Pages - Menu

Menelusuri Kembali Jejak Informasi Ekspedisi Salu Uro dan Salu Karama — Sebuah Penjelajahan Lewat Dunia Maya

Pada bulan Juli hingga Agustus tahun 2016, Wanadri melakukan ekspedisi mengarungi Salu Uro menggunakan perahu karet. Pengarungan tersebut diklaim sebagai 'first descent'.

'First descent' adalah sebuah istilah yang, dalam makna paling umum dan prestisius di dunia arung jeram, berarti bahwa sebuah pengarungan merupakan pengarungan yang pertama kalinya dilakukan di suatu sungai (atau bagian tertentu suatu sungai).

Waktu pertama kali saya mendengar berita ekspedisi Wanadri tersebut, sebagai seorang yang berasal dari Tana Luwu, khususnya Kab. Luwu Utara, wilayah di mana Salu Uro berada, saya merasa cukup penasaran untuk mengetahui di manakah gerangan letak sungai itu pada peta.

Mencermati Google Maps, dan membandingkannya dengan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000 yang diunduh dari situs tanahair.indonesia.go.id, akhirnya saya ketahui bahwa sungai tersebut mengalir di dataran tinggi Rongkong dan Seko yang, dari kampung halaman saya, berada sangat jauh di pedalaman daerah pegunungan sana. Daerah yang memang tak mudah diakses.

Cukup lama berselang setelah itu, Wanadri akhirnya mempublikasikan vidio dokumentasi ekspedisi tersebut di YouTube. Namun, tak terlalu banyak informasi yang cukup jelas perihal dari titik mana hingga titik mana bagian sungai yang telah mereka arungi dapat diperoleh dari situ.

Di kemudian hari, setelah Palapsi UGM merayakan Lustrum ke-9, iseng, saya membaca-baca salah satu 'blog post' di pecintaalampsikologiugm.wordpress.com. Sebuah artikel lama tentang arung jeram Sungai Karama, salah satu ekspedisi pengarungan yang pernah dilakukan Palapsi pada 1993.

Di situ disebutkan bahwa sebelum mengarungi Sungai Karama, tim Palapsi sempat mengarungi Salu Uro. Diceritakan bahwa sehari sebelum tanggal 11 Januari, mereka mengarungi Salu Uro sepanjang 5 km dengan titik akhir di Desa Kariango (-2.3866053, 119.7632845).

Setelah mengetahui hal tersebut, saya pun berusaha mencari tahu kembali berbagai informasi tentang ekspedisi Salu Uro Wanadri. Satu hal yang saya ketahui dari vidio di YouTube tersebut, ada bagian sepanjang 9 km di tengah-tengah pengarungan yang mereka 'skip' karena dinilai 'unrunnable'.

Hasil amatan saya terhadap Salu Uro melalui citra satelit Google Maps membawa kesimpulan bahwa bagian yang mungkin mereka 'skip' itu adalah dari titik -2.463204,119.788100 hingga titik -2.4360248, 119.7572016 di mana terdapat sebuah jembatan gantung. Pada bagian sepanjang 9 km (menurut hasil ukur pada Google Maps) itu, sungai mengitari sebuah gunung (yang di peta RBI bernama Buntu Maipi) dan memang terlihat dipenuhi jeram-jeram sangat panjang serta tumpukan batu-batu besar pada citra satelit Google Maps.

Menghitung garis kontur pada peta RBI, sepanjang 9 km itu, sungai mengalir dari ketinggian 1720 mdpl ke 1225 mdpl. Artinya, gradien rata-rata bagian tersebut adalah sekitar 52,8 m/km. Itu jauh di atas gradien sungai-sungai yang lazim diarungi di Indonesia yang, sepengetahuan saya, rata-rata tak lebih dari 25 m/km.

Dari vidio YouTube tersebut juga dapat diketahui bahwa bagian yang mereka 'skip', atau yang dalam istilah Wanadri: 'dilambungi' itu, bermula dari kilo meter (KM) 28 hingga KM 37. Dengan informasi tersebut, setelah diukur pada Google Maps, saya perkirakan titik mula pengarungan mereka adalah di sekitar pertemuan antara Salu Uro dengan Salu Toraja pada titik koordinat -2.597704,119.846039.

Beberapa artikel berita daring yang kebanyakan dipublikasikan pada Januari 2016 menyebutkan bahwa ekspedisi Wanadri tersebut akan mengarungi Salu Uro sepanjang 76,66 km. Namun, di situs Portal Bandung (bandung.go.id), rilisan berita bertanggal 13 Agustus 2016 tentang pelepasan keberangkatan ekspedisi tersebut oleh Gubernur Jawa Barat ketika itu, Ridwan Kamil, disebutkan bahwa:

"Wanadri menargetkan akan mengarungi aliran Salu Uro dengan beragam tingkat kesulitan jeram yang ada di sepanjang 53 kilometer aliran sungai yang mulai di arungi dari Rongkong dan berakhir di Desa Pohyaang Kecamatan Seko."

Jika diukur dari titik pertemuan Salu Toraja, yang secara administratif memang masuk dalam wilayah Kecamatan Rongkong menurut peta RBI maupun Google Maps, sepanjang sekitar 53 km ke arah hilir, maka kemungkinan titik akhir pengarungan tersebut adalah di [-2.353186,119.723783-2.358431,119.714597 (*dikoreksi). Titik tersebut, jika dilihat pada peta RBI, berada tak jauh dari Pohyaang. Ini cukup sesuai dengan pernyataan kutipan di atas.

Selain itu, bila mengamati momen ketika Wanadri mengakhiri pengarungan dan sebuah foto yang kelihatannya diambil di tempat yang sama, dalam vidio di YouTube (pada menit 11:17 - 11:38) itu, bentukan sungai yang berbelok ke kiri serta penampakan batuan di tepian sungai terlihat cukup mirip dengan gambar citra satelit Google Maps pada titik tersebut. Ditambah lagi, terdapat penampakan jalan setapak dari tepi kanan sungai menuju desa terdekat. Hal-hal tersebut menjadikan saya cukup yakin bahwa memang di situlah titik akhir pengarungan Wanadri.

Jika apa-apa yang saya perkirakan di atas itu ternyata memang benar adanya, maka pengarungan Wanadri tersebut tentunya melewati Desa Kariango serta bagian sepanjang 5 km yang pernah diarungi Palapsi pada 1993. Dari hasil pengukuran Google Maps, kemungkinan titik mula pengarungan S. Uro Palapsi adalah di -2.4202910, 119.7694285, sekitar 5 km ke arah hulu dari Kariango dan 4 km ke arah hilir dari jembatan gantung tempat perkiraan titik permulaan kembali pengarungan Wanadri sehabis melambungi Buntu Maipi.

Adapun bila diukur sejauh sekitar 76 km dari pertemuan Salu Toraja, maka titik akhir pengarungan akan berada di -2.3586857, 119.6189160, tak jauh dari Desa Karama. Dalam artikel Palapsi disebutkan bahwa setelah mengarungi 5 km Salu Uro, tim mereka melakukan perjalanan darat menuju Karama (Tambingtambing) dan memulai kembali pengarungan dari desa tersebut sampai ke Desa Kalumpang, ibukota Kecamatan Kalumpang.

Ini membuat saya mengira-ngira bahwa mungkin, pada awalnya, Wanadri berencana melakukan pengarungan sepanjang 76 km dengan titik akhir di Karama. Namun kemudian, setelah mempelajari sungai yang hendak mereka arungi secara lebih detil, diketahui bahwa di daerah lembah antara tiga gunung, yakni Tanete Tanduk, Tanete Mangi, dan Tanete Baba Kecil, menjelang pertemuan Salu Uro dengan Salu Seppang dan menjadi Salu Karama, aliran sungai menjadi terlalu curam dan dinilai 'unrunnable' (tidak dapat diarungi). Karena itulah mereka kemudian memutuskan untuk melakukan pengarungan sampai di Desa Pohyaang saja.

Bagaimanapun, semua ini memang cuma perkiraan-perkiraan saja, meski rasanya cukup sesuai dengan berbagai informasi yang saya dapatkan. Kalau perkiraan ini ternyata memang benar, apakah klaim 'first descent' Wanadri di Salu Uro kemudian menjadi tidak sah? Saya rasa tidak juga. Namun idealnya tetap perlu diperjelas bahwa 'first descent' yang dimaksud adalah pada bagian yang mana, dari titik mana sampai titik mana. Dengan begitu, setidaknya, bagian-bagian sungai yang di-'skip' akan tetap lebih jelas berstatus belum pernah diarungi, dan ketika kelak (siapa tahu) ada yang berhasil mengarunginya, mereka dapat dengan lebih pede membanggakannya sebagai 'first descent'.

Sekali lagi, seandainya apa-apa yang saya perkirakan ini memang benar, maka bagian-bagian yang belum pernah diarungi dari Salu Uro dan Salu Karama adalah 9 km mengitari sisi barat Buntu Maipi, dan sekitar 23 km dari Desa Pohyaang sampai Desa Karama. Kedua bagian itu memang kelihatan sangat terjal dan sangat mungkin menyimpan air terjun serta jeram-jeram 'unrunnable'.

Tapi, selain itu, masih ada sebuah anak sungai lain yang mengalir dari Seko (Desa Padang Balua dan Desa Padang Raya) yang sejauh ini belum terdengar pernah diarungi. Sungai yang di peta RBI bernama Salu Betue (yang kemudian akan menjadi Salu Seppang sebelum bertemu Salu Uro dan menjadi Salu Karama) ini, pada penampakan citra satelit Google Maps terlihat menyimpan cukup banyak jeram yang sepertinya layak dan memungkinkan untuk diarungi.


Juni, 2023