Pages - Menu

Salu Betue - Mengintip Jeram-Jeram Besar di Pedalaman Sulawesi

Selain Sungai Lariang dan Sungai Sa'dan, di antara sekian banyak sungai besar yang mengalir menembus daerah pegunungan bagian tengah Pulau Sulawesi, adalah Sungai Karama. Sungai ini, sebagaimana Lariang dan Sa'dan, mengumpulkan air dari berbagai dataran tinggi di kawasan pegunungan pedalaman Sulawesi, dan mengalirkannya ke lepas pantai Selat Makassar di sisi barat pulau terbesar ke-11 di dunia tersebut.

Sungai Sa'dan dan Lariang sudah cukup terkenal di kalangan pengarung jeram, khususnya pekayak, hingga ke mancanegara. Cukup sering saya mendengar pekayak dari luar negeri melakukan perjalanan di Sulawesi, dan setiap kali, Sa'dan dan Lariang selalu berada di antara daftar sungai-sungai yang mereka arungi. Mereka biasanya menjadikan Rantepao atau Makale di Tana Toraja sebagai home base. Dari situ, Sa'dan dan berbagai sungai anakannya berada tak jauh, dan relatif mudah diakses. Sedangkan Lariang yang berada cukup jauh sehingga butuh lebih dari sehari perjalanan darat untuk dicapai, serta 2 - 3 hari untuk diarungi, biasanya dijadikan sajian utama yang dikemas sebagai petualangan semi-ekspedisi.

Adapun Sungai Karama, hampir tidak pernah terdengar kabarnya di telinga saya. Terakhir kali saya mendengar kabar terkait sungai tersebut adalah ketika pada 2016, Wanadri melaksanakan ekspedisi mengarungi Salu Uro yang--setelah saya pelajari di kemudian hari--ternyata merupakan salah satu anak sungai di hulu Sungai Karama. Sungai Karama sendiri sudah sejak 1993 tercatat diarungi pertama kali oleh tim ekspedisi Palapsi UGM (yang pada waktu itu, konon katanya, juga sempat mengarungi 5 km bagian Salu Uro).

Menelusuri kembali informasi yang dapat saya peroleh mengenai kedua ekspedisi tersebut sambil membuka peta, saya menemukan bahwa selain Salu Uro, ada sebuah sungai lain yang juga merupakan penyuplai air utama bagi Sungai Karama. Sungai ini bernama Salu Betue.

Membandingkan wilayah tangkapan air antara Salu Uro dan Salu Betue secara sepintas pada peta topografi, sungai yang terakhir ini nampak memiliki wilayah tangkapan yang lebih luas. Dengan kata lain, potensi debit airnya pun berkemungkinan lebih besar daripada Salu Uro.

Agak mengherankan bagi saya bahwa Wanadri memilih Salu Uro, alih-alih Salu Betue, sebagai sungai yang dijadikan target ekspedisi. Mengingat kedua sungai tersebut berada dalam satu sistem sungai yang sama, juga dalam wilayah administratif yang sama. Akses jalan menuju Salu Betue bahkan kelihatannya relatif lebih mudah. Dalam benak saya, Salu Betue seharusnya lebih "mengugah" ketimbang Salu Uro.

Bagian yang saya kira paling "menarik" untuk diarungi dari Salu Betue adalah sepanjang 26 km, mulai dari pertemuan Salu Lodang, dekat ibu kota Kecamatan Seko [-2.281434, 119.885556], ke arah barat hingga di sebuah jembatan antara Desa Hoyane dan Desa Tanama Kaleang [-2.317273, 119.715681], sekitar 4 km sebelum pertemuan Salu Uro.

Dari total 26 km itu, 9 km pertama aliran sungai terlihat didominasi oleh flat. Gradien rata-rata bagian ini—menurut hasil perhitungan jarak dan beda ketinggian di atas peta topografi—adalah 4,5 m/km, dengan beberapa jeram yang kemungkinan termasuk dalam kategori tingkat kesulitan grade 2 hingga 3. Sepanjang bagian ini, sungai mengalir di dasar lembahan berlereng curam antara Buntu Tambolang dan Buntu Donno.

Peta RBI Salu Betue
Potongan Peta RBI Skala 1:50.000 Lembar 2113-62 [ENO] Menampilkan Salu Betue (Sumber: tanahair.indonesia.go.id)

Lepas dari lembahan tersebut, sungai akan mengalir meliuk melewati daerah persawahan di lubuk suatu daerah cekungan landai dekat Buntu Datta, di mana aliran Salu Sae dan Salu Lambiri bergabung dari sisi kiri. Inilah titik akhir bagian 9 km pertama itu. Pada citra satelit terlihat adanya perkampungan tak jauh dari sungai, dan ada beberapa jembatan gantung menyeberangi sungai yang sepertinya adalah akses jalan bagi para penduduk untuk menuju sawah. Titik ini, berada tak jauh dari Dusun Lambiri, Desa Embonatana, dapat pula menjadi alternatif titik awal pengarungan jika tidak ingin mengarungi bagian 9 km yang minim jeram di atasnya. Tepat setelah titik ini, selepas jembatan gantung terakhir setelah sungai berbelok ke kiri, gradien aliran sungai akan menjadi curam. Sepanjang 15 km selanjutnya, dari citra satelit terlihat jeram-jeram besar dan panjang mendominasi.

Silakan jelajahi satellites.pro untuk tampilan citra satelit yang lebih jelas dibanding Google Maps. Berikut ini beberapa jeram panjang yang ada.








Gradien rata-rata secara keseluruhan bagian ini adalah 18,6 m/km. Namun, bila mengabaikan panjang aliran flat, total panjang bagian berjeram adalah 6,1 km. Bila ini digunakan sebagai pembagi selisih elevasi titik awal (1060 mdpl) dan akhir (780 mdpl), maka dapat diperkirakan bahwa rata-rata gradien jeram pada bagian tengah ini adalah 45,9 m/km. Dengan gradien securam itu, ditambah debit air yang cukup besar, penampakan citra satelit yang memperlihatkan jeram-jeram besar penuh buih-buih putih pun menjadi lebih masuk akal.

Topografi Rabbit Hole - Jembatan Parhitean di Sungai Asahan diambil dari Google Maps.
Perhatikan bahwa beda ketinggian antar garis kontur kecil adalah 20 m. Titik 0 km garis ukur berada di antara garis kontur ketinggian 280 dan 300, dan titik 3,2 km berada di antara ketinggian 200 dan 220. Jika diambil rata-ratanya, maka titik 0 berada kira-kira pada 290 mdpl dan titik 3,2 berada kira-kira pada 210 mdpl. Maka perhitungan gradien rata-ratanya adalah (290 - 210) / 3,2 = 80 / 3,2 = 25 m/km.

Untuk perbandingan, gradien rata-rata 3,2 km Rabbit Hole Section sampai Jembatan Parhitean di Sungai Asahan adalah 25 m/km. Dengan debit air yang melimpah, bagian tersebut memiliki jeram-jeram bertingkat kesulitan grade 4 hingga 5. Adapun Salu Betue ini, debit airnya mungkin memang tidak sebesar debit Asahan, tetapi dengan gradien yang jauh lebih curam, maka dapat diperkirakan bahwa jeram-jeram pada 15 km bagian tengah Salu Betue akan didominasi oleh jeram-jeram grade 5. Bahkan mungkin pula terdapat jeram grade 6.

Topografi sebuah jeram di Sungai Cimanuk di bawah Waduk Jatigede.
Dengan cara yang sama dengan sebelumnya, dapat diamati bahwa perbedaan elevasi sepanjang 1 km bagian tersebut adalah kira-kira 40 m.
Tampilan citra satelit jeram Sungai Cimanuk di bawah Waduk Jatigede tersebut pada situs satellites.pro.

Pembanding lain yang karakteristiknya mungkin lebih serupa adalah 2,5 km bagian Sungai Cimanuk selepas Waduk Jati Gede, dari Jembatan Eretan sampai Jembatan Parakan Kondang. Penampakan jeram-jeram di bagian tersebut, terutama jeram yang paling besar, mirip dengan jeram-jeram di bagian tengah Salu Betue, dengan profil gradien yang juga hampir sama, serta batu-batu besar berserakan dan menyembul di tengah-tengah jeram.

Selepas 15 km di bagian tengah Salu Betue ini, gradien aliran sungai akan kembali melandai sepanjang 2 km sampai di jembatan batas Desa Tanama Kaleang - Hoyne. Ini adalah titik ideal untuk mengakhiri pengarungan, sebab berada tak jauh dari wilayah perkampungan dan akses jalannya terlihat cukup lebar dibanding jembatan sebelumnya.

Aliran sungai sebenarnya masih terus berlanjut hingga pertemuan Salu Uro, kemudian memasuki Sungai Karama di wilayah Sulawesi Barat. Namun, 2 km selepas jembatan Tanama Kaleang - Hoyane, gradien aliran sungai akan kembali menjadi curam. Pengamatan pada peta citra satelit memperlihatkan jeram yang sangat panjang berkelanjutan tanpa jeda dengan banyak batu-batu besar berserakan dan bertumpuk-tumpuk. Pengukuran pada peta topografi menunjukkan bahwa gradien 2 km bagian ini hingga ke pertemuan Salu Uro adalah 50 m/km. Besar kemungkinan bagian ini terlalu berbahaya untuk dapat diarungi.

Jeram pertama selepas jembatan Tanama Kaleang - Hoyane

Dari hasil mengamati dan mempelajari peta tersebut, menjadi dapat dimengerti mengapa kiranya Wanadri tidak memilih mengarungi sungai ini. Jeram-jeram yang menanti sepertinya terlalu besar dan panjang. Jeram-jeram ini juga mungkin akan sangat sulit untuk diarungi menggunakan perahu karet. Namun, saya kira jeram-jeram tersebut masih cukup memungkinkan untuk diarungi menggunakan kayak. Tentunya oleh kelompok pekayak dengan skill yang sudah cukup tinggi.

Adakah pekayak-pekayak dalam negeri yang punya skill sepadan untuk mengarungi Salu Betue ini? Ataukah kita memang hanya bisa menunggu pekayak dari luar negeri menemukan dan mengarunginya lebih dulu?


Juli, 2013