Pages - Menu

Pada Suatu Pagi

“Dapatkah kita dipersalahkan atas apa yang tidak kita perbuat?”

*

Muncullah pertanyaan itu dalam benaknya sepanjang jalan yang ditempuhnya dengan sepeda motor yang belum lama ini berhasil dia lunasi cicilan kreditnya setelah sekian tahun bekerja sebagai karyawan tidak tetap di sebuah perusahaan retail.

Kota yang masih lengang dan sedikit basah terlihat semakin menjauh hingga tinggal siluet samar di belakangnya. Sekali-sekali dia ingin menjauh juga dari kota itu. Sekali-sekali dia ingin menikmati bagaimana rasanya hidup melewati sebuah hari yang tak perlu melulu riuh dan gaduh dalam selaksa urusan yang menuntut untuk segera dikerjakan, sembari menyaksikan betapa ada sisi lain dari kehidupan ini yang tak seperti hari-hari yang biasa dialaminya. Demikianlah sehingga tempo hari, setelah melihat sebuah foto unggahan seorang kenalan jauh di media sosial, dia pun merencanakan apa yang kini terbayang-bayang sangat dekat di depan matanya. Seperti sudah dapat dijangkau dengan mudah, semudah mengulurkan tangan saja.

Namun pertanyaan itu tiba-tiba mengusiknya.

Sisa-sisa hujan semalam masih tercium di udara yang dingin dan berkabut. Langit remang kelabu mewarnai suatu permulaan hari di suatu akhir pekan yang selalu begitu singkat terasa. Terlalu singkat untuk dihabiskan dalam upaya sia-sia sekadar memikirkan jawaban atas sebuah pertanyaan yang sungguh tak harus dipikirkan demi ketenangan hidup. Toh dia bukanlah seorang filsuf yang setiap kali memang merasa harus bertapa di angan-angan. Dia hanya orang biasa yang selalu harus berkutat dengan kenyataan hidup sehari-hari sekadar untuk dapat bertahan di dalamnya. Tiada guna memelihara angan-angan, menanam benih impian, menyemai bibit cita-cita yang hanya akan menghabiskan sisa-sisa harapan demi suatu kesia-siaan yang toh, pada akhirnya, tidak bisa dimakan. Termasuk memikirkan perkara-perkara moral yang hanya mungkin dapat berlaku di dunia khayal.

Bagaimana mungkin dia layak dipersalahkan atas sebuah kemalangan yang menimpa orang lain? Apalagi atas seorang yang tidak dikenalnya sama sekali. Hanya karena secara kebetulan dia sedang melintasi persimpangan jalan yang sama ketika kemalangan itu jatuh menimpa seorang tukang sayur keliling yang mungkin bisa jadi akibat keteledorannya sendiri lah sehingga sepeda motornya tiba-tiba lepas kendali lantas terperosok ke dalam parit selokan mengakibatkan sepeda motor itu tergelimpang di bibir parit dan menghimpit salah satu kaki si tukang sayur yang terkapar. Hanya karena secara kebetulan tak ada orang lain yang menyaksikan peristiwa pada pagi hari itu selain dirinya yang kebetulan berpapasan dari arah yang berlawanan. Hanya karena dia sempat melihat, lewat pantulan kaca spion yang agak buram lantaran embun yang belum sempat diseka, bagaimana si tukang sayur itu benar-benar tak berdaya lagi dalam keterhimpitan kakinya di bawah beban segala macam sayuran segar yang diemban sepeda motornya. Dan hanya karena dia seperti sempat mendengar jerit tercekat permintaan tolong dari si tukang sayur itu namun memilih tak menggubrisnya sambil berlindung di balik kepura-puraan bahwa sebenarnya dia tak mendengar jeritan itu sebab dirinya sedang terburu-buru waktu menuju suatu tempat terindah dengan panorama paginya yang senantiasa berkabut bagai di negeri dongeng yang kan kian terasa ajaib pada waktu matahari tepat sedang terbit dari balik bukit di ujung lembah. Tempat yang sudah sepanjang pekan itu didamba-dambakan untuk dikunjunginya.

Seharusnya dia tak perlu memikirkan pertanyaan itu. Setiap orang hanya perlu memikirkan dirinya masing-masing. Demikian yang dipelajarinya dari sekian tahun hidup di kota tempat tinggalnya sekarang. Sudah jelaslah, seharusnya, jawaban untuk membungkam pertanyaan itu baginya. Pertanyaan yang seharusnya tak perlu berlama-lama singgah di benaknya.

Seharusnya dia tak perlu memikirkan pertanyaan itu hingga sepanjang jalan, dalam remang-remang langit menjelang pagi, lantas membuyarkan konsentrasi mengemudinya hingga akhirnya dia terlambat mengantisipasi keberadaan sebuah lubang yang tergenangi air sisa hujan semalam yang sekonyong-konyong saja melahap roda depan sepeda motornya hingga tubuhnya pun terkapar sehabis terlebih dahulu terpental hingga sejauh sepuluh meter sambil salto sebelum mendarat di aspal yang keras.

Sambil sekarat dia masih sempat pula bertanya-tanya. Layakkah dia mempersalahkan Bina Marga yang terlambat membenahi aspal berlubang itu? Dan ketika sebuah mobil sedan berlalu begitu saja tanpa perduli, layakkah dia mempersalahkan pengemudi mobil itu?

Panorama lembah yang dari atas bukit terlihat bagai negeri dongeng itu seperti sudah begitu dekat hingga seakan dapat dijangkaunya dengan mudah, semudah mengulurkan tangan saja. Namun rupanya dia sudah tak dapat lagi mengulurkan tangan.

*

“Dapatkah kita dipersalahkan atas apa yang tidak kita perbuat?”

Demikian pertanyaan itu sempat terlintas di pikiran saya. Sambil terus mengemudikan mobil melewati pengendara motor yang terkapar di aspal itu, saya pun mengarang cerita ini.


Taman Tirta, 12 Juni 2021