Pages - Menu

Jalan Busur [1.]

terjemahan dari The Way Of The Bow oleh Paulo Coelho.
~

1.

‘Tetsuya.’

Si Bocah menatap orang asing itu dengan heran.

‘Tiada seorang pun di kota ini yang pernah melihat Tetsuya memegang busur,’ ia menjawab. ‘Semua orang di sini mengenalnya sebagai tukang kayu.’

‘Mungkin ia sudah menyerah, mungkin ia telah kehilangan semangat, itu tidak penting bagiku,’ kata orang asing itu. ‘Namun, jika benar demikian, bahwa ia telah meninggalkan seni keahliannya itu, maka itu berarti ia tidak lagi pantas disebut-sebut sebagai pemanah terbaik di seluruh negeri. Karena itulah selama ini aku berkelana mencarinya, untuk menantangnya dan mengakhiri reputasi yang tak pantas lagi diembannya itu.’

Bocah itu berpikir bahwa tiada gunanya ia terus berbicara untuk meyakinkan orang asing itu; lebih baik membawanya langsung ke tempat si tukang kayu agar ia dapat menyaksikan sendiri bahwa ia telah salah.

Tetsuya berada di bengkel kerja di belakang rumahnya. Ia menoleh untuk melihat siapa yang datang, dan senyumnya tiba-tiba membeku ketika pandangannya jatuh pada tas panjang yang dibawa oleh orang asing itu.

‘Tepat seperti yang engkau pikirkan,’ kata pendatang baru itu. ‘Aku datang ke sini bukan untuk mempermalukan atau mengolok-olok lelaki yang telah menjadi legenda. Aku cuma ingin membuktikan bahwa, setelah bertahun-tahun berlatih, aku telah mencapai kesempurnaan,’

Tetsuya berusaha tidak peduli dan bersikap seolah-olah hendak melanjutkan pekerjaannya.

‘Seorang yang menjadi panutan tidak bisa menghilang begitu saja sebagaimana yang telah engkau lakukan,’ orang asing itu melanjutkan. ‘Aku telah mengikuti ajaranmu, aku menghormati jalan busur, dan kurasa kau harus bersedia menyaksikan tembakanku. Jika kau bersedia melakukannya, aku akan pergi dan takkan pernah memberi tahu siapapun perihal keberadaan master terhebat di antara yang terhebat.’

Orang asing itu menarik keluar dari tas panjangnya, sebuah busur panjang dari bambu yang dipoles, dengan pegangan berada sedikit ke bawah di bagian tengahnya. Ia membungkuk pada Tetsuya, lalu beranjak ke kebun di halaman dan membungkuk lagi ke arah tertentu. Ia kemudian menarik keluar sebilah anak panah dengan bulu elang pada ekornya, berdiri dengan kaki terpijak kokoh di atas tanah, dan dengan satu tangan mengangkat busur ke depan wajahnya, sementara dengan tangan yang lain ia memasang anak panah itu pada talinya.

Bocah laki-laki itu manyaksikan dengan perasaan kagum bercampur takjub. Tetsuya sekarang berhenti bekerja dan mengamati orang asing itu dengan sebersit rasa penasaran.

Dengan anak panah yang terpasang ke tali, orang asing itu mengangkat busurnya sedemikian rupa sehingga sejajar dengan bagian tengah dadanya. Ia mengangkatnya melewati tinggi kepala dan, seiring dengan gerakannya merendahkan busur itu kembali, mulai menarik talinya ke belakang.

Ketika anak panah itu berada sejajar dengan matanya, tali busur pun telah ditarik sepenuhnya. Untuk sesaat, momen itu seolah akan berlangsung selama-lamanya, si pemanah dan busurnya diam tak bergerak. Anak laki-laki itu memandang ke arah yang ditunjuk oleh anak panah, namun tidak mampu melihat apa-apa di sana.

Tiba-tiba, tangan itu melepaskan tali busur yang dipegangnya, lalu ditarik ke belakang, sedangkan busur itu kemudian menampilkan suatu gerakan yang mantap dan anak panah pun tiba-tiba menghilang hanya untuk terlihat kembali di kejauhan sana.

‘Pergi dan pungutlah anak panah itu,’ kata Tetsuya.

Bocah laki-laki itu pun pergi dan kembali membawa anak panah itu: sebuah ceri telah dibelahnya, tergeletak di tanah empat puluh meter dari tempat mereka berada.

Tetsuya membungkuk pada pemanah itu, kemudian pergi ke suatu sudut di bengkel kerjanya dan mengambil sesuatu yang nampak seperti sebilah kayu melengkung yang terbungkus dalam gulungan lembaran kulit. Ia membuka gulungan itu secara perlahan-lahan dan kemudian terlihatlah sebuah busur mirip dengan yang dipunyai oleh orang asing itu, kecuali bahwa busur Tetsuya itu sepertinya telah lebih banyak digunakan.

‘Aku tak memiliki anak panah, jadi aku harus menggunkan salah satu anak panah milikmu. Akan kulakukan permintaanmu, namun engkau harus memegang janji yang telah kau ucapkan, bahwa engkau tak akan pernah memberitahu siapapun di mana keberadaanku. Jika seseorang bertanya tentang aku, katakanlah bahwa engkau telah mencariku ke seluruh penjuru bumi dan menemukan bahwa aku telah mati karena gigitan ular berbisa.’

Orang asing itu mengangguk dan memberikan salah satu anak panah miliknya.

Dengan salah satu ujung batang busur bambu itu ditolakkan ke dinding kemudian ditekan kuat ke bawah, Tetsuya memasang tali ke busurnya. Lalu, tanpa berkata-kata, ia berjalan menuju pegunungan.

Orang asing dan anak laki-laki itu mengikutinya. Mereka berjalan selama satu jam, sampai menemukan lembah dalam di antara dua jurang cadas yang di dasarnya mengalir sungai deras, yang hanya dapat diseberangi melalui sebuah jembatan tali usang yang sudah hampir putus.

Dengan penuh ketenangan, Tetsuya berjalan hingga ke tengah-tengah jembatan, yang kemudian mulai terayun ke kanan dan ke kiri seolah-olah akan putus. Ia membungkuk ke arah sesuatu yang berada di seberang jurang, memasang anak panah ke busurnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang asing itu, mengangkatnya ke atas hingga sejajar dengan dada, kemudian menembak.

Bocah laki-laki dan orang asing itu melihat bahwa, dua puluh meter di sana, anak panah itu telah tertancap pada sebuah peach.

‘Engkau mengenai sebuah ceri, aku mengenai sebuah peach,’ kata Tetsuya sembari berjalan kembali dari tengah jembatan ke tepian yang aman. ‘Ceri itu lebih kecil. Engkau menembak sasaranmu dari jarak empat puluh meter, aku menembak dari setengah jarak itu. Engkau pun semestinya mampu melakukan seperti apa yang baru saja kulakukan. Berdiri di sana, di tengah jembatan, dan lakukanlah seperti yang baru saja kulakukan.’

Orang asing itu, dengan penuh ketakutan, berjalan ke tengah jembatan usang itu. Ia membeku menyaksikan betapa dalam jurang di bawah kakinya. Dilakukannya ritual gestur yang sama dan menembak ke arah pohon peach, namun anak panahnya meleset.

Ketika ia telah kembali ke tepi jurang, wajahnya pucat pasi.

‘Engkau memiliki keahlian, kualitas dan postur,’ kata Tetsuya. ‘Engkau memiliki teknik yang bagus dan engkau pun telah menguasai busurmu, namun engkau belum mampu menguasai pikiranmu sendiri. Engkau tahu bagaimana menembak ketika keadaan mendukung, tetapi bila engkau berada dalam situasi berbahaya, kau tak mampu mengenai sasaranmu. Seorang pemanah tidak selalu bisa menentukan medan pertempuran, jadi mulailah kembali latihanmu dan bersiaplah untuk situasi-situasi yang tidak menguntungkan. Teruslah di jalan busur, sebab itu adalah perjalanan sepanjang hidup, namun ingatlah bahwa tembakan yang baik dan akurat sangat berbeda dengan tembakan yang dilakukan dengan jiwa yang damai.’

Orang asing itu membungkuk dalam, memasukkan kembali busur dan anak panahnya ke dalam tas panjang yang dibawanya di pundak, lalu pergi.

Di perjalanan pulang, si bocah laki-laki merasa amat senang karena kemenangan.

‘Engkau telah memperlihatkan padanya, Tetsuya! Engkau benar-benar adalah yang terbaik!’

‘Kita tidak sepantasnya menilai orang tanpa terlebih dahulu belajar mendengarkan dan menghormati mereka. Orang asing itu adalah orang baik; ia tidak mempermalukanku atau berusaha membuktikan bahwa ia lebih baik daripada aku, walaupun ia mungkin terlihat seperti itu. Ia hanya ingin menunjukkan kemampuannya agar memperoleh pengakuan, meskipun ia terlihat seperti menantangku. Lagipula, menemui ujian tak terduga adalah bagian dari jalan busur, dan itulah yang telah orang asing itu izinkan aku melakukannya hari ini.’

‘Ia bilang bahwa engkau adalah pemanah terbaik, dan aku bahkan tak tahu bahwa engkau adalah seoarng ahli memanah. Mengapa engkau bekerja sebagai tukang kayu?”

‘Sebab jalan busur berlaku untuk semua hal, dan impianku adalah bekerja dengan kayu. Lagipula, pemanah yang mengikuti jalan itu tidak memerlukan busur atau anak panah atau sasaran tembak.’

‘Tiada hal menarik yang pernah terjadi di desa ini, dan tiba-tiba saja di hadapanku berada seorang master dari suatu seni yang tiada seorangpun lagi yang peduli,’ kata anak itu dengan mata berbinar-binar. ‘Apakah jalan busur itu? Maukah engkau mengajarkannya kepadaku?’

‘Mengajarkannya tidaklah sulit. Aku bisa melakukannya tak sampai sejam, sementara kita berjalan pulang ke desa. Hal sulitnya adalah memeraktikkannya setiap hari, sampai engkau mencapai presisi yang diperlukan.’

Mata bocah laki-laki itu terlihat memohon kepadanya untuk berkata iya. Tetsuya berjalan dalam diam selama hampir lima belas menit dan ketika kemudian ia berbicara, suaranya terdengar lebih muda.

‘Hari ini aku sedang ringan hati. Demi menghormati laki-laki yang, bertahun-tahun lalu, menyelamatkan hidupku, akan kuajarkan padamu aturan-aturan yang diperlukan, namun tidak lebih dari itu. Bila kau memahami apa yang kusampaikan, kau boleh menggunakannya sesukamu. Sekarang, beberapa menit yang lalu, kau menyebutku seorang master. Apakah master itu? Kukatakan bahwa ia bukanlah seseorang yang mengajarkan sesuatu, melainkan seseorang yang menginspirasi muridnya untuk melakukan yang terbaik yang mampu dilakukannya untuk menemukan pengetahuan yang sesungguhnya telah berada di dalam jiwanya sendiri.’

Dan sembari mereka berjalan turun dari pegunungan, Tetsuya menjelaskan jalan busur.