Pages - Menu

Membaca "Pentas Kota Raya" - Sebuah Impresi Singkat


Membaca 'Pentas Kota Raya' spontan mengingatkan saya pada Ahmad Tohari di satu sisi, dan Seno Gumira Ajidarma di sisi yang lain.

Tulisan-tulisan Fuad Hassan yang pernah saya cicipi sejauh ini cenderung bernada serius dan bernuansa akademis. Biasanya, berupa esai yang dikembangkan dari makalah-makalah yang pernah disampaikannya dalam kuliah, seminar, atau ceramah di berbagai tempat.

Meski dalam esai-esai tersebut gaya penuturannya pun memang sudah cukup luwes dan mudah dikunyah, dalam 'Pentas Kota Raya', keluwesan dan kerenyahan tersebut kian terasa ringan dan gurih di lidah.

Bentuk tulisannya mungkin masih cocok disebut esai. Tetapi, bagi saya, terasa lebih seperti prosa naratif berbetuk cerita pendek--bahkan mini--yang, bagaikan sebuah sungai kecil tepi sawah sebuah desa di suatu lereng gunung yang landai, mengalir lancar melambungkan percik-percik peristiwa imajinatif dalam balutan suara ricik yang seketika dapat menghadirkan sensasi segar dalam kepala (meski boleh jadi terasa getir dalam dada).

Lancar, tetapi tanpa nuansa ketergesa-gesaan sama sekali. Seperti bagaimana Ahmad Tohari biasa menggelar latar tempat dan suasana sebelum menggulirkan peristiwa yang hendak diceritakannya. Padahal yang dibahas dalam buku ini justru sangat akrab dengan gejala ketergesa-gesaan, yakni Jakarta.

Hampir serupa dengan esai-esai Seno Gumira Ajidarma, misalnya 'Affair' atau 'Tiada Ojek di Paris', 'Pentas Kota Raya' bagaikan hendak memotret Jakarta dalam sketsa kontras. Namun, bukan dengan manuver lincah nan akrobatik memainkan pisau-pisau analisis semiotika Barthes dan hegemoni kultural Gramsci, 'Pentas Kota Raya' menangkap realitas Jakarta secara agak lain. Yakni dengan menempatkannya dalam bingkai kebersahajaan dan kepedulian yang justru kerap tersisihkan bahkan tergusur darinya, lantas menerawangnya di bawah sorot lampu fenomenologi / eksistensialisme bercorak Heideggerian yang cukup terang meski tak begitu benderang. 

Terbit pertama tahun 1995, berbagai kenyataan yang dipotret buku ini mungkin sebagian, atau bahkan kebanyakan, sudah tak lagi aktual dan "relatable" dengan keadaan sekarang. Namun, sebagai sebuah pintu masuk menembus tembok realitas, gejala permukaan boleh tak sama lagi, tetapi pokok-pokok esensial yang mendasarinya bukan berarti sudah lain sama sekali.

Yang lebih menarik, bagi saya, bukan lagi apa yang digambarkan, melainkan bagaimana proses penggambaran itu berlangsung. Terlebih, sebagai orang yang asing dengan Jakarta, saya memang cuma bisa membayangkan kota itu sebagai bagian dari kisah-kisah negeri dongeng saja. Mungkin karena itu pula saya jadi merasa bahwa buku ini seperti kumpulan cerita-cerita mini.

Entah bagaimana bila yang membaca adalah orang yang memang sehari-hari berkecimpung dalam, dan menjadi bagian dari, Pentas Kota Raya itu sendiri. Cukup geli membayangkannya.


4 April 2022