mangi, dan Tanete Baba Kecil, menjelang pertemuan Salu Uro dengan Salu Seppang dan menjadi Salu Karama, aliran sungai menjadi terlalu curam dan dinilai 'unrunnable' (tidak dapat diarungi). Karena itulah mereka kemudian memutuskan untuk melakukan pengarungan sampai di Desa Pohyaang saja.

Bagaimanapun, semua ini memang cuma perkiraan-perkiraan saja, meski rasanya cukup sesuai dengan berbagai informasi yang saya dapatkan. Kalau perkiraan ini ternyata memang benar, apakah klaim 'first descent' Wanadri di Salu Uro kemudian menjadi tidak sah? Saya rasa tidak juga. Namun idealnya tetap perlu diperjelas bahwa 'first descent' yang dimaksud adalah pada bagian yang mana, dari titik mana sampai titik mana. Dengan begitu, setidaknya, bagian-bagian sungai yang di-'skip' akan tetap lebih jelas berstatus belum pernah diarungi, dan ketika kelak (siapa tahu) ada yang berhasil mengarunginya, mereka dapat dengan lebih pede membanggakannya sebagai 'first descent'.

Sekali lagi, seandainya apa-apa yang saya perkirakan ini memang benar, maka bagian-bagian yang belum pernah diarungi dari Salu Uro dan Salu Karama adalah 9 km mengitari sisi barat Buntu Maipi, dan sekitar 23 km dari Desa Pohyaang sampai Desa Karama. Kedua bagian itu memang kelihatan sangat terjal dan sangat mungkin menyimpan air terjun serta jeram-jeram 'unrunnable'.

Tapi, selain itu, masih ada sebuah anak sungai lain yang mengalir dari Seko (Desa Padang Balua dan Desa Padang Raya) yang sejauh ini belum terdengar pernah diarungi. Sungai yang di peta RBI bernama Salu Betue (yang kemudian akan menjadi Salu Seppang sebelum bertemu Salu Uro dan menjadi Salu Karama) ini, pada penampakan citra satelit Google Maps terlihat menyimpan cukup banyak jeram yang sepertinya layak dan memungkinkan untuk diarungi.


Juni, 2023

Membaca 'Mubeng Beteng' —Memungut Yang Jatuh Dari Pelepah Sejarah



'Mubeng Beteng' adalah buku kumpulan puisi karya Bambang Widiatmoko yang ditulis pada kurun tahun 2018 hingga 2020. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2020 oleh Interlude, Yogyakarta.

"Siapakah Bambang Widiatmoko?" Belum pernah kudengar namanya di antara nama penyair-penyair terkenal lain yang kutahu. Memang tak banyak penyair atau pengarang yang kutahu, dan tentu tak semua penyair atau pengarang adalah penyair atau pengarang terkenal.

Meski sering mengaku dan berpura-pura menyukai puisi dan punya hobi membaca buku, sebenarnya aku memang tak begitu berwawasan luas mengenai dunia sastra dan literatur. Namun, hal itu kadang-kadang terasa seperti berkah tersendiri, sebab dengan demikian, jadi cukup mudah aku menjumpai sesuatu yang seolah-olah baru, dan itu kadang-kadang membuat hidupku jadi terasa agak kurang membosankan. 

Aku membeli buku ini karena teringat bahwa aku pernah ikut prosesi Mubeng Beteng, memenuhi ajakan sekaligus permintaan tolong seorang kawan. Tentu, itu salah satu—namun bukan satu-satunya— alasan aku menyanggupi permintaannya. 

Alasan lain adalah karena setelah bertahunan menumpang tinggal di Jogja, tiba-tiba aku menyadari bahwa ternyata masih ada begitu banyak hal tentang kota itu yang masih bisa terasa baru bagiku, seolah-olah baru pertama kali itu aku mengenalnya. Dan itu, sekali lagi, membuat hidupku jadi terasa agak kurang membosankan. 

Petikan baris sajak di sampul belakang buku ini, kurasakan, sangat kental mewakili fragmen-fragmen penghayatanku sendiri atas pengalaman berjalan kaki sambil membisu mengitari benteng keraton Yoga pada malam tahun baru Saka itu. 

Aku terus berjalan

dengan langkah perlahan

Setiap tarikan nafas

adalah ibadah dalam sunyi

Kupikir, itulah alasan paling kuat yang mendorongku membeli buku ini, meski sama sekali belum pernah aku mendengar nama penulisnya. 

Rasa-rasanya, membeli buku acap kali bagaikan sebuah pertaruhan. Tak jarang, buku yang dibeli ternyata tak sesuai harapan. Tetapi, apakah yang dapat diharapkan dari sebuah buku, terlebih sebuah buku puisi? 

Bagiku, puisi-puisi setidaknya harus mampu menggugah pembaca dari ketertidurannya akibat ninabobo keseharian yang menjemukan namun tak terelakkan. Puisi-puisi yang bagus perlu memiliki semacam "khasiat" untuk membuka mata pembaca sehingga dapat disaksikannya hal-hal yang biasanya terlewatkan begitu saja dari pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari yang memang tak harus luar biasa ini. 

Batu yang tergeletak teronggok di pinggir jalan, waktu yang dikejar-kejar dan mengejar-ngejar silih berganti, langit yang biru maupun yang kelabu, semut yang berbaris merambati celah sudut kamar, air yang mengaliri selokan atau tergenang di tengah jalan, debu yang tiba-tiba sudah tebal menempel di kaca, dan lain sebagainya, adalah hal-hal yang begitu biasa adanya dalam kehidupan sehari-hari namun belum tentu kita saksikan keberadaannya. 

Puisi yang bagus, setidaknya harus dapat membuat kita menyadari keberadaan berbagai hal yang memang ada namun dengan suatu cara yang seolah-olah baru, lebih mendalam, dan lebih utuh keterhubungannya dalam suatu kerangka makna yang lebih universal.

Petikan puisi yang tertera di sampul belakang buku itu, kukira, telah membuatku cukup tergugah menyaksikan betapa peristiwa yang pernah kualami sendiri itu rupanya dapat secara sadar terhayati lebih dalam lagi. Tentu, puisi-puisi lain dalam buku ini kuharapkan akan menyajikan hal yang serupa dengan itu. Maka kubelilah buku ini.

Itu sudah lebih dari setahun yang lalu, sebelum aku pulang kampung, pergi meninggalkan Jawa. Selama itu, aku ternyata belum membacanya sampai tuntas. Kini, kucoba menyelesaikan pembacaan buku ini, supaya tak terasa sia-sia belaka aku membelinya. 

*** 

Membaca lembar demi lembar buku ini, dari puisi satu ke puisi yang lain secara berurutan, bagaikan dipandu ke dalam suatu perjalanan ke berbagai tempat di berbagai daerah, baik di dalam maupun luar negeri, lantas disuguhi satu dua buah bahan untuk diperhatikan dan direnung-renungkan. 

Angin berhembus memancarkan aura gaib

Gemerisik pelepah dan kelapa tua jatuh

Seolah sebuah kisah tua

Dan aku mencoba memungutinya

Demikianlah puisi-puisi itu terasa bagaikan kisah-kisah tua yang terjatuh dari pelepah pohon sejarah, dipunguti Si Pengarang di berbagai tempat yang pernah dikunjunginya, lalu diceritakan kembali kepada pembaca. 

Corak kesejarahan benar-benar kental terasa sejak puisi-puisi paling awal. Betapa setiap tempat menyimpan manuskrip risalah atau hikayatnya masing-masing, dan di dalamnya tersimpan bahan-bahan renungan untuk mempersambungkan masa kini dengan akar masa lalunya yang terkubur waktu. Seakan memandang ke masa lalu dapat membantu kita menemukan secercah kejernihan untuk menatap menembus kabut masa depan. Atau setidaknya, menemukan sejumput harapan untuk digenggam. 

Masa lalu juga berkaitan dengan tradisi. Dan di dalam tradisi terkandung bermacam-macam laku ritualistik yang, setelah sekian lama terus menerus dijalankan, menjadi rawan kehilangan maknanya. Banyak pula, dalam buku ini, puisi-puisi yang mengetengahkan ritual-ritual tradisional sebagai bahan untuk mempertanyakan kembali posisi, peran, bahkan nilai menjadi manusia dalam kehidupan ini. 

Puisi-puisi ini seperti potret-potret sederhana namun sarat makna, dalam wujud kata-kata, tentang tempat-tempat biasa yang menyimpan kisah masing-masing dalam kelindan antara yang telah lalu dan yang akan datang. Tentang laku ritualistik yang selalu perlu dimaknai kembali. Dan pada akhirnya, tentang menyelam ke dalam diri sendiri. 

*** 

Dalam perjalananku membaca-baca puisi, kuperhatikan ternyata cukup banyak yang seperti menyangka bahwa puisi ditentukan oleh kata-kata. Ada kata-kata yang dianggap bagaikan memang sudah puitis dari sononya, seakan kata-kata itu sendiri adalah puisi, dan kalau merangkai kalimat dengan kata-kata itu di dalamnya, maka itulah sebuah kalimat yang memang layak belaka disebut puitis. 

Tidak sedikit yang teramati olehku memiliki kecenderungan meletakkan pengertian puisi pada kata-kata tertentu yang dianggap puitis begitu, sedemikian rupa sehingga kalau mereka mengarang puisi, akan senantiasa diupayakan supaya kalimat-kalimat yang dibuat mengandung kata-kata puitis tersebut dalam kadar yang setinggi mungkin seolah-olah derajat kepuisian sebuah puisi memang ditentukan oleh tingginya kadar kandungan kata-kata puitis itu di dalamnya. Kecenderungan demikian, kuperhatikan, selalu melahirkan puisi-puisi yang terkesan dipaksakan, yang pada akhirnya malah kerap gagal menghadirkan pengalaman puitik dalam penghayatan pembaca. 

Selain itu, ada pula yang menyangka bahwa bentuk atau pola susunan kata-kata, misalnya terkait rima atau juga pemenggalan kalimat, sebagai elemen teramat penting yang harus dikandung sebuah puisi untuk dapat disebut benar-benar puisi. Bahwa hal tersebut sering kali memang menjadi corak pengemasan puisi, sebab di antaranya memang terasa sangat efektif untuk menuntun ritme pembacaan agar kata demi kata yang tersaji dapat dilahap dan dikunyah secara optimal oleh pembaca, namun kemasan toh tetap tidak dapat menggantikan isi yang dikemasnya. 

Betapa sering kutemukan puisi-puisi yang sudahlah mengandung dosis kata-kata puitis yang tinggi, bentuk kemasannya pun canggih pula, namun ternyata semua itu hanya sekadar "gimmick", seperti botol-botol minuman yang kelihatan indah dari luar namun setelah diteguk ternyata isinya bukan anggur melainkan air tawar atau bahkan kekosongan belaka, tak ada isinya. 

Puisi-puisi Bambang Widiatmoko dalam 'Mubeng Beteng' ini sama sekali bukan jenis puisi yang demikian. Justru sebaliknya, kebanyakan puisi-puisi yang ada dalam buku ini bagaikan sama sekali tak diupayakan untuk menjadi puisi, namun dengan sendirinya menjelmakan puisi. 

Ibarat air di antara pematang sawah, kata-kata yang terbaca mengalir dengan lancar dan tenang tanpa menciptakan banyak percikan dan buih-buih, dan seolah tanpa sengaja, menjelmakan sebuah pengalaman puitik, hampir-hampir secara alamiah tanpa campur tangan siapa-siapa. 

Si Pengarang seperti membiarkan pengalaman-pengalamannya mengalir begitu saja, keluar dari relung-relung ingatannya, tentang berbagai daerah dan tempat-tempat yang pernah dikunjungi atau sekadar dilaluinya dalam perjalanan, dalam upaya menceritakan kembali rekaman pengalaman itu, tidak kepada siapa-siapa melainkan kepada dirinya sendiri. Dengan struktur dan kata-kata yang sederhana namun mengandung semacam kejujuran dan kejernihan. Aku percaya bahwa kejujuran itulah yang membuat cerita yang menyerupai catatan-catatan perjalanan singkat ini pada akhirnya mampu menghunjamkan akarnya cukup dalam hingga menjangkau dimensi pengalaman puisi. 

Ada nuansa kelirisan dalam puisi-puisi dalam buku ini, meski tak sepekat lirisnya sajak-sajak Sapardi. Lebih menyerupai kelirisan yang lugu. Yang sederhana dan lekat dengan keseharian orang-orang biasa. 

Membaca puisi-puisi ini secara keseluruhan seperti membaca catatan refleksi perjalanan menyinggahi berbagai tempat. Kebanyakan refleksi itu dilakukan terhadap sisa-sisa jejak riwayat masa lalu, acap kali bagaikan seorang sejarawan peneliti dalam pengembaraan melacak asal-usul masa kini pada bekas-bekas peninggalan masa silam, mencari ketersambungan jawab atas pertanyaan-pertanyaan yang kerap menghadang di masa kini, tentang apa dan siapakah kita ini sesungguhnya. 

Di sini telah kutemukan seleret cahaya

Dari mata dan jati diri yang terbuka 


—Mei, 2023


Metafora yang Layak Direnungkan - Membaca 'Rumah Kertas'


Buku ini saya beli sudah lebih dari setengah tahun yang lalu. Dua—tiga halaman awal sudah sempat saya baca, pasca beli waktu itu, namun tak sanggup saya lanjutkan hingga selesai. Faktor utamanya adalah karena otak saya serasa harus bekerja satu setengah kali lebih keras untuk mengunyah kalimat-kalimatnya. 

Memang, membaca novel hasil terjemahan dari bahasa asing acap kali terasa “awkward”. Struktur kalimatnya kerap terasa kurang alamiah ketika dibaca. Diksi-diksinya pun kadang terasa kurang akrab di benak. Hal itu mungkin dikarenakan penerjemah berusaha menjaga agar terjemahannya tidak terlalu menyimpang dari struktur dan nuansa teks asalnya.

Memang ada makna-makna tersirat (tak tertulis) yang tak kalah penting dibanding kata-kata yang tersurat (tertulis) yang menjadikan sebuah karya sastra sebagai sesuatu yang utuh. Bagaimana menjaga agar yang tersirat itu tak hilang ketika yang tersurat (kata-kata dan struktur kalimat) dialihbahasakan, kiranya adalah tantangan terbesar yang membuat proses menerjemah bisa jadi sama sulitnya dengan—bahkan mungkin lebih sulit daripada—proses mengarang karya itu sendiri.

Adapun buku ini, meski tak lepas dari ke-“awkward”-an itu, namun, saya rasa masih jauh lebih mending daripada beberapa buku terjemahan lain yang pernah saya icipi dalam hidup ini, yang sampai memaksa otak saya bekerja hampir tiga kali lebih keras dari biasanya.

Kabar baiknya, novel ini cuma 76 halaman saja, yang membuatnya mungkin lebih cocok disebut novela. Inilah bahan pertimbangan yang membuat saya memutuskan membelinya waktu itu, meski menyadari bahwa berdasarkan pengalaman, buku-buku terjemahan sering kali tak terlalu enak dibaca.

Karena sedang lumayan senggang, saya pun mencoba kembali membaca buku ini. Pada awalnya memang masih terasa sama “awkward”-nya dengan dahulu, namun saya paksakan saja terus. Ceritanya sendiri sebenarnya cukup menarik. Terlebih karena yang diceritakan adalah sebuah “dunia” yang cukup aneh (dalam arti mengandung suatu hal baru yang cukup asing menurut standard pengalaman hidup saya) sehingga cukup merangsang rasa penasaran saya.

Terdiri dari empat bagian, bagian satu dan dua menurut saya adalah bagian yang terberat untuk dibaca. Ibarat perjalanan mendaki gunung, itu adalah bagian yang menanjak. Misteri yang cukup solid dibangun di awal cerita seperti kian memudar daya pikatnya seiring bergulirnya cerita.

Namun, menjelang akhir bagian ke dua, sebuah kenyataan kemudian terkuak, dan bagi saya terasa bagaikan petir menyambar di siang bolong. Di satu pihak, itu memperterang jawaban atas pertanyaan yang menjadi misteri sejak awal cerita. Di sisi lain, itu menghadirkan “dunia” baru yang diselimuti misteri yang lebih pekat lagi.

Misteri yang sungguh-sungguh "unik" dan "gila" (sebagamana disebutkan dalam resensi di sampul belakang buku ini), yang menjadikan sisa cerita kemudian terasa lebih ringan dibaca, meski di saat yang sama justru semakin dalam memasuki ranah pengalaman simbolik tanpa keterangan yang gamblang.

Ibarat perjalanan turun setelah berhasil mencapai puncak gunung; ia perlahan-lahan mengendapkan metafora-metafora yang lebih dari sekadar cerita tentang peluh, lelah, letih, terik matahari, dingin kabut, dsb., dalam diri. Pada akhirnya, judul ‘Rumah Kertas’ itu pun menjadi terasa kian bermakna, sebagai sesuatu yang nyata, sekaligus sebagai metafora yang sangat layak untuk direnungkan kembali.


April, 2022

Melankoli yang Ironis - Membaca 'Ibu Kota / Air Mata'


Membaca judul (dan ilustrasi) pada sampul buku ini, segera dapat diterka bahwa puisi-puisi di dalamnya bakal sangat kental dengan nuansa melankoli.

Melankoli yang ironis, menurut saya. Melankoli dalam peluk mesra Ibu Kota. Yang nampak jelas, sekaligus yang tersamar. Yang memuakkan, namun tak sanggup ditinggalkan. Yang dibenci, tapi selalu terkenang. Yang angkuh sekaligus rapuh. Yang menjanjikan harapan selagi menyajikan kekecewaan. Yang menyemai mimpi untuk dibunuhnya sendiri. Yang teramaikan oleh orang-orang kesepian, riuh ditenggelamkan kesunyian, terasing dalam bising.

Si Pengarang seperti coba mengungkap berbagai kegelisahan yang nampaknya sangat personal baginya. Namun, apakah kegelisahan-kegelisahan itu memang hanya merupakan kegelisahan baginya sendiri saja, ataukah sesungguhnya cukup relatable buat kebanyakan orang—terutama kalangan usia menjelang dewasa yang juga menggeluti Jakarta? Saya kira yang belakangan itu sangat dimungkinkan. Maka buku ini mungkin cukup layak dibaca.

Puisi-puisi dalam buku ini seperti menghadirkan tantangan bagi pembaca untuk menggali celah-celah kepekaan empatis dalam dirinya, melalui perjumpaan dengan bentuk-bentuk penghayatan realitas yang vulgar, dingin, muram, dan sedikit kasar.


April, 2022