Pages - Menu

'Oar' dan 'Paddle' – Tentang Gaya Mendayung dalam Arung Jeram

Seperti halnya tentang kano dan kayak, dalam khazanah arung jeram bermoda perahu karet atawa 'inflatable raft' –istilah kerennya, terdapat pula sebuah topik perbincangan yang pernah cukup membingungkan saya. Sebagaimana halnya dengan kano dan kayak, perkara ini pun mungkin tidak terlalu penting-penting amat adanya. Tulisan ini hanya sekadar upaya untuk mengurai kebingungan saya sendiri. Kebingungan yang sebenarnya sepele saja, tersebabkan oleh kurangnya pemahaman saya terhadap arti istilah-istilah dasar dalam khazanah arung jeram, khususnya rafting (istilah populer untuk menyebut kegiatan arung jeram bermoda perahu karet tersebut), di mana istilah-istilah yang dimaksud itu berkonteks.

Dalam khazanah teoretik tentang teknik-teknik mengarungi sungai dengan perahu karet, tersebutlah dua jenis style (yang mohon izin saya alih bahasakan sebagai ‘gaya’) dalam cara yang ditempuh perahu ketika bermanuver dalam rangka menghindari rintangan-rintangan yang terdapat di jeram. Gaya tersebut adalah ‘gaya oar’ –yang tak jarang pula disebut teknik dayung mundur, dan ‘gaya paddle’ –yang kadang disebut juga teknik dayung maju. Penyebutan gaya oar sebagai teknik dayung mundur, dan gaya paddle sebagai teknik dayung maju—meskipun kiranya memang tak salah—namun apabila tanpa disertai dengan ilustrasi lebih lanjut, akan cukup rawan menimbulkan pembayangan yang kurang tepat dalam benak pendengar atau pembaca yang budiman. Apalagi bila pendengar atau pembaca itu memang masih baru saja mengenal kegiatan yang disebut rafting ini, sebagaimana saya ketika pertama kali mendengar ceramah pembekalan teori terkait kegiatan ini.

Apakah teknik dayung mundur itu berarti bahwa kita mengarungi jeram dengan cara mundur dan membelakangi hilir sungai, sedangkan teknik dayung maju adalah sebaliknya? Ternyata bukan. Meskipun memang tidak dapat dihindari bahwa kadang kala perahu karet dapat terpaksa berputar sehingga bisa jadi meluncur mundur ketika sedang melewati jeram, kondisi tersebut hampir selalu bukanlah sesuatu yang disengaja adanya. Atau, apabila memang disengaja, itu sudah melalui berbagai pertimbangan yang cukup matang terkait risiko-risikonya.

Adalah sebuah prinsip penting, demi keselamatan, untuk senantiasa menempatkan rintangan-rintangan yang sedang dihadapi di sungai dalam ranah pengelihatan kita agar dapat senantiasa terawasi sehingga kita akan dapat bereaksi dengan segera terhadap rintangan-rintangan tersebut setiap saat ketika diperlukan. Melewati jeram dengan membelakanginya adalah sebuah kondisi yang berpotensi meningkatkan peluang terjadinya kecelakaan—alias berisiko—bagi perahu dan tentu juga kita yang menumpanginya. Dengan kata lain, mengartikan ‘teknik dayung mundur’ sebagai teknik mengarungi jeram dengan cara meluncur mundur membelakangi hilir sungai agaknya bertentangan dengan prinsip keselamatan tersebut, dan saya kira tidak layak untuk diamini.

Pembayangan yang demikian itu mungkin dikarenakan kita cenderung menganggap bahwa berperahu mengarungi sungai itu seperti mengendarai mobil di jalan raya; bahwa ketika kita mendayung maju, maka perahu akan meluncur maju, dan ketika mendayung mundur, perahu akan meluncur mundur. Namun, berbeda dengan ketika mengendarai mobil di jalan raya yang statis, ketika berperahu di sungai, air sungai yang menjadi landasan kita selalu bergerak mengalir dari hulu ke hilir. Membayangkan arung jeram seperti mengendarai mobil di jalan raya tidak cukup lengkap tanpa disertai dengan membayangkan jalan raya itu bagaikan ban berjalan (conveyor belt) atau travelator (elevator yang bergerak mendatar seperti yang biasanya ada di bandara-bandara besar yang memang luas). Kecuali ketika kita mengarungi bagian sungai yang alirannya tidak terlalu deras—yang biasanya disebut flat, berperahu di sungai hampir selalu berarti bahwa kita akan meluncur ke arah ke mana arus yang menjadi landasan kita itu mengalir, tak peduli kita mendayung perahu maju atau mundur. Terlebih ketika berada di jeram yang memang aliran airnya akan senantiasa deras sehingga tidak mungkin perahu akan dapat diluncurkan berlawanan arah dengan arah arus air—kecuali dengan memanfaatkan tenaga dorongan mesin, namun itu di luar konteks pembahasan kita.

Dalam dunia arung jeram, terdapat semacam suatu kesepakatan umum, yang mungkin sudah konvensional secara internasional, untuk menyebut arah berdasarkan arah aliran sungai sebagai patokan. Arah ke mana sungai mengalir disebut downstream dan arah dari mana sungai mengalir disebut upstream. Adapun kanan dan kiri biasanya mengacu pada arah sisi kanan dan kiri ketika kita menghadap downstream. Kanan sungai (river right / right bank) dan kiri sungai (river left / left bank), sebutan lengkapnya. Nomenklatur terkait arah ini penting diketahui, agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Ketika mengarungi sungai, dapatlah diyakini bahwa perahu akan hampir selalu terluncurkan ke arah downstream. Demikianlah, mengarungi sungai memang dapat pula dibayangkan sebagai menghanyutkan perahu mengikuti arah ke mana sungai mengalir. Meski demikian, proses tersebut tentu saja tidak selalu berarti terhanyut begitu saja dengan sepenuh-penuhnya kepasrahan pada kehendak aliran air sungai. Mendayung sesungguhnya adalah upaya yang dilakukan untuk menyesuaikan posisi, orientasi, dan –dalam taraf tertentu—arah luncuran perahu selama dalam keadaan terhanyutkan oleh aliran sungai itu. Bagaimanapun, jalur aliran air sungai memang tidak selalu hanya satu saja, apalagi di daerah berjeram. Di sinilah, terutama, perahu perlu dikendalikan dengan cara didayung, dalam rangka menyesuaikan posisi, orientasi, dan arah luncuran perahu tersebut agar senantiasa berada di “jalur yang benar” guna memperbesar peluang melalui jeram dan mencapai tujuan akhir dengan selamat.

Salah satu manuver dasar dalam arung jeram adalah ferrying. Itulah ketika haluan perahu diarahkan menyimpang dari arah aliran sungai sembari diberi percepatan dengan dayungan sehingga arah luncuran perahu pun akan menyimpang dari arah aliran atau arus sungai. Meskipun nyaris tidak mungkin untuk mendayung perahu dan meluncurkannya ke arah upstream ketika di jeram, meluncurkannya ke kanan dan kiri, relatif terhadap arah arus, masih mungkin untuk dilakukan. Secara teknis, ini dilakukan dengan memberi percepatan kepada perahu, yang berarti mendayungnya (biasanya maju atau mundur), sambil mengarahkan haluannya agak ke kanan atau ke kiri sungai sedemikian rupa sehingga arah resultan vektor perpindahan perahu jadi melenceng dari arah vektor arus sungai. Adapun ketika perahu didayung dalam rangka melakukan ferrying, orientasi arah haluan perahu, disebut sebagai ‘sudut ferry’ (ferry angle), biasanya disesuaikan relatif terhadap arah arus yang jadi landasan, dengan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain: kecepatan arus sungai, kekuatan akselerasi total dayungan dari para awak pendayung, serta seberapa jauh kita hendak melencengkan arah vektor luncuran perahu dari arah vektor aliran sungai.

Apabila dibayangkan seperti mengemudikan mobil di jalan tol, ferrying adalah manuver untuk berpindah dari lajur satu ke lajur yang lain dalam rangka menghindari hambatan atau rintangan yang ada di depan. Dalam rangka tersebut, ada kalanya kita tinggal mengarahkan kemudi ke kanan atau ke kiri saja, namun ada pula kala di mana kita perlu mengurangi kecepatan. Downstream ferrying adalah ferrying yang dilakukan sambil mendayung perahu relatif ke arah downstream namun dengan sudut haluan tertentu sedemikian rupa sehingga arah luncuran perahu akan menyimpang dari arah arus. Ini seperti membelokkan mobil untuk berpindah lajur tanpa mengurangi kecepatan. Sedangkan upstream ferrying adalah ferrying yang dilakukan sambil mendayung perahu relatif ke arah upstream juga dengan sudut haluan tertentu sedemikan rupa sehingga arah luncuran perahu akan menyimpang dari arah arus. Ini seperti membelokkan mobil untuk berpindah lajur sambil mengurangi kecepatan.

Adalah ketika ferrying—khususnya upstream ferrying—inilah, akan terlihat gamblang ciri utama yang membedakan gaya paddle dan gaya oar.

Paddle’ dan ‘oar’, bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia akan sama-sama menjadi ‘dayung’; sementara ‘paddling’ dan ‘rowing’ akan sama-sama jadi ‘mendayung’. Inilah, saya kira, salah satu biang kerok utama yang rawan melahirkan kebingungan. Kita mungkin lebih akrab dengan pemahaman bahwa dayung adalah ‘paddle’ dan mendayung adalah ‘paddling’, dan agak asing dengan ‘oar’ dan ‘rowing’ yang secara bahasa mungkin berarti sama saja, meskipun secara konsep cukup berbeda.

Sama-sama dayung, paddle dan oar adalah jenis dayung yang berbeda. Paddle adalah dayung yang digunakan dengan memegangnya dengan kedua tangan. Ia terpisah dengan perahu. Berbeda dengan oar yang merupakan dayung yang “terpasang” pada kedua sisi perahu dengan suatu sistem pengait dan mekanisme pivot tertentu, sehingga seseorang dapat menggunakan hanya satu tangan untuk mengendalikan satu dayung, dan satu orang dapat mengendalikan dua dayung yang terpasing masing-masing pada salah satu sisi perahu, bagai mengendalikan sepasang sayap atau sirip perahu. Dayung oar biasanya lebih panjang dan memiliki bilah (blade) yang lebih besar ketimbang dayung paddle. Dalam rafting, kedua sistem ini dapat diterapkan, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Rafting di Indonesia, sejauh yang dapat saya amati, memang lebih populer dilakukan dengan paddle. Mungkin ini pula yang membuat kita kurang mengenal oar sebagai ‘dayung’ dan rowing sebagai ‘mendayung’ sehingga—terutama dalam konteks arung jeram—masih agak asing dengan gaya oar dan mudah terbingungkan ketika membandingkannya dengan gaya paddling. Meskipun demikian, pada praktiknya, saya kira ada kalanya pendayung-pendayung jeram di negeri ini juga sudah menerapkan “gaya oar” ketika mengarungi sungai, tanpa benar-benar menyadarinya. Itulah ketika perahu melakukan upstream ferry dengan didayung mundur sembari tetap menghadap downstream.

Upstream ferry yang dilancarkan dengan mendayung mundur sambil tetap menghadap downstream (boleh disebut ‘backward upstream ferrying’) agar dapat selalu mengawasi jeram yang menanti di depan, dalam pemahaman saya sejauh ini, adalah ciri utama yang menandai gaya oar. Manuver ini sesungguhnya memang lebih bertenaga bila dilakukan dengan perahu karet yang didayung menggunakan sistem rowing daripada paddling. Ini karena secara mekanis dan biomekanis, rowing memang lebih bertenaga ketika mundur (alias ke arah belakang pendayung) daripada maju. Sedangkan paddling memang lebih bertenaga ketika maju (alias ke arah depan pendayung) daripada mundur. Adapun ketika melakukan upstream ferry, perahu harus didayung berlawanan arah dengan arus, yang berarti memerlukan tenaga yang cukup besar agar dapat berefek optimal. Ini membuat upstream ferry dengan dayung mundur, secara natural menjadi manuver unggulan yang lebih cocok bagi pendayung oar. Sedangkan bagi pendayung paddle, itu merupakan suatu “kelemahan”.

Bagi pendayung paddle, upstream ferry akan jauh lebih mudah dilakukan dengan menghadapkan perahu ke arah upstream (forward upstream ferrying). Namun, meninjau kembali prinsip keselamatan yang sudah diutarakan tadi, menghadapkan perahu ke arah upstream akan mengurangi ranah pengelihatan kita terhadap jeram yang menanti di sisi downstream. Seperti halnya bagi pendayung oar, apabila mengingat bahwa tenaga optimal yang dimilikinya hanya dapat dikerahkan ketika mendayung mundur, mengarungi sungai dengan cara mundur tentu seharusnya menjadi sesuatu yang “wajar” baginya. Namun, karena itu harus dibayar dengan berkurangnya ranah pengelihatan terhadap jeram di sisi downstream, para pendayung oar pun tetap melakukan pengarungan dengan menghadap downstream. Bagaimanapun, mengarungi jeram dalam konteks petualangan memang bukanlah terutama mengenai kecepatan, melainkan bagaimana cara melalui berbagai rintangan yang ada dengan risiko seminimal mungkin, dan pengelihatan terhadap segala sesuatu yang berada di sisi downstream adalah salah satu hal fundamental untuk itu.

Kalau anda kebetulan adalah seorang yang sudah cukup mengakrabi arung jeram, prinsip yang sama berlaku ketika renang jeram. Salah satu alasan mengapa ketika renang jeram posisi tubuh kita harus telentang dengan kepala di sisi upstream adalah agar kita lebih mudah mengawasi sisi downstream, hal yang nyaris mustahil dilakukan bila kita berenang dengan tubuh telungkup atau tengkurap—apalagi kalau kepala kita juga berada di sisi downstream.

Tetapi, kalau itu memang suatu “kelemahan”, mengapa pendayung paddle kadang-kadang juga melakukan upstream ferry dengan mendayung mundur? Saya kira pertanyaan ini akan terbersit juga di benak pembaca yang kritis.

Meskipun mendayung mundur dengan paddle memang tidak akan sebertenaga mendayung maju, ada kalanya mendayung mundur untuk upstream ferry tetap menjadi pilihan yang lebih baik. Selain karena bisa tetap menempatkan sisi downstream dalam ranah pandangan, untuk melakukan upstream ferrying dengan dayung maju bagi pendayung paddle tentu memerlukan manuver berputar terlebih dahulu, mengingat normalnya para pendayung paddle selalu menghadap downstream, dan ini akan memakan waktu (juga tenaga) yang tidak sedikit. Waktu (dan tenaga) yang tidak sedikit itulah yang saya kira menjadi faktor pertimbangan krusial. Apabila waktu tersebut diperkirakan memang cukup untuk memutar perahu sebelum mencapai rintangan yang ingin dihindari, mungkin melakukan upstream ferry dengan mendayung maju akan jadi pilihan yang lebih baik, terutama ketika jarak ferry yang harus dilakukan memang cukup lebar dan arus yang diseberangi pun cukup kuat. Sebaliknya, apabila manuver berputar itu diperkirakan hanya akan lebih banyak membuang waktu (dan tenaga) sedang rintangan yang perlu dihindari sudah di depan mata dan ferry yang perlu dilakukan kebetulan tidak perlu banyak-banyak, upstream ferry dengan mendayung mundur akan jadi pilihan yang lebih baik.

Demikianlah, dalam arung jeram, setiap situasi akan selalu menghadirkan beragam tantangan yang masing-masing mengandung risiko serta reward tersendiri. Bagaimana kita menilai situasi yang dihadapi dan menentukan respon yang sebaiknya dilakukan, pun adalah suatu tantangan pada tingkatan tersendiri.

~ Agustus 2021