Pages - Menu

Serayu Kecil

Mumpung sedang libur, mumpung ada teman, dan mumpung ada kendaraan yang bisa dipinjam, tempo hari tanggal 22 April 2021, saya berusaha mengobati rasa penasaran saya untuk mengarungi salah satu di antara sungai-sungai yang sudah sejak beberapa bulan terakhir ini nangkring di dalam daftar "Sungai-Sungai untuk Dijelajahi" dalam benak saya. Sungai-sungai dalam daftar tersebut adalah sungai-sungai atau sections sungai yang belum pernah saya arungi dan belum begitu terkenal di dunia arung jeram, dan berdasarkan hasil scouting yang saya lakukan, baik via Google Earth maupun secara langsung mendatangi titik-titik aksesibel sungai tersebut, cukup memungkinkan untuk diarungi menggunakan kayak.

Mobil pick up pinjaman (foto: dok. pribadi)

Di perjalanan, melewati Kaliwiro (foto: dok. pribadi)


Satu di antaran sungai-sungai itu adalah “Serayu Hulu” atau “Serayu Kecil”, demikain saya menyebutnya untuk membedakannya dengan section "Serayu Besar", mulai dari pertemuan dengan Begaluh ke bawah yang sudah lebih dulu terkenal di jagat perarungjeraman. Serayu Hulu yang saya maksud ini adalah anak sungai yang mengalir dari dataran tinggi Dieng, melewati lembahan antara Gunung Sindoro dan Gunung Bisma, ke selatan menyusuri lembahan sisi barat Kota Wonosobo, sampai ke titik pertemuannya dengan Sungai Begaluh di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto.

Kondisi cuaca sebenarnya tidak terlalu menjanjikan, sebab seminggu terakhir, sejak berlalunya siklon tropis Seroja yang sempat membawa badai dan curah hujan tinggi, nyaris tidak setetes pun hujan membasahi tanah. Gunung-gunung yang berada jauh di utara sana: Merbabu, Andong, bahkan Sumbing yang biasanya di luar jarak pandang, bisa kelihatan dari Jogja, saking cerahnya cakrawala. Dari pagi hingga siang, nyaris tak setitik pun awan di langit biru. Kesempatan yang datang memang tak selamanya bersepakat dengan cuaca. Namun, sebagaimana saya ungkapkan tadi, mumpung ada waktu, teman, dan kendaraan, saya rasa tidak ada ruginya menempuh perjalanan agak jauh hingga ke Wonosobo. Kalau pun tak dapat menjajal “Serayu Kecil”, masih ada "Serayu Besar" yang selalu bisa diarungi.

Gunung Sindoro
Cuaca cerah, langit biru, dan Gunung Sindoro terlihat di kejauhan dalam perjalanan sehabis singgah menengok S. Medono di Kaliwiro, sebelum berlanjut ke Serayu. (foto: dokumentasi pribadi)


Berangkat dari Jogja pukul enam pagi (tertunda sejam karena ketiduran), menempuh jalur Borobudur - Salaman kemudian memotong lewat jalur Salaman - Sapuran dan memotong lagi lewat jalur Kertek - Selomerto, memutar sedikit lewat Kaliwiro untuk singgah di Desa Medono, menengok debit air Sungai Medono (yang jelas terlalu kecil untuk diarungi), lantas berlanjut menuju Serayu dan sampai di jembatan Serayu di Desa Sojokerto, jalan raya Selomerto - Madukara, tak jauh dari Pasar Leksono, sekitar pukul sepuluh.

Sambil lewat pelan-pelan, dari jendela mobil yang terbuka penuh saya lihat air yang mengalir di bawah jembatan itu cukup jernih, agak kehijauan, sebagaimana layaknya sungai-sungai di musim kering, namun sepertinya masih memungkinkan untuk diarungi. Bebatuan di tengah aliran sungai memang sudah nyaris menyembul di atas permukaan air, namun, sejauh yang dapat saya amati, masih tersisa cukup ruang dan kedalaman bagi kayak untuk meluncur tanpa halangan yang berarti.

Dam jebol dilihat dari jembatan titik start di Dusun Siwatu, Desa Bumiroso, Kec. Watumalang. (foto: dok. pribadi)

Dari jembatan yang sama, penampakan sisi downstream. (foto: dok. pribadi)

Tangga akses untuk turun ke sungai. (foto: dok. pribadi)

Jackson Rockstar & Pyrahna Ripper yang kami gunakan untuk pengarungan. (foto: dok. pribadi)


Bukan debit ideal untuk mengharapkan pengarungan yang "100% bebas hambatan", tentu saja. Namun, atas nama rasa ingin tahu, kami putuskan untuk menjajal section tersebut. Target kami adalah memulai pengarungan dari jembatan di Dusun Siwatu, Desa Bumiroso, Kecamatan Watumalang, dan mengakhirinya di jembatan Desa Sojokerto, Kecamatan Leksono, tepat sebelum pertemuan dengan sungai Begaluh. Berdasarkan pengukuran via Google Earth, panjang section tersebut sekitar 10 km, dengan gradien rata-rata 24 m/km.

Tiba di jembatan start, setelah scouting sekilas untuk mencari akses jalan setapak menuju sungai, kami pun langsung menurunkan kayak dan peralatan, lalu mencari lokasi yang dapat "dipinjam" untuk memarkir mobil sampai sore.

Di antara beberapa hal yang saya rasa membuat sebuah section sungai "bernilai plus" adalah seberapa "dekat" ia dengan akses darat dan sarana transportasi umum, dan Serayu Hulu ini memiliki hal tersebut.

Perkara transportasi ulang-alik, atau shuttle --istilah bekennya-- adalah salah satu yang cukup krusial untuk dipertimbangkan dalam setiap kegiatan pengarungan. Hal ini karena proses tersebut bisa memakan waktu cukup banyak. Idealnya, tentu saja, ada tim atau personel yang bertugas khusus menjadi driver, ngedrop di titik start kemudian menjemput di titik finish. Dengan demikian, maka kita jadi bisa punya waktu lebih banyak di sungai. Namun, karena kami cuma berdua saja, maka kami perlu memikirkan strategi tertentu untuk 'shuttle' tersebut. Beruntunglah, karena selain section ini paralel dengan jalan raya Wonosobo - Leksono maupun jalan Watumalang - Leksono, ada cukup banyak pilihan transportasi umum yang dapat kami gunakan.

Selain angkot jurusan Wonosobo - Leksono, ada pula ojek, baik yang berbasis aplikasi online (ojol) maupun yang berbasis pengkolan (non-aplikasi). Angkot mungkin lebih murah, namun akan memakan waktu lama karena budaya ngetem-nya. Selain itu, rutenya pun tidak lewat persis di jembatan titik start, meskipun mungkin saja masih bisa dilengkapi dengan berjalan kaki tak sampai 1 km, atau dikombinasikan dengan ojek. Pilihan yang lebih baik, saya kira, adalah ojek, karena dapat langsung point to point tanpa perlu memikirkan rute sehingga lebih hemat waktu, meskipun relatif lebih mahal. Yang perlu dicari tahu cuma di mana para kang ojek ini biasanya mangkal. Seperhatian saya, hampir di setiap simpang jalan yang ramai dan strategis di Wonosobo selalu ada pangkalan ojek. Tinggal seberapa cakap anda tawar-menawar harga. Relatif lebih mahal dibanding ojek non-aplikasi, ojol adalah pilihan yang sedikit lebih memanjakan. Tidak perlu capek-capek nyari pangkalan, bisa dijemput di mana saja dan langsung di-drop ke titik tujuan.

Perkara lain yang perlu dipikirkan adalah di mana sebaiknya menitip-parkirkan mobil. Di titik start, atau finish? Tentu saja ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan, mulai dari keamanan, ketersediaan tempat, dan lain-lain. Tetapi, yang menjadi pertimbangan utama saya dalam pengarungan ini adalah fleksibilitas, yakni kebebasan memilih titik akhir pegarungan. Meskipun target titik finish kami adalah jembatan Sojokerto, namun, karena kami tidak dapat terlalu yakin bahwa kami akan mencapai titik tersebut dalam batas waktu yang ditentukan (mengingat kami harus memulai perjalanan kembali ke Jogja paling lambat sebelum pukul empat karena lampu mobil yang sering tiba-tiba tidak berfungsi), maka mobil pun kami titip-parkirkan di halaman parkir sebuah kolam renang umum yang sedang tidak beroprasi, tak jauh dari jembatan start. Dengan demikian, sampai di mana pun nantinya kami mengarungi sungai itu, ketika waktu sudah habis, kami tinggal naik dan memanggil ojek.

Sekitar pukul sebelas, kami memulai pengarungan. Target panjang pengarungan adalah sekitar 10 km. Bila semuanya berjalan lancar, tanpa hambatan yang berarti, kami perkirakan pengarungan akan selesai sekitar pukul dua. Sepanjang pengalaman saya, pengarungan tanpa hambatan ketika debit air normal atau sedikit di atas normal, dengan kelompok kecil, di sungai-sungai yang sudah familiar, biasanya berlangsung dengan kecepatan rata-rata sekitar 5 km per jam. Ini tentu saja tidak berlaku saklek secara universal, namun biasanya menjadi patokan kecepatan maksimum bagi saya. Dengan mempertimbangkan kemungkinan melakukan scouting jeram dan portaging, serta kondisi debit air yang kecil, maka saya perkirakan 3 km per jam adalah kecepatan rata-rata yang masih masuk akal bagi kami.

Dari informasi yang saya peroleh via Google Earth, section ini memiliki gradien yang hampir sama dengan Bogowonto Atas, sekitar 24 m/km, dengan profil yang cenderung continuous atau berkelanjutan. Dengan asumsi bahwa data Google Earth cukup reliabel, maka itu berarti bahwa jeram-jeram yang ada akan didominasi oleh jeram-jeram panjang dengan gradien relatif landai namun continuous, dan tidak akan terlalu banyak drop curam yang hampir selalu menuntut scouting. Prakiraan ini pun cukup mendapat dukungan dari hasil pengamatan melalui foto satelit Google Earth.

Sepanjang 3 km awal pengarungan, jeram-jeram yang kami temui kebanyakan masih berupa jeram-jeram pendek dengan jeda flat pendek yang sering kali ditutup dengan belokan tajam di mana arus utama tegak lurus menabrak tebing yang mengingatkan saya pada Jeram S3 di Serayu Besar. Bagi saya, 3 km awal tersebut seperti versi mini dari Serayu Besar section Tunggoro - Randegan. Dan, sebagaimana di S3, setidaknya ada 3 jeram di 3 km awal ini yang ditutup dengan cerukan tebing yang kemungkinan menyimpan undercut. Salah satunya berada di titik ini: -7.357199011690072, 109.89454148355709. Mayoritas jeram di 3 km awal adalah jeram kelas III, dan setidaknya ada 1 jeram yang saya rasa layak di-rate kelas IV- (di sini: -7.3629617453505505, 109.89167403596599).

Di km 3,5, terdapat dam berupa ledge drop vertikal setinggi sekitar 1 m yang bisa dilalui, atau di-skip dengan portaging lewat tepi kiri sungai. Selewat dam tersebut, terdapat jembatan, dan jeram-jeram panjang akan mulai mendominasi. Dam berikutnya berada di km 5,1 (di sini: -7.390568862509223, 109.88546521523348), dengan tinggi sekitar 4 m, dan profil drop yang membentuk sudut sekitar 60 derajat. Dam ini cukup menarik untuk diterjuni, namun scouting tetap perlu dilakulan untuk memeriksa titik pendaratan, menemukan penanda jalur, dan merancang strategi penyelamatan.

Menjelang akhir section, terdapat satu lagi jeram yang saya kira layak di-rate kelas IV, berupa drop yang approach-nya cukup teknikal (di sini: -7.418254028557706, 109.86822405436551).

Jeram besar terakhir menjelang titik finish. (foto: dok. pribadi)



Kami sampai di jembatan Sojokerto sekitar pukul 2, tetapi lalu bersepakat untuk melanjutkan pengarungan sampai Tunggoro sebagai penutup, dan menyelesaikan pengarungan menjelang pukul 3. Setelah naik ke darat, saya langsung memesan ojek via aplikasi Grab untuk mengambil mobil yang tadi kami titipkan di start, dan pukul 4 lebih, kami sudah di jalan meluncur kembali ke Jogja.

*

NB:

Di tengah pengarungan, salah seorang tukang pancing yang kami lewati di dam pertama sempat memperingatkan bahwa sekitar pukul 1 pintu air di hulu akan dibuka (entah pintu air mana yang dimaksudnya) dan biasanya air akan sampai di situ sekitar pukul 3 sore. Dan benar saja, ketika saya melewati jembatan Siwatu dan jembatan dekat Pacarmulyo waktu perjalanan mengambil mobil, sekitar pukul 3 lebih, air sungai sudah berwarna kecokelatan dan debitnya bertambah cukup signifikan. Sayang sekali saya tak sempat bertanya lebih banyak terkait jadwal buka pintu air tersebut. Namun setidaknya itu berarti bahwa Serayu Hulu (baik dari Siwatu ke Sojokerto, maupun section yang lebih atas lagi) mungkin bisa diarungi dengan memanfaatkan air buangan itu. Tinggal mencari tahu jadwal release-nya, mempelajari pola kenaikan debitnya ketika release, dan lama debit tingginya akan bertahan.








Jogja, 27 April 2021