Pages - Menu

Tiga Dalam Kayu — Merangkai Fragmen Ingatan

Pernah kucoba membaca Semua Ikan di Langit. Tak sampai selesai satu bab, aku menyerah. Kepalaku dipenuhi puing-puing asing yang tak dapat kupahami. Aku mual intelektual (maksudnya: pusing). Sistem pencernaan dalam kepalaku tak sanggup mengurai potongan-potongan informasi yang kujejalkan ke dalamnya menjadi sesuatu yang mudah terbayangkan. Pada akhirnya, kusingkirkan buku itu dari hadapanku. Kubiarkan ia tergeletak di pojok rak, di bawah selimut debu dan jaring laba-laba, di bawah tumpukan buku-buku lain yang juga tak pernah selesai kubaca.

Pengalaman itu menyisakan semacam "trauma". Kupikir, novel karya Ziggy itu mungkin memang bukan untukku. Tak cocok dengan seleraku. Maka, untuk waktu yang lama, aku tak pernah lagi tertarik membaca karya-karya Ziggy lainnya. Rasanya tentu tak akan begitu jauh berbeda dengan 'Semua Ikan di Langit', pikirku.

Tetapi Jakarta Sebelum Pagi dan Di Tanah Lada kelihatannya begitu populer. Di rak virtual iPusnas, tak pernah kutemukan buku itu menganggur menunggu pembaca. Justru para pembaca yang jumlahnya ribuan itu rela mengantre dalam ketidakpastian untuk mendapatkan giliran kesempatan membacanya. Di toko-toko buku fisik pun, buku-buku tersebut sulit ditemukan.

Itu membuatku penasaran. Semenarik itukah karya Ziggy? Mungkin aku perlu mencoba kembali membaca karyanya untuk mencari tahu. Namun, karena kedua judul tersebut begitu sulit ditemukan, kubeli bukunya yang lain. Tiga Dalam Kayu akhirnya berada di hadapanku.

*

Demi menjaga diri dari terpaan rasa kecewa yang sama dengan yang pernah kualami di masa lalu, kutekan ekspektasiku serendah-rendahnya. Kupegang buku ini sambil dalam hati membulatkan tekad untuk membacanya sampai selesai. Seperti kenyataan sehari-hari, isi buku sering kali tak dapat diperkirakan, namun, suka atau tidak, itu mesti dihadapi dan sedapatnya diselesaikan. Beruntung, buku ini tidak begitu tebal, 160 halaman saja.

Sampulnya berwarna gelap. Serupa warna langit ketika malam, namun bukan hitam. Terkesan misterius. Seperti kelam yang membalut siluet bayang-bayang ketika dinihari. Begitu, kesan yang kudapati pertama kali. Kesan yang tidak terlalu melenceng dari apa yang nantinya kurasakan selama membaca isinya.

"Jangan menilai buku dari sampulnya!" Kata orang-orang ketika berusaha bijak. Harus disisipkan kata 'hanya' di tengah-tengah, supaya lebih akurat, menurutku. "Jangan menilai buku hanya dari sampulnya!" Bagaimana pun, sampul adalah bagian dari sebuah buku. Jadi, membaca buku tentu mencakup pula membaca sampul buku itu, bukan?

Misalnya membaca judul yang tertera di depan atau di punggung buku. Membaca nama sang pengarang yang terpampang ("Ziggy Zzzzz"). Membaca pilihan warna sampulnya. Membaca gambar-gambar ilustrasi pada sampul itu. Membaca "U 18+" di sebelah "novel" pada kotak putih tempat kode bar di pojok kanan bawah sampul belakang. Membaca "cetakan ketiga". Juga membaca sinopsisnya.

Kubaca semua itu pelan-pelan dan dengan penuh penghayatan, seperti mengeja tanda-tanda datangnya perubahan musim, berusaha menikmati kesan-kesan yang muncul, sebelum membiarkannya mengendap di dasar gelas.

Sepatu. Piano. Serangkai bunga. Dan, ada satu gambar ilustrasi pada sampulnya yang sulit kuterka sebagai apa. "Tampak seperti kue tart, atau potongan batang pohon kayu yang tergeletak?" pikirku. Nantinya, kusadari bahwa itu adalah sesuatu yang sama sekali lain, setelah selesai membaca seluruh cerita dalam buku ini.

Kubaca sekilas sinopsisnya. Cukup tak memberi kejelasan apa-apa mengenai apa yang boleh diharapkan. Tak kudapati timbulnya rasa penasaran yang lebih, dalam diriku. Kukira sinopsis tersebut telah gagal. Atau mungkin aku telah cukup sukses menekan tingkat ekspektasiku sendiri.

Lantas, seperti seorang bocah kecil dengan rasa ingin tahu mencondongkan kepalanya untuk memeriksa kedalaman sumur gorong-gorong, aku pun mencemplungkan wajahku ke dalam remang bayang-bayang pada halaman-halaman cerita pertama.

(Tak sempat peduli membaca daftar isi).

*

Aku sudah lupa apa saja yang sempat kubaca pada Semua Ikan di Langit, kecuali 'ikan julung-julung'. Cerita di bab pertama buku ini memperkenalkanku pada 'ikan selar', dan aku jadi teringat pengalaman bertemu 'ikan julung-julung'. Salah satu hal menyenangkan dari membaca buku adalah menemukan kata-kata, istilah, atau nama-nama yang seperti belum pernah dikenal sebelumnya. Mereka memberi tekstur berbeda pada pengalaman sehari-hari yang biasa.

Menjumpai pohon, bunga-bunga, melihat ikan, burung-burung, dan sebagainya, mungkin sudah menjadi hal biasa dalam keseharian. Tetapi pengalaman itu akan terasa berbeda bila yang dijumpai adalah, misalnya, Pohon Nusa Indah, atau Pohon Ketapang Kencana, atau Bunga Bara Belantara, atau Bunga Pijar Hutan, atau Kembang Kasih Terbakar, atau … dsb. Layaknya ketika kita berjalan-jalan di keramaian kota, antara bertemu dengan orang-orang, dan bertemu dengan seseorang yang dikenali, pengalaman itu akan terasa berbeda, bukan?

Perbendaharaan pengetahuanku mengenai nama-nama ikan memang layak dibilang miskin. Sama juga dengan nama-nama bunga. Nama-nama pohon. Atau nama-nama berbagai hal lainnya. Aku cukup payah dalam menghafalkan nama-nama. Mungkin itu ada hubungannya dengan aku yang tak banyak bergaul. Mungkin tidak, entahlah.

Ini bukan sesuatu yang penting buat semua orang, tapi cukup penting bagiku. Ikan Selar tak punya tempat khusus dalam keseluruhan atau bahkan sebagian saja dari buku ini. Ia hanya berarti khusus bagiku. Betapa menyenangkannya berkenalan dengan ikan-ikan, bunga-bunga, pohon-pohon, atau jenis-jenis gaya penataan rambut. Kata-kata memberi tekstur pada pengalaman. Membaca, salah-satunya, adalah proses berkenalan dengan kata-kata. Semakin banyak kata yang dikenali, semakin kaya pengalaman kita.

Dalam hal serupa nama-nama, Ziggy juga pandai memberi julukan pada apa saja. Kalau nama-nama adalah sesuatu yang baku dan berlaku umum, julukan adalah sesuatu yang lebih spesial dan cenderung personal. Lebih intim. Seperti nama yang berlaku khusus di antara yang menjuluki dan yang dijuluki. Julukan mengandung kualitas khusus, ciri-ciri khas, sifat-sifat unik, yang membedakan satu entitas dengan entitas lain yang sejenis. Melampaui nama-nama, mengenali sesuatu dengan julukannya akan menghadirkan pengalaman yang kiranya lebih dalam lagi.

Tiap penulis, pengarang, atau penyair, biasanya punya ciri-ciri khas tersendiri terkait preferensi kata-kata yang dipakainya dalam menciptakan suatu gambaran. Cukup mudah merasakan itu, meski belum tentu mudah menjelaskannya.

Sejak semula membaca Tiga Dalam Kayu ini, langsung bisa terasakan ciri khas Ziggy dalam kata-kata yang dipakainya untuk menghidupkan kalimat-kalimatnya. Seperti ada nuansa keluguan yang mengandung kejernihan, layaknya seorang kanak-kanak memandang dunia, namun tanpa kesan naif. Menggemaskan, tetapi juga mengandung ketajaman.

Tetapi bukan hanya itu, kekhasan yang dimaksud juga sangat terasa dalam cara Ziggy membangun gambaran mengenai apa yang diceritakannya. "Seperti menyusun keping-keping puzzle," aku sering bergumam ketika membaca.

Tiap kalimat adalah potongan informasi. Tiap paragraf adalah sepotong gambaran. Tiap bab adalah mozaik. Ziggy menyusunnya dalam suatu cara yang tidak terlalu biasa. Seperti membiarkan banyak celah menganga yang menuntut daya pikir, daya ingat, dan imajinasi pembaca untuk bekerja mengisinya sendiri dengan hubungan-hubungan entah bagaimana yang dapat membuat keseluruhan kisah menjadi sebuah dunia yang utuh dan masuk akal (meski tak harus sesuai dengan kenyataan sehari-hari). Tetapi ia seperti melakukannya tidak secara serampangan. Tak mungkin itu dapat dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Setidak-tidaknya, Ziggy juga selalu meninggalkan petunjuk-petunjuk untuk sedikit membantu pembaca merangkai potongan-potongan informasi yang ditebarnya menjadi cerita yang cukup utuh. Dan, di situlah kukira letak "kejeniusan" Ziggy.

Bagaimana menggambarkan gunung tanpa memperlihatkan gunung? Ziggy mungkin akan menghadirkan pohon-pohon tertentu, rumput-rumput yang bukan sembarang rumput, burung-burung dari spesies tertentu, dan berbagai hal spesifik lain yang, bagi pembaca dengan cukup pengetahuan dan pengalaman, akan dengan mudah dikenali sebagai—"oh, ini gunung." Ini sebuah perumpamaan saja. Tapi begitulah kira-kira.

Membaca Ziggy, ibarat seorang pelukis, seperti menyaksikan secara langsung prosesnya melukis sedangkan apa yang dilukisnya tak terlihat jelas sebelum segalanya benar-benar selesai dilukiskan. Ia menyicil cerita sedikit demi sedikit, meletakkan berbagai kepingan adegan secara (seolah-olah) sporadis namun tak sembarangan, menyingkap sepotong demi sepotong peristiwa yang saling tak terhubung, pelan-pelan, dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, dengan tetap memperhitungkan segala sesuatunya supaya senantiasa terasa mengalir terbacanya, sedikit demi sedikit, seperti diam-diam menyembunyikan benang merah sembari menampakkan fragmen-fragmen yang memukau perhatian, bagaikan seorang pesulap dengan trik rahasia, menciptakan penggalan-penggalan cerita-cerita misterius yang tak pernah gagal menarik perhatian, sebelum kemudian meletakkan potongan informasi penting pada akhirnya, dengan cara yang begitu kasual, nyaris tak disadari, tetapi kemudian menjadikan keseluruhan peristiwa tiba-tiba menjadi utuh sebagai sebuah cerita.

Berkali-kali aku dibuat terhenyak tepat pada titik di akhir kalimat terakhir. Berkali-kali aku dibuat seperti anak kecil yang lugu (agak dungu juga) dan mudah ditipu. Berkali-kali aku dibuat gemas atas pilihan-pilihan kata yang digunakannya. Berkali-kali aku merasa tercerahkan ketika menemukan potongan-potongan kalimat yang sederhana tetapi dalam maknanya. Meski tak jarang pula aku dibuat kebingungan merangkai alur dan gambaran peristiwa yang diceritakan.

Membaca buku ini (dan mungkin juga buku-buku Ziggy lainnya) jelas memerlukan daya tangkap dan daya ingat yang cukup terasah supaya terasa benar nikmatnya. Kalau tidak, bakal mudah terjebak alur, dan kesulitan merangkai cerita. Minimal, ada rasa ingin tahu dan kesungguhan hati untuk mengerti, meski harus membaca pelan-pelan.

*

Bab pertama buku ini langsung menenggelamkanku ke dalam sebuah dunia yang misterius. Kelam, cukup seram, dan agak mengerikan—segera saja "U 18+" di sampul belakang buku itu jadi masuk akal. Banyak kata-kata dan kalimat-kalimat yang "mencurigakan". Seperti ada maksud tertentu yang samar-samar. Rasanya seperti berjalan dalam keremangan subuh yang mencekam berbekal sebatang lilin di tangan. Jalan setapak membentang penuh kelokan di antara semak-semak rimbun, tak kelihatan ujungnya. Di sekitar terasa sepi, namun seolah-olah ada sesuatu yang selalu mengikuti di balik keremangan. Tak jarang aku jadi merasa harus menoleh ke belakang, memeriksa apakah jalan setapak yang tadi kulalui masih ada di sana untuk meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang tersesat. Kadang-kadang, jalan setapak di hadapanku tiba-tiba menghilang sehingga aku harus berbalik untuk mencari persimpangan yang tanpa sadar telah kulewatkan.

Sebelas bab pertama, rupa-rupanya, adalah sebelas buah cerita yang tak segera dapat ditemukan ketersambungannya. Tetapi akan selalu terasa ada hal-hal yang menjadikan semua itu sebenarnya cukup berhubungan. (Cerita tentang ibu, nenek, nenek buyut, istri, Maria, Soleram, penjara, persalinan, perkosaan, warna merah, Hawa.) Keterhubungan ini semakin dipertegas adanya pada bab ke-12. Meski begitu, selalu terasa ada sensasi mengganjal yang tertinggal. Seperti ada petunjuk-petunjuk yang terlewatkan. Aku jadi kerap diterpa keinginan untuk mengulang kembali pembacaan dari awal, meski tak kulakukan sebelum selesai, demi menghormati kemurnian peranku sebagai pembaca yang lugu. Lagipula, kisah belum sepenuhnya selesai. "Di depan sana, pasti akan kutemukan sesuatu yang kan menjadikan segalanya lebih terang," pikirku meyakinkan diri untuk terus membaca pelan-pelan.

"Ziggy membuatku jadi kanak-kanak," gumamku pada suatu ketika.

"Ziggy pandai memberi julukan," pikirku pada waktu yang lain.

Ziggy sering menghadirkan sesuatu yang berwarna merah, misalnya bunga dan darah. "Ini mencurigakan," pikirku.

"Siapakah 'aku' ini?" sering pula aku bertanya-tanya. Ziggy menghadirkan teka-teki yang membuatku bingung sampai lupa peran. "Aku harus jeli memperhatikan tanda-tanda."

Aku membaca ingatan-ingatan usangku sendiri tercermin dalam latar cerita-cerita pada paruh pertama buku ini. Zaman-zaman yang kebanyakan hanya pernah kualami sebagai cerita dari masa lampau yang dibawakan buku pelajaran sejarah, maupun buku-buku lainnya. Adapun "isi" ceritanya, kalau boleh kuterka (sebab memang tak terlalu gamblang ditampakkan), masih berkaitan dengan tema yang dewasa ini kian santer diperdebatkan di tengah masyarakat, dalam skala lokal hingga global. Kukira, buku ini mungkin bakal cukup menarik dikaji secara akademis sebagai bagian dari gelombang kritik terhadap realitas sosial politik masa kini.

Aku mencurigai adanya sejumlah "simbolisasi" yang seakan-akan menantang pembaca untuk coba menafsirkannya sendiri. Setidak-tidaknya, untuk dibawa pulang ke dunia nyata sebagai bahan permenungan sambil ngopi, atau sekadar teman duduk di dekat jendela sambil menatap awan berarak di atas pepohonan, mendengarkan burung-burung berkicau dari dahan-dahannya, dan bertanya-tanya apakah cinta ini masih layak diperjuangkan.

Di antara hal yang kubawa pulang sebagai oleh-oleh berharga dari petualangan membaca buku ini adalah sebuah lagu rakyat dari tanah asing. Lagu itu seharusnya dapat kutemukan sejak awal (kalau sudi meluangkan waktu membaca daftar isi) namun luput hingga buku ini selesai kubaca. Sebuah lagu yang, pada akhirnya, akan terasa pantas mengiringi permenungan terhadap cerita-cerita dalam buku ini.

Lagu itu juga tak lepas dari kecurigaanku. Kehadirannya, yang seakan sengaja disamarkan, seolah mengandung intensi tertentu. Meski tak menutup kemungkinan bahwa Ziggy hanya kebetulan saja memang menyukai lagu-lagu rakyat dari tanah asing yang jauh itu sehingga dengan semangat iseng-isenganya, meminjam penggalan-penggalan liriknya untuk digunakan, tanpa harus mengandung maksud khusus. Namun adegan pada akhir bab terakhir membuatku tak dapat tidak menganggap hal ini sebagai sebuah petunjuk penting. Tetapi kecurigaanku ini mungkin tak perlu kuuraikan lebih jauh. Anggap saja ini sekadar sebagai gambaran bahwa membaca buku ini hingga selesai tidak dapat menjamin bahwa pembacaan terhadapnya akan benar-benar terasa selesai. Apakah itu suatu yang baik atau buruk, kukira lebih afdal bila dikembalikan kepada masing-masing pembaca.

Pada akhirnya, meski tak dapat kukatakan sebagai buku yang mendekati predikat sempurna, Tiga Dalam Kayu adalah buku yang bagus. Kira-kira 7,5/10, kalau harus kuberi nilai.

*

Dalam pembacaanku, buku ini seperti percobaan  menghadirkan berbagai masa yang pernah dicatat sejarah, menjadikannya latar yang tersamar, untuk menampakkan peristiwa-peristiwa "kecil" yang sering dianggap tak penting, melambungkannya jauh hingga ke masa depan yang tak mustahil adanya, dirangkai jadi suatu kisah yang mengandung sindiran-sindiran berlapis (seperti bawang) terhadap kemanusiaan manusia. Apakah kita pernah sungguh-sungguh belajar, menggunakan pengetahuan-pengetahuan yang telah kita gali dan tumpuk-tumpuk dari zaman ke zaman, untuk memperbaiki diri? Ataukah semua itu memang hanya akan menjadi "kuburan" bagi kita sendiri? Dengan segala yang dapat kita ketahui, mungkinkah zaman akan berubah lebih baik?


—Agustus 2023