Pages - Menu

Semasa - Cerita Yang Datar Tapi Tak Hambar

Belum lama ini saya melihat sebuah cuitan melintas di linimasa Twitter (sekarang X), meminta saran buku bacaan fiksi yang bagus. Di kolom komentarnya, ada yang menyarankan 'Semasa'. Saya jadi teringat bahwa beberapa tahun yang lalu, seorang teman pernah juga menyarankan buku tersebut pada saya. Tak lama kemudian saya pun membelinya, lalu, tentu saja, membacanya.

Saya menyukai sampulnya yang sederhana. Boleh dikata minimalis. Di depan, siluet tiga utas kabel listrik melintang dengan dua ekor burung bertengger masing-masing pada kabel yang berbeda, terpisahkan oleh jarak dan seutas kabel di antaranya, dengan latar belakang warna oranye sebagai warna dominan sampul buku ini. Berkesan hangat, namun sekaligus menyiratkan kesunyian, dua hal yang secara garis besar memang sarat saya rasakan sepanjang pembacaan buku ini.


'Blurb' [saya baru tahu istilah ini] di sampul belakang memperingatkan bahwa cerita di dalam buku ini adalah tentang "melepaskan". 'Move on', dalam istilah serapan populernya. Terasa klise, memang, tetapi saya kira begitulah adanya kehidupan. Untuk melangkah ke depan, kita mesti rela mengangkat kaki dari pijakan di belakang. 

Saya juga mendapatkan selembar kartu, kira-kira seukuran kartu pada umumnya, bersamaan dengan buku ini. Sepintas seperti selembar kartu nama belaka, bertuliskan nama, kontak, dan alamat toko buku dari mana saya memesan buku ini, yang ketika saya balik, ternyata sekaligus juga merupakan "sertifikat adopsi" yang menyatakan bahwa buku ini sekarang adalah punya saya (ada nama saya tertulis-tangan di situ). 

Hal ini cukup menggelitik saya. Di satu sisi, saya pikir itu mungkin tak lebih dari sekadar akal-akalan si penjual buku untuk membuat pembeli merasa tersentuh secara personal sehingga hubungan penjual-pembeli yang biasanya memang cuma transaksional saja dapat sedikit-banyak bergeser ke arah (seolah-olah) interpersonal dengan sepercik nuansa emosional. 

Meski demikian, di sisi lain, tak dapat saya sangkal bahwa kartu sederhana yang boleh difungsikan sebagai penanda halaman itu telah berhasil membuat saya cukup tersentuh. Buku ini jadi terasa agak istimewa. Terlebih ketika saya kemudian mulai membuka halaman-halamannya satu demi satu, membaca pesan penerbit di sisi dalam sampul belakang, dan merasakan sendiri betapa kertas buku ini memang lebih tebal dari kertas buku-buku pada umumnya. Terasalah bahwa buku ini seperti diterbitkan tidak secara sembarangan melainkan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan.

Adapun cerita di dalamnya sebenarnya, bagi saya, biasa-biasa saja. Tidak terlalu istimewa. Tak ada hal khusus yang membuat saya kagum. Intinya, ya, sebagaimana terangkum pada uraian singkat di sampul belakang buku. Mau tidak mau, suka tidak suka, kehidupan akan menuntut kita untuk melepaskan. Dan yang dilepaskan itu tidak jarang adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kita. Persoalannya tinggal bagaimana proses melepaskan semua itu. Kurang lebih demikianlah benang merah yang saya tangkap dalam alur cerita buku ini. 

Meski begitu, ada hal-hal yang saya sukai, yang membuat saya lumayan betah membaca buku ini. Walau inti ceritanya, buat saya, tidak terlalu menarik, cara penceritaannya ternyata mampu membuat saya rela menyisihkan waktu untuk membaca. Ini menyadarkan saya pada kenyataan bahwa isi cerita adalah satu hal yang bisa jadi memang penting, namun bagaimana cerita itu dibawakan adalah hal lain yang tak kalah penting. 

Entah apa istilah tepatnya, tapi kiranya bolehlah saya sebut itu sebagai 'teknik bercerita'. Ini meliputi: bagaimana kalimat-kalimat dirangkai, diksi atau pilihan kata yang dipakai dalam membangun deskripsi, selipan-selipan metafora dan pemaknaan terhadap peristiwa dari sudut pandang tokoh utama, serta manuver-manuver kilas-balik ('flash-back') yang disisipkan secara halus di banyak momen untuk memperkenalkan para tokoh serta menyibak latar persoalan yang mereka hadapi secara perlahan-lahan, tanpa harus membuat pembaca tersasar dalam kebingungan anakronis terhadap alur cerita. 

Tak terlalu banyak pengarang, saya kira, yang mampu menyajikan cerita dengan cara yang baik sedemikian rupa sehingga sebuah cerita yang tak terlalu menarik dapat terasa cukup menarik dibaca. Ada sensasi empuk dalam kalimat-kalimatnya yang serasa pas di benak. Tidak melelahkan ketika dibaca, terasa mengalir, tidak memburu-buru namun tidak juga berleret-leret, dan mampu menggoda saya untuk terus membaca tanpa harus menanamkan rasa penasaran ataupun kejutan-kejutan mendebarkan pemicu adrenalin. Cukup menakjubkan mendapati diri saya membaca sebuah cerita yang cenderung datar tapi ternyata tak terasa hambar. 

Ada kehangatan yang samar terasa di dalam cerita yang tergulirkan lewat serangkaian permenungan dari sudut pandang orang pertama dalam benak tokoh utama yang berperan sebagai narator. (Maklum, ini adalah sepotong kisah dalam bingkai sebuah keluarga). Di lain pihak, ada hawa kesunyian yang mengambang di antara ruang bagi kesepian dan ruang bagi pemaknaan, baik dalam kenangan-kenangan yang dibayangkan maupun harapan-harapan yang didambakan oleh narator dan para tokoh. Antara kedekatan batin yang terjalin dan keterpisahan jarak yang nyata. Antara masa muda bertabur kemungkinan dan masa tua yang kian mengendap dan menetap. 

Begitulah. Kelak, saya mungkin akan membaca ulang buku ini, entah kapan, suatu saat nanti. Bukan untuk melihat kembali apa yang diceritakan, melainkan untuk menikmati bagaimana sebuah kisah diceritakan. 


____________

Catatan lain: 

Selagi menulis ini, tiba-tiba saya merasa familiar dengan ilustrasi di sampul depan. Seperti pernah menjumpainya entah di mana. 

Menggali ingatan, saya pun teringat sepotong sajak berjudul 'Lanskap' oleh Sapardi Djoko Damono: 

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua

waktu hari hampir lengkap, menunggu senja

putih, kita pun putih memandangnya setia

sampai habis semua senja 


—29 Februari 2024