Pages - Menu

Sungai Sekitar Gunung Lompobattang, Sulawesi Selatan #1 (Salo Baklasak - Salo Minrasak)

Berhubung saya kini telah kembali bermukim di Sulawesi Selatan, setelah kira-kira dua belas tahun tinggal di Yogyakarta, maka saya pun coba mencari-cari sungai-sungai alternatif yang potensial untuk menjadi tempat melakukan kegiatan olah raga petualangan kegemaran saya, yakni bermain kayak arus deras.

Sulawesi Selatan tentu memiliki banyak sekali sungai. Namun, karena pelaku kegiatan arung jeram di sini masih sangat sedikit, saya pikir, tentunya cukup banyak sungai-sungai berarus deras yang belum terjamah, apalagi terpetakan sebagai sungai berarus deras yang layak diarungi.

Tidak seperti di Yogyakarta (bahkan Pulau Jawa pada umumnya) yang memiliki banyak sekali kelompok pegiat petualangan termasuk arung jeram, baik dari kalangan mahasiswa pencinta alam maupun operator tur wisata, di Sulawesi Selatan, hampir tak pernah saya temui adanya kelompok yang melakukan kegiatan tersebut, kecuali satu-dua operator tur wisata di daerah Tana Toraja.

Sejak pertengahan dekade 1970-an, ketika kegiatan arung jeram mulai dikenal di Indonesia, hingga sekarang, Sulawesi Selatan memang sudah lumayan sering menjadi tujuan kegiatan ekspedisi arung jeram oleh kelompok-kelompok petualang dari Jawa, bahkan dari mancanegara. Sebutlah Sungai Lariang atau Sungai Sa'dang yang sudah terkenal itu. Atau sungai-sungai lainnya yaitu Sungai Karama, Sungai Uro, Sungai Rongkong, Sungai Maiting, Sungai Malua, dan Sungai Mata Allo yang juga sudah tercatat pernah diarungi oleh kelompok pengarung jeram dari Pulau Jawa maupun mancanegara.

Sungai-sungai yang telah saya sebutkan itu pada umumnya adalah sungai berdebit air besar (big volume/ big water river) yang tidak terlalu bergantung pada musim hujan untuk mejadikannya layak diarungi. Bagi operator tur wisata maupun mereka yang datang dari jauh, hal tersebut tentu menjadi faktor penting untuk dipertimbangkan. Sungai-sungai--yang dalam istilah akademisnya--"prennial" (mengalir sepanjang tahun) seperti itu boleh dikata adalah sungai yang ideal untuk berarung jeram, karena tidak harus bergantung pada musim hujan untuk mengunjungi dan mengarunginya.

Hal lain yang saya rasa juga terkait, adalah karena ekspedisi-ekspedisi arung jeram yang sejauh ini dilakukan oleh para kelompok petualang dalam negeri memang masih lebih berfokus pada arung jeram dengan perahu karet (yang umum disebut rafting). Bagi perahu karet, sungai-sungai yang layak diarungi tentu saja adalah yang relatif lebar dan airnya cukup tebal. Adapun pegiat arung jeram dalam negeri ini memang masih didominasi oleh pedayung perahu karet (rafter). Sementara pedayung kayak (kayaker) masih sangat sedikit jumlahnya.

Sebagai seorang yang menyebut diri kayaker, tak jarang timbul dorongan tersendiri dari dalam diri saya untuk mencari sungai-sungai yang mampu memaksimalkan potensi khas perahu kayak, yang menjadikannya "lebih" dari sekadar arung jeram. Ibarat penunggang sepeda motor, kalau bisa lewat jalan alternatif, mengapa harus lewat jalan raya? Demikianlah, maka saya pun jadi "gatal" memperhatikan peta, mencari-cari calon sungai-sungai alternatif yang siapa tahu layak diarungi, menandainya, lantas mengunjunginya ketika ada kesempatan.

Selain di bagian "perut", tempat bertemunya keempat "tentakel" Pulau Sulawesi, daerah lain di Sulawesi Selatan yang memiliki kontur pegunungan adalah di sekitar Gunung Lompobattang, sebelah timur Kota Makassar, atau daerah di sekitar Gunung Bulusaraung.

Mencari sungai yang memiliki jeram tentu wajib mempertimbangkan kontur rupa bumi, di antaranya, beda ketinggian (gradien) bagian hulu dan hilir aliran sungai. Tanpa gradien, tidak ada jeram. Oleh karena itu, sungai berjeram hampir selalu hanya ditemukan di wilayah sekitar pegunungan.

Di antara kedua gunung tersebut, Lompobattang sepertinya memiliki potensi yang lebih baik dibanding Bulusaraung. Ini saya simpulkan setelah sempat melihat-lihat beberapa sungai di sekitar Bulusaraung yang debit airnya kurang memuaskan. Membaca beberapa literatur di internet, saya temukan bahwa sepertinya hal itu dipengaruhi oleh struktur geologis kawasan tersebut yang merupakan kawasan karst. Konon katanya, sungai-sungai di wilayah karst kebanyakan memang "cenderung" bersifat intermittent (ada airnya pada saat musim hujan saja) bahkan ephemeral (ada airnya sehabis hujan saja), disebabkan oleh daya serap batuan kapur dasar sungainya.

Memang, itu hanya satu dari sekian faktor saja. Bukan tidak mungkin ada sungai potensial juga di daerah karst. Namun, mempertimbangkan kemungkinan lebih baik di seputar Lompobattang, saya pun coba lebih fokus di wilayah tersebut.

*

Sungai pertama yang saya sambangi adalah bagian hulu Salo (Sungai) Maros, yakni Salo Baklasak dan Salo Minrasak.

Potongan peta RBI skala 1:50.000, lembar 2010-64 (MALINO) | (https://tanahair.indonesia.go.id)

Ini adalah satu aliran sungai yang merupakan anak sungai Salo Maros. Hulunya di pegunungan sebelah utara Malino, mengalir ke barat membelah Desa Bontosomba dan Desa Bontomanurung, Kecamatan Tompobulu, Kab. Maros, sebelum bergabung dengan anak sungai lainnya menjadi Salo Maros yang akan melewati Kota Maros kemudian berakhir di Selat Makassar.



Sebagaimana yang tertera pada peta Google Maps di atas, beberapa titik yang sempat saya kunjungi adalah nomor (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7). Titik nomor (9) tidak sempat saya kunjungi karena keterbatasan waktu serta kondisi jalan yang cukup "merepotkan". Sedangkan titik (8) yang pada peta aerial terlihat seperti sebuah air terjun tidak dapat saya kunjungi karena tidak menemukan akses jalan. [Silakan klik masing-masing titik untuk melihat beberapa foto dan vidio yang sempat saya ambil di titik tersebut.]


Kondisi jalan hingga jembatan S. Monruluk di titik (6)


Akses jalan menuju titik (1), (2), hingga (6) terbilang sangat baik. Berupa jalan beton yang kondisinya masih sangat mulus. Sedangkan untuk mencapai titik (7) dan (9), akses jalan mulai dari jembatan Salo Monruluk di titik (6) masih berupa jalanan tanah berbatu-batu yang cukup terjal dan sehabis terguyur hujan akan menjadi licin karena lumpur.



Kondisi jalan dari titik (6) menuju titik (7) dan (9)


Sungai ini dapat dibagi menjadi tiga bagian (section). Section 1 sepanjang 3 km dari jembatan (9) hingga jembatan (7) dengan perkiraan tingkat kesulitan (grade) 4 sampai 5 [jika memang air terjun (8) bisa diterjuni]. Section 2 sepanjang 3,5 km dari jembatan (7) hingga jembatan (2) dengan perkiraan grade 3 sampai 4. Adapun section 3 dari jembatan (2) hingga akses jalan di (1) sepanjang 4 km dengan perkiraan grade 2. Tentu saja, ini hanya sebatas perkiraan berdasarkan pengamatan lewat Google Maps maupun Bing Map, ditambah imajinasi saya sendiri.