Pages - Menu

Membaca 'Mubeng Beteng' —Memungut Yang Jatuh Dari Pelepah Sejarah



'Mubeng Beteng' adalah buku kumpulan puisi karya Bambang Widiatmoko yang ditulis pada kurun tahun 2018 hingga 2020. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2020 oleh Interlude, Yogyakarta.

"Siapakah Bambang Widiatmoko?" Belum pernah kudengar namanya di antara nama penyair-penyair terkenal lain yang kutahu. Memang tak banyak penyair atau pengarang yang kutahu, dan tentu tak semua penyair atau pengarang adalah penyair atau pengarang terkenal.

Meski sering mengaku dan berpura-pura menyukai puisi dan punya hobi membaca buku, sebenarnya aku memang tak begitu berwawasan luas mengenai dunia sastra dan literatur. Namun, hal itu kadang-kadang terasa seperti berkah tersendiri, sebab dengan demikian, jadi cukup mudah aku menjumpai sesuatu yang seolah-olah baru, dan itu kadang-kadang membuat hidupku jadi terasa agak kurang membosankan. 

Aku membeli buku ini karena teringat bahwa aku pernah ikut prosesi Mubeng Beteng, memenuhi ajakan sekaligus permintaan tolong seorang kawan. Tentu, itu salah satu—namun bukan satu-satunya— alasan aku menyanggupi permintaannya. 

Alasan lain adalah karena setelah bertahunan menumpang tinggal di Jogja, tiba-tiba aku menyadari bahwa ternyata masih ada begitu banyak hal tentang kota itu yang masih bisa terasa baru bagiku, seolah-olah baru pertama kali itu aku mengenalnya. Dan itu, sekali lagi, membuat hidupku jadi terasa agak kurang membosankan. 

Petikan baris sajak di sampul belakang buku ini, kurasakan, sangat kental mewakili fragmen-fragmen penghayatanku sendiri atas pengalaman berjalan kaki sambil membisu mengitari benteng keraton Yoga pada malam tahun baru Saka itu. 

Aku terus berjalan

dengan langkah perlahan

Setiap tarikan nafas

adalah ibadah dalam sunyi

Kupikir, itulah alasan paling kuat yang mendorongku membeli buku ini, meski sama sekali belum pernah aku mendengar nama penulisnya. 

Rasa-rasanya, membeli buku acap kali bagaikan sebuah pertaruhan. Tak jarang, buku yang dibeli ternyata tak sesuai harapan. Tetapi, apakah yang dapat diharapkan dari sebuah buku, terlebih sebuah buku puisi? 

Bagiku, puisi-puisi setidaknya harus mampu menggugah pembaca dari ketertidurannya akibat ninabobo keseharian yang menjemukan namun tak terelakkan. Puisi-puisi yang bagus perlu memiliki semacam "khasiat" untuk membuka mata pembaca sehingga dapat disaksikannya hal-hal yang biasanya terlewatkan begitu saja dari pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari yang memang tak harus luar biasa ini. 

Batu yang tergeletak teronggok di pinggir jalan, waktu yang dikejar-kejar dan mengejar-ngejar silih berganti, langit yang biru maupun yang kelabu, semut yang berbaris merambati celah sudut kamar, air yang mengaliri selokan atau tergenang di tengah jalan, debu yang tiba-tiba sudah tebal menempel di kaca, dan lain sebagainya, adalah hal-hal yang begitu biasa adanya dalam kehidupan sehari-hari namun belum tentu kita saksikan keberadaannya. 

Puisi yang bagus, setidaknya harus dapat membuat kita menyadari keberadaan berbagai hal yang memang ada namun dengan suatu cara yang seolah-olah baru, lebih mendalam, dan lebih utuh keterhubungannya dalam suatu kerangka makna yang lebih universal.

Petikan puisi yang tertera di sampul belakang buku itu, kukira, telah membuatku cukup tergugah menyaksikan betapa peristiwa yang pernah kualami sendiri itu rupanya dapat secara sadar terhayati lebih dalam lagi. Tentu, puisi-puisi lain dalam buku ini kuharapkan akan menyajikan hal yang serupa dengan itu. Maka kubelilah buku ini.

Itu sudah lebih dari setahun yang lalu, sebelum aku pulang kampung, pergi meninggalkan Jawa. Selama itu, aku ternyata belum membacanya sampai tuntas. Kini, kucoba menyelesaikan pembacaan buku ini, supaya tak terasa sia-sia belaka aku membelinya. 

*** 

Membaca lembar demi lembar buku ini, dari puisi satu ke puisi yang lain secara berurutan, bagaikan dipandu ke dalam suatu perjalanan ke berbagai tempat di berbagai daerah, baik di dalam maupun luar negeri, lantas disuguhi satu dua buah bahan untuk diperhatikan dan direnung-renungkan. 

Angin berhembus memancarkan aura gaib

Gemerisik pelepah dan kelapa tua jatuh

Seolah sebuah kisah tua

Dan aku mencoba memungutinya

Demikianlah puisi-puisi itu terasa bagaikan kisah-kisah tua yang terjatuh dari pelepah pohon sejarah, dipunguti Si Pengarang di berbagai tempat yang pernah dikunjunginya, lalu diceritakan kembali kepada pembaca. 

Corak kesejarahan benar-benar kental terasa sejak puisi-puisi paling awal. Betapa setiap tempat menyimpan manuskrip risalah atau hikayatnya masing-masing, dan di dalamnya tersimpan bahan-bahan renungan untuk mempersambungkan masa kini dengan akar masa lalunya yang terkubur waktu. Seakan memandang ke masa lalu dapat membantu kita menemukan secercah kejernihan untuk menatap menembus kabut masa depan. Atau setidaknya, menemukan sejumput harapan untuk digenggam. 

Masa lalu juga berkaitan dengan tradisi. Dan di dalam tradisi terkandung bermacam-macam laku ritualistik yang, setelah sekian lama terus menerus dijalankan, menjadi rawan kehilangan maknanya. Banyak pula, dalam buku ini, puisi-puisi yang mengetengahkan ritual-ritual tradisional sebagai bahan untuk mempertanyakan kembali posisi, peran, bahkan nilai menjadi manusia dalam kehidupan ini. 

Puisi-puisi ini seperti potret-potret sederhana namun sarat makna, dalam wujud kata-kata, tentang tempat-tempat biasa yang menyimpan kisah masing-masing dalam kelindan antara yang telah lalu dan yang akan datang. Tentang laku ritualistik yang selalu perlu dimaknai kembali. Dan pada akhirnya, tentang menyelam ke dalam diri sendiri. 

*** 

Dalam perjalananku membaca-baca puisi, kuperhatikan ternyata cukup banyak yang seperti menyangka bahwa puisi ditentukan oleh kata-kata. Ada kata-kata yang dianggap bagaikan memang sudah puitis dari sononya, seakan kata-kata itu sendiri adalah puisi, dan kalau merangkai kalimat dengan kata-kata itu di dalamnya, maka itulah sebuah kalimat yang memang layak belaka disebut puitis. 

Tidak sedikit yang teramati olehku memiliki kecenderungan meletakkan pengertian puisi pada kata-kata tertentu yang dianggap puitis begitu, sedemikian rupa sehingga kalau mereka mengarang puisi, akan senantiasa diupayakan supaya kalimat-kalimat yang dibuat mengandung kata-kata puitis tersebut dalam kadar yang setinggi mungkin seolah-olah derajat kepuisian sebuah puisi memang ditentukan oleh tingginya kadar kandungan kata-kata puitis itu di dalamnya. Kecenderungan demikian, kuperhatikan, selalu melahirkan puisi-puisi yang terkesan dipaksakan, yang pada akhirnya malah kerap gagal menghadirkan pengalaman puitik dalam penghayatan pembaca. 

Selain itu, ada pula yang menyangka bahwa bentuk atau pola susunan kata-kata, misalnya terkait rima atau juga pemenggalan kalimat, sebagai elemen teramat penting yang harus dikandung sebuah puisi untuk dapat disebut benar-benar puisi. Bahwa hal tersebut sering kali memang menjadi corak pengemasan puisi, sebab di antaranya memang terasa sangat efektif untuk menuntun ritme pembacaan agar kata demi kata yang tersaji dapat dilahap dan dikunyah secara optimal oleh pembaca, namun kemasan toh tetap tidak dapat menggantikan isi yang dikemasnya. 

Betapa sering kutemukan puisi-puisi yang sudahlah mengandung dosis kata-kata puitis yang tinggi, bentuk kemasannya pun canggih pula, namun ternyata semua itu hanya sekadar "gimmick", seperti botol-botol minuman yang kelihatan indah dari luar namun setelah diteguk ternyata isinya bukan anggur melainkan air tawar atau bahkan kekosongan belaka, tak ada isinya. 

Puisi-puisi Bambang Widiatmoko dalam 'Mubeng Beteng' ini sama sekali bukan jenis puisi yang demikian. Justru sebaliknya, kebanyakan puisi-puisi yang ada dalam buku ini bagaikan sama sekali tak diupayakan untuk menjadi puisi, namun dengan sendirinya menjelmakan puisi. 

Ibarat air di antara pematang sawah, kata-kata yang terbaca mengalir dengan lancar dan tenang tanpa menciptakan banyak percikan dan buih-buih, dan seolah tanpa sengaja, menjelmakan sebuah pengalaman puitik, hampir-hampir secara alamiah tanpa campur tangan siapa-siapa. 

Si Pengarang seperti membiarkan pengalaman-pengalamannya mengalir begitu saja, keluar dari relung-relung ingatannya, tentang berbagai daerah dan tempat-tempat yang pernah dikunjungi atau sekadar dilaluinya dalam perjalanan, dalam upaya menceritakan kembali rekaman pengalaman itu, tidak kepada siapa-siapa melainkan kepada dirinya sendiri. Dengan struktur dan kata-kata yang sederhana namun mengandung semacam kejujuran dan kejernihan. Aku percaya bahwa kejujuran itulah yang membuat cerita yang menyerupai catatan-catatan perjalanan singkat ini pada akhirnya mampu menghunjamkan akarnya cukup dalam hingga menjangkau dimensi pengalaman puisi. 

Ada nuansa kelirisan dalam puisi-puisi dalam buku ini, meski tak sepekat lirisnya sajak-sajak Sapardi. Lebih menyerupai kelirisan yang lugu. Yang sederhana dan lekat dengan keseharian orang-orang biasa. 

Membaca puisi-puisi ini secara keseluruhan seperti membaca catatan refleksi perjalanan menyinggahi berbagai tempat. Kebanyakan refleksi itu dilakukan terhadap sisa-sisa jejak riwayat masa lalu, acap kali bagaikan seorang sejarawan peneliti dalam pengembaraan melacak asal-usul masa kini pada bekas-bekas peninggalan masa silam, mencari ketersambungan jawab atas pertanyaan-pertanyaan yang kerap menghadang di masa kini, tentang apa dan siapakah kita ini sesungguhnya. 

Di sini telah kutemukan seleret cahaya

Dari mata dan jati diri yang terbuka 


—Mei, 2023