Sungai Sekitar Gunung Lompobattang, Sulawesi Selatan #2 - Sungai Kelara (Segmen Sungai Palumdingan/Palumpiang & Balang Lompo)

Sungai Kelara ini kelihatannya adalah sungai paling besar yang mengalir di sisi selatan pegunungan Lompobattang. Hulu anak-anak sungainya mengumpulkan air dari lereng-lereng sebelah barat dan barat daya Gunung Lompobattang, mengalirkannya melewati lembah-lembah dalam di antara dataran-dataran tinggi landai di wilayah Kecamatan Tompobulu dan Bontolempangan, Kabupaten Gowa, lalu bergabung jadi satu di perbatasan Kabupaten Jeneponto, tepatnya di Kecamatan Kelara, kemudian terus mengalir ke selatan melewati kota Jeneponto dan bermuara di Laut Flores.

Tepat di perbatasan antara Kabupaten Gowa dan Jeneponto, di titik di mana banyak anak sungai bertemu, terdapat Waduk Karalloe(1) yang baru saja diresmikan pada 2021. Dari titik tersebut ke arah hilir terdapat cukup banyak jeram kelas 2 hingga 3. Seksi ini sepertinya sudah cukup sering diarungi (pada Januari 2025 pernah dilakukan pengarungan dalam rangka Jambore Nasional Arus Deras di sini), meskipun saya tidak tahu apakah terdapat operator yang menjalankan trip arung jeram rutin.

Bagian yang menurut saya layak jadi perhatian adalah segmen di atas waduk tersebut, yakni utamanya sepanjang sekitar 6 km mulai dari pertemuan antara Sungai Karalloe dan Sungai Balang Lompo(2) tepat di bawah Air Terjun Bantimurung Katimbang, sampai ke Waduk Karalloe. Saya pernah mengunjungi beberapa titik di sepanjang segmen ini pada 23 Januari dan 13 Februari 2022, dan berdasarkan pengamatan ketika itu, debit air sungai ini terlihat cukup untuk dapat diarungi dengan kayak.

Debit air Sungai Palumdingan ketika saya berkunjung pada Januari 2022
Debit air pada 23 Januari 2022. Foto diambil dari Jembatan Esere'


Jeram-jeram di Sungai Palumdingan, anak Sungai Kelara
Jeram-jeram di Sungai Palumdingan, anak Sungai Kelara


Waktu menemani geng SEND pada Februari 2020, Dane sempat menyampaikan usul untuk mencoba menjelajahi Sulawesi Selatan, namun keterangan yang kemudian saya berikan padanya mementahkan usul tersebut. Pada waktu itu, saya tidak mengira bahwa di sekitar Pegunungan Lompobattang terdapat sungai atau air terjun yang memungkinkan dan layak untuk diarungi oleh kayaker sekelas mereka, sehingga keterangan yang saya berikan hanyalah tentang medan pegunungan di bagian utara Sulawesi Selatan serta buruknya akses jalan untuk menjelajahi wilayah tersebut. Hal itu kemudian baru saya sesali ketika saya menyaksikan sungai ini, dan beberapa sungai dan air terjun lainnya di seputaran Gunung Lompobattang. Andai mereka waktu itu menjelajahi daerah ini, buka tidak mungkin mereka bisa mengarungi 2 - 3 sungai serta 2 - 3 air terjun.

Kebanyakan sungai-sungai yang sempat saya datangi di wilayah seputaran Lompobattang terlihat sangat bergantung pada curah hujan untuk membuat debit airnya cukup untuk diarungi, termasuk segmen Sungai Palumdingan/ Palumpiang (toponim yang saya ambil dari peta Rupa Bumi Indonesia/ RBI terbitan Bakosurtanal) ini. Musim hujan di wilayah Sulawesi Selatan bagian selatan biasanya berlangsung dari Desember hingga Maret. Pada rentang waktu itulah, saya kira, sungai ini paling memungkinkan untuk diarungi.

Potongan peta RBI 1:50000 lembar 2010-62 edisi 1991 memperlihatkan toponim Sungai Balang Lompo, Balang Karangloe, Palumdingan
Potongan peta RBI 1:50000 lembar 2010-62 edisi 1991 memperlihatkan toponim Balang Lompo, Balang Karangloe, Salo Palumdingan


Potongan peta RBI 1:50000 lembar 2010-34 memperlihatkan toponim sungai Kelara dan Palumdingan
Potongan peta RBI lembar 2010-34 edisi 1991, memperlihatkan toponim Balang Palumpiang dan Binanga Kelara

Yang mungkin bakal cukup merepotkan adalah manajemen shuttle (ulang-alik antar-jemput) serta akses menuju sungai. Kebanyakan sungai-sungai yang mengaliri wilayah ini berada di lembahan dalam dengan lereng yang curam. Oleh karena itu, jaringan jalan penghubung antar desa dan kecamatan pada umumnya berkelok-kelok dan sering kali memutar cukup jauh untuk menyeberangi sungai dan lembah-lembah dalam. Tak jarang pula terdapat tanjakan yang curam, dan pada musim hujan sering pula terdapat jalanan yang kondisinya jelek karena rusak, meskipun sebagian besar jalanan sudah dikeraskan dengan aspal maupun beton. Oleh sebab itu, dibutuhkan kendaraan yang cukup bertenaga, dan supir khusus yang bertugas mengantar-jemput, yang cakap membaca peta atau yang mengetahui rute-rute akses jalan yang ada.

Dalam hal akses menuju sungai, untuk mencapai titik awal, yakni pertemuan Sungai Karalloe dan Balang Lompo, agaknya tidak terdapat akses langsung yang mudah. Namun ada beberapa pilihan titik akses. Yang pertama, yang menurut saya paling bagus, adalah dari sebuah jembatan yang menyeberangi Sungai Karalloe, penghubung Desa Datara dengan Desa Bontolempangan, di titik koordinat -5.447098475372185, 119.80333364152473. Dari sini kita perlu mengarungi sekitar 800 m anak sungai ini hingga memasuki sungai utama, tentu saja dengan catatan bahwa debit airnya tidak terlalu kecil.

Jembatan Sungai Karalloe antara Desa Datara dan Desa Bontolempangan, sisi hulu, diambil pada 23 Februari 2022

Jembatan Sungai Karalloe antara Desa Datara dan Desa Bontolempangan, sisi hilir, diambil pada 23 Februari 2022

Bila itu dinilai tidak memungkinkan, pilihan kedua adalah mencari titik di mana ruas jalan berada cukup dekat dengan sungai, dengan lereng yang tidak terlalu terjal, lalu mencari atau membuka jalan setapak untuk mengakses sungai. Hal ini kelihatannya lebih memungkinkan dilakukan dari sisi kiri sungai, di sepanjang ruas jalan yang menghubungkan Desa Datara dengan Dusun Batuborong, Desa Tonrorita. Pada citra satelit yang ditampilkan Apple Maps, terlihat ada jembatan besar di titik -5.451569837583949, 119.7943130532011, tepat sebelum pertemuan dengan sebuah sungai kecil dari sisi kanan sungai utama. Namun, di citra satelit peta yang lain (Google Maps, Bing Maps, Mapbox), jembatan tersebut terlihat seperti jembatan gantung kecil saja, yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Sayangnya, ketika saya mencoba menemukan jembatan tersebut pada waktu berkunjung ke sungai ini pada 2022, saya tidak menemukan jalan menuju ke sana. Entah apakah jembatan tersebut memang benar-benar ada, atau tidak. Kalau ada, tentu bisa jadi alternatif titik mula pengarungan. [Google Street View Februari 2025 di titik ini memperlihatkan sebuah jalan yang bisa jadi menuju ke jembatan itu, atau tembus ke pinggir sungai]

Jika pilihan kedua tersebut juga ternyata tidak memungkinkan, maka pilihan yang tersisa, dan paling pasti, adalah dari Jembatan Esere'. Sayangnya, kalau memulai pengarungan dari titik ini, kita akan kehilangan 1,6 km seksi sungai yang jeram-jeramnya kelihatan cukup bagus untuk pemanasan.

Dari Jembatan Esere' ke arah hilir sepanjang sekitar 700 m adalah segmen yang kelihatan paling menantang. 'Crème de la crème', kalau kata orang Perancis. Sungai menyempit diapit tebing di kanan-kiri, arus air jadi penuh turbulensi, dan gradiennya sangat curam. Setidaknya terdapat dua drop/ air terjun yang garis horisonnya dapat terlihat dari jembatan (lihat Google Street View Februari 2025 ini), dan sangat besar kemungkinan di bawahnya masih ada drop lagi, mengingat sepanjang 700 m itu elevasi yang hilang sekitar 40 m, menurut amatan garis kontur di Google Maps.

Berikut adalah rekaman vidio yang diambil pada 23 Januari 2022, memperlihatkan segmen penyempitan dan dua drop di bawah Jembatan Esere' tersebut:




Pe-er paling penting dan sulit adalah soal bagaimana melakukan scouting terhadap segmen ini secara detil dan teliti, sebelum memutuskan dan berkomitmen untuk mengarunginya. Sepertinya dibutuhkan sebuah misi khusus tersendiri untuk itu. Kalau ada drone, mungkin bisa sangat membantu. Kalau tidak, maka harus berkutat dengan tebing di kanan-kiri sungai, mungkin pula dengan mengandalkan kreativitas dan keahlian tali-temali untuk menunjang keselamatan. Pe-er penting lainnya adalah soal bagaimana mengatur dan menerapkan sistem safety (keselamatan) ketika melakukan pengarungan. Hal ini sepertinya baru bisa dijawab setelah melakukan scouting terhadap keseluruhan seksi penyempitan sepanjang 700 m tersebut.

Adapun titik akhir pengarungan yang kelihatannya paling enak, meskipun harus mendayung sejauh 1 km sampai 2 km di flat, adalah di sekitar Dusun Bangkeng Tabbing, Desa Garing, di tepi Waduk Karalloe, di mana terdapat akses jalan yang dapat dilalui mobil. Dusun ini berada di sisi kiri aliran sungai, sisi yang sama dengan Desa Datara, di mana titik mula pengarungan berada. Meski demikian, jalan yang menghubungkannya berputar cukup jauh sehingga meski jaraknya dekat, waktu tempuh perjalanan daratnya bisa cukup memakan waktu.

***

Bila kondisi debit air cukup besar (yang mungkin dapat terjadi setelah hujan semalaman di hulu), kedua anak sungai, yakni Balang Lompo dan Sungai Karalloe, sebenarnya terlihat cukup menarik juga untuk diarungi. Saya belum sempat meninjau bagian hulu Sungai Karalloe, sebab kelihatannya cukup sulit diakses, tetapi untuk Sungai Balang Lompo terdapat beberapa titik yang pernah saya kunjungi karena akses jalannya lebih mudah.

Titik permulaan yang ideal untuk segmen ini adalah di Jembatan Likunoang (atau Likunuang?) dan, untuk segmen penuh sepanjang 11,5 km dengan total penurunan elevasi sekitar 300 m, titik akhir kemungkinan bisa di dekat kampung Parang Pesu, Desa Bontolempangan, tepat sebelum Air Terjun Bantimurung Katimbang, di mana pada citra satelit terlihat ada jalan setapak dari tepi kiri sungai menuju kampung Parang Pesu. Atau, apabila menginginkan akses yang lebih mudah dan cepat, panjang segmen bisa dipotong menjadi 7,3 km saja (dengan total penurunan elevasi sekitar 220 m) dengan titik akhir di sebuah jembatan dekat Dusun Lemoa, Desa Bontolempangan, yang bisa langsung diakses dengan mobil.

_______________

Catatan:

(1) 'Karalloe' atau 'Karangloe' saya kira adalah semacam penyebutan berbeda yang mengacu pada hal yang sama yaitu nama sebuah sungai, dan kemudian juga jadi nama bendungan atau waduk di hilir sungai itu. Yang pertama sepertinya lebih jamak digunakan, sedangkan yang kedua saya temukan sebagai toponim di  peta RBI Bakosurtanal.

(2) 'Balang', 'Salo', 'Binanga' sebenarnya memiliki kesamaan arti yakni 'Sungai' dalam Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, saya memutuskan untuk tetap menggunakan 'Sungai Balang Lompo' alih-alih 'Sungai Lompo', meski sebenarnya mengandung pengulangan kata bermakna sama, semata-mata karena terasa lebih pas di benak saya saja.