Sungai Poso - Sepotong Surga 'Big Water' (Mungkinkah?)

Salah satu insight yang saya peroleh setelah merasakan mengarungi jeram-jeram Sungai Asahan di Sumatera Utara adalah bahwa sungai-sungai yang berhulu di danau, terutama bila danaunya cukup besar dan airnya tidak pernah kering, akan memiliki debit air yang cenderung stabil dan jernih. Tinggal mencari danau yang cukup besar dan berada di ketinggian, lalu memeriksa apakah sungai buangan airnya memiliki segmen berjeram.

Ada beberapa danau yang kemudian saya periksa dan ternyata memang sungai buangannya memiliki segmen berjeram. Danau Ranau di Sumatera Selatan, Danau Habema di Papua Pegunungan (baca cerita first descent-nya di sini), Danau Tage di Papua Tengah, Danau Lindu dan Danau Poso di Sulawesi Tengah, serta Danau Towuti di Sulawesi Selatan. Mungkin saja masih ada danau-danau lain yang belum sempat saya temukan.

Tetapi kali ini saya ingin membahas tentang sungai yang mengalir dari Danau Poso. Ini danau pertama yang saya periksa dan temukan memiliki sungai buangan (outlet river) yang memiliki jeram-jeram besar, setidaknya sebagaimana yang terlihat di peta citra satelit. Waktu pertama kali melihat buih-buih putih pada citra satelit itu, saya langsung membayangkan Aratiatia, Nevis Bluff, dan Huka Falls, jeram-jeram terkenal di Selandia Baru itu. Kebetulan waktu itu masih dalam pengaruh sisa-sisa hype ekspedisi Palapsi ke Selandia Baru. Faktanya, sampai sekarang pun saya belum pernah melihat secara langsung jeram-jeram tersebut (kecuali dari film-film atau vidio di internet), maupun jeram-jeram di Sungai Poso, sungai yang mengalir dari Danau Poso itu.

Penampakan citra satelit salah satu bagian berjeram di Sungai Poso
Penampakan citra satelit salah satu bagian berjeram di Sungai Poso, diambil dari satellites.pro

Saya pernah kebetulan melewatinya ketika dalam perjalanan dari Palu menuju Sulawesi Selatan via Kota Poso, sempat mencoba mencari akses jalan yang cukup mudah untuk melihat sungai itu, namun tidak berhasil. Meskipun Sungai Poso mengalir paralel dengan Jalan Trans Sulawesi dari Kota Poso menuju Sulawesi Selatan, akses jalan paling baik menuju sungai berada dalam kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso I dan II, dan jalan itu dijaga satpam. Saya meminta izin untuk lewat dan melihat-lihat sungai, tapi tidak diperbolehkan. Sebenarnya ada beberapa jalan lain menuju sungai yang terlihat di peta, namun karena sepertinya kondisinya tidak terlalu bagus, saya pikir akan menyita waktu terlalu banyak dari alokasi waktu perjalanan saya yang masih amat jauh ketika itu.

Sekali lagi ini mengingatkan saya pada Aratiatia, mengingat jeram tersebut berada tepat di mulut saluran pembuangan air sebuah pembangkit listrik dan para kayaker yang ingin mengarunginya biasanya harus main kucing-kucingan dengan polisi. Tapi itu di negara lain. Kalau di sini, mungkin sebaiknya mencari cara yang lebih sopan saja. Entah bagaimana.

Tetapi sepertinya masih memungkinkan untuk tidak mengusik pihak PLTA jika menempuh jalan akses lain menuju sungai. Memang ada kabar bahwa PLTA Poso III akan dibangun, atau bahkan sedang dalam proses dibangun (?), dan letaknya kemungkinan besar akan mengambil setidaknya separuh dari segmen sungai yang berjeram. Namun sampai saat ini belum terlihat ada bangunan baru di lokasi yang tertandai sebagai lokasi PLTA Poso III dari pantauan citra satelit. Bila demikian, maka mungkin sungai masih bisa diakses tanpa harus mengusik kawasan operasi PLTA Poso I dan II.

Terdapat penampakan jembatan gantung di titik ini yang mungkin adalah jembatan untuk warga sekitar mengakses kebunnya di seberang sungai, dan terlihat ada jalan (entah setapak atau lebar) dari jembatan itu menuju perkampungan yang dilewati Jalan Trans Sulawesi. Kebetulan jembatan tersebut berada tepat sebelum jeram pertama sehingga sangat pas untuk dijadikan titik awal pengarungan.

Ada pula jalan lebar paralel dengan aliran sungai (saya duga ini adalah jalan yang dibangun oleh pihak PLTA, mungkin untuk akses pembangunan PLTA Poso III) yang lewat cukup dekat dengan jeram pertama yang terlihat cukup besar dan curam. Ini mungkin bisa dimanfaatkan untuk melakukan scouting.

Terdapat satu lagi penampakan jembatan gantung di titik ini, dan ada jalan dari jembatan itu menuju jalan utama, kemungkinan juga untuk akses warga menuju kebun. Jalan akses ini mungkin berguna untuk melakukan scouting, atau untuk keadaan darurat. Selain kedua jembatan gantung yang sudah disebutkan, tidak terlihat ada jalan akses lain menuju sungai kecuali setelah melewati titik akhir segmen berjeram (di sini).

Sebenarnya ini keadaan cukup "ideal". Adanya jalan akses menuju titik awal dan akhir segmen berjeram tentu mengeliminasi tingkat kerepotan kita membuka jalur sendiri. Sisanya tinggal soal bagaimana melakukan scouting secara lebih detil dan saksama. Mengandalkan gambaran citra satelit tentu tidak cukup, sebab kita tidak tahu kapan gambar itu diambil sehingga tidak ada jaminan bahwa jeram-jeram yang terlihat akan sesuai dengan bentuk nyatanya. Belum lagi bila mempertimbangkan kondisi debit air. Bagaimanapun, sungai dan jeram selalu berubah dari waktu ke waktu, dan mendapatkan gambaran kondisi aktual adalah prasyarat bagi sebuah pengarungan (apalagi pengarungan pertama kali[?]) yang sukses. Ditambah lagi bila mempertimbangkan fakta bahwa mayoritas jeram yang ada terlihat berkelanjutan (continuous) dan hanya sedikit bagian flat (tidak berjeram).

Panjang total segmen ini adalah 10,5 km, dengan total penurunan ketinggian 260 meter. Maka rata-rata gradiennya adalah sekitar 24,7 m/km. Mungkin sepertinya tidak terlalu terjal, tetapi kalau mengingat bahwa gradien segmen Rabbit Hole di Asahan adalah sekitar 25 m/km, dan bahwa Sungai Poso ini juga merupakan sungai yang mengalir dari danau sebagaimana Sungai Asahan itu, maka dapat dibayangkan bahwa jeram-jeramnya mungkin tak jauh berbeda.

Topografi Rabbit Hole - Jembatan Parhitean di Sungai Asahan diambil dari Google Maps.
Perhatikan bahwa beda ketinggian antar garis kontur kecil adalah 20 m. Titik 0 km garis ukur berada di antara garis kontur ketinggian 280 dan 300, dan titik 3,2 km berada di antara ketinggian 200 dan 220. Jika diambil rata-ratanya, maka titik 0 berada kira-kira pada 290 mdpl dan titik 3,2 berada kira-kira pada 210 mdpl. Maka perhitungan gradien rata-ratanya adalah (290 - 210) / 3,2 = 80 / 3,2 = 25 m/km.

Saya pikir ini adalah sepotong sungai yang layak jadi alasan bagi kayaker-kayaker dalam negeri untuk terus berlatih meningkatkan kecakapan dan pengalaman mengarungi jeram-jeram besar.

__________
NB: Jeram/ penyempitan terakhir ini terlihat "mencurigakan". Dengan penampakan bagian downstream yang melebar berbentuk menyerupai kantong, saya pikir jeram ini wajib di-scouting untuk memastikan bahwa itu bukan air terjun.