Pages - Menu

To Tow Or Not To Tow

Desember 2018, waktu ikut festival di Asahan, sempat terjadi sebuah insiden ketika lomba sprint di mana salah satu partisipan lomba terpaksa harus melakukan wet exit, keluar dari kayak yang terbalik untuk dapat berenang menyelamatkan diri, dan kayaknya pun hanyut. Waktu itu, saya dan beberapa kayaker lain kebetulan sedang berada di sekitaran garis finish di akhir jeram untuk berjaga-jaga sembari istirahat paska menyelesaikan giliran 'run' kami. Mendengar bunyi peluit sinyal distress dan mengetahui ada swimmer dan kayak yang hanyut, kami pun berusaha melakukan penyelamatan.

Kayaker yang exit itu berhasil menepi, dayungnya pun kalau tidak salah berhasil diselamatkan, namun kayaknya yang kian terisi banyak air terbawa arus menuju jeram selanjutnya. Saya yang mengejar kayak itu sebenarnya sudah berusaha menepikannya dengan cara mendorongnya ke arah eddy dengan moncong kayak saya, sebuah teknik yang biasa disebut 'plowing' atau 'bulldozing', sebelum memasuki jeram selanjutnya, namun tak cukup berhasil karena kayak itu sudah makin penuh terisi air dan terbenam ke bawah permukaan sehingga sangat sulit untuk "menancapkan" moncong kayak saya ke lubang kokpit agar lebih efektif mendorongnya.

Saya pun sempat berpikir untuk menggunakan towline, sutas tali sepanjang kurang lebih dua meter yang salah satu ujungnya terhubung ke pelampung saya sedang ujung lainnya memiliki carabiner yang dapat dikaitkan ke kayak yang hanyut untuk diderek ('tow') menepi, namun salah seorang kayaker lain bernama Charlie "si anak ajaib" memperingatkan saya agar tidak melakukan itu.

"Don't ever tow a kayak full of water [on river like this], it's dangerous! [Unless there is a long flat water below] it's not going to help." Begitu kira-kira katanya kemudian (seingat saya), setelah ia berhasil menepikan kayak tersebut sehabis mengejarnya seorang diri melewati 3 atau 4 jeram, kalau tak salah. Kayak itu sendiri tak lagi dapat digunakan karena sudah penyok-penyok bagaikan botol air mineral kosong yang diremas-remas.

Terus terang, waktu itu saya jadi mikir, lha, berarti towline nih gak guna-guna banget juga ternyata.

Tapi, saya pikir-pikir dan ingat-ingat lagi, memang menderek ('towing') kayak hanyut yang terisi air, apa lagi kalau penuh, memang sangat berat sekali. Lalu, kalau diterawang lewat kacamata prinsip-prinsip dasar penyelamatan (a.k.a. rescue) arus deras yang cuplikannya bisa dibaca-baca sekilas di sini (https://whitewater.nz/author/sj/), sebenarnya sangat masuk akal juga peringatan dari "si anak ajaib" dari negeri yang melejitkankan popularitas guillotine itu.

Saya memikirkan kembali perkara itu belakangan ini setelah beberapa waktu yang lalu, ketika ngarung Sengkarang Atas, sebuah insiden yang serupa, meski tak sama, juga terjadi.

Salah seorang dari kelompok kami wet exit, kayaknya hanyut dan terisi air, kemudian salah seorang lainnya berusaha segera menyelamatkan kayak hanyut tersebut dengan towline-nya, mungkin tanpa mempertimbangkan secara matang seberapa besar kemungkinan ia akan berhasil menepikan kayak hanyut itu sebelum memasuki jeram selanjutnya. Usaha sigapnya itu pun, sayang sekali, malah menjadi gelindingan bola salju bagi situasi genting yang sedang berlangsung.

Ia terseret kayak hanyut itu memasuki jeram selanjutnya, terbalik dihempas ombak, kesulitan melakukan Eskimo roll, lantas wet exit juga. Sementara kayaker yang wet exit pertama tadi sudah berhasil berenang menepi, kini kami justru menghadapi masalah yang lebih genting. Dua kayak hanyut, dan satu swimmer yang masih tertambat pada salah satu kayak itu terseret menuju jeram-jeram kelas 3+/4 berkelanjutan yang menanti di bawah sana. 

Pada situasi demikian, swimmer yang masih tertambat itu adalah prioritas pertama. Eh, maaf, kedua, karena yang pertama adalah saya sendiri. Tapi, sepanjang saya bisa mempertahankan keselamatan saya, maka swimmer itu adalah prioritas utama yang harus diselamatkan. Ia harus lepas dari towline yang menambatkannya pada kayak agar (1) dapat berenang menepi dan (2) tidak sampai nyangkut di batu atau apa pun yang ada di jeram depan sana.

Saya berteriak padanya, mengingatkan supaya dia segera menarik toggle 'quick release', sebuah bulatan merah/kuning yang jadi 'escape system' pada rescue harness yang terintegrasi pada setiap jaket pelampung whitewater tipe V, di harness pelampungnya yang terhubung ke towline-nya, namun entah kenapa ia tidak lepas-lepas juga. Saya pun mulai berpikir untuk mendayagunakan pisau rescue yang kebetulan ada di pelampung yang saya pakai.

"Baik, mungkin inilah saat saya akhirnya benar-benar menggunakan pisau dalam sebuah aksi penyelamatan." Kira-kira begitu saya berkata dalam hati, sambil tetap mengharapkan secercah keajaiban. (Sejauh itu, seingat saya, pisau rescue hanya pernah saya pakai untuk mengupas buah, memotong-motong tempe dan bawang, membuka botol dan kaleng sarden, membuka bungkus kudapan, memutar sekrup, memotong ranting dan menyerutnya menjadi pasak, dlsb., dalam berbagai rangka kecuali aksi penyelamatan sungguhan).

Karena masih di jeram, saya pun mendayung mendahuluinya, berhenti di eddy menjelang akhir jeram, lalu mencari-cari jeda jeram yang kira-kira cukup memungkinkan bagi saya untuk melakukan kontak dan memotong towline-nya. Beruntung bagi saya (dan terlebih dirinya), dia akhirnya berhasil melepaskan diri sendiri setelah mencoba bertahan (mungkin) pada batu di dasar sungai yang kebetulan dangkal sehingga tegangan towline-nya menghasilkan gaya yang cukup untuk mengurai lilitan webbing harnessnya.

Belakangan, saya ketahui bahwa webbing harnessnya ternyata sempat seret akibat friksi berlebihan pada lilitan buckle ("arguably" karena metode pelilitanya yang terlalu "bomber" dan kurang mempertimbangkan berat badan si pengguna) sehingga tak dapat langsung terlepas ketika toggle ditarik. Saya pikir kasus macam ini layak menjadi bahan diskusi dan materi latihan simulasi penyelamataan, meskipun Jim Coffey sudah pernah membahasnya di episode 6 serial "Rescue for River Runners"-nya [https://youtu.be/PA-1GrJp5VA]. 

Karena ia sudah berhasil menepi, maka tinggal 2 kayak hanyut itu yang perlu diselamatkan. Saya dan seorang teman lainnya kemudian mengejar kedua kayak itu, namun jeram-jeram yang rapat, berkelanjutan dan bergradien tinggi membuat kami tak dapat melakukan banyak hal kecuali berusaha mendorongnya memasuki eddy di setiap jeda jeram.

Pada akhirnya, yang berhasil diselamatkan cuma satu kayak, itu pun karena tertolong oleh eddy yang kebetulan berbaik hati mau menampungnya di salah satu belokan sungai. Belakangan, kayak yang satu lagi akhirnya ditemukan di titik finish, namun sudah dalam keadaan penyok parah, mirip kayak yang saya ceritakan di awal tadi.

Merenungkan peristiwa macam itu dengan agak lebih serius, saya pun teringat video YouTube dari Liv Boeree ("How LONG is the Earth?") yang saya tonton pertama kali enam bulan yang lalu. Konon, kalau kita bisa memotong-motong Planet Bumi ini menjadi kubus ukuran 1x1x1 meter kubik, maka kubus-kubus itu kalau dideretkan akan bisa dibentangkan dari ujung Galaksi Bima Sakti yang satu ke ujung lainnya yang berlawanan, yang kalau diandaikan seruas jalan lurus bebas hambatan dan kita adalah pengendara sepeda motor berkecepatan cahaya maka akan butuh waktu sekitar 100.000 tahun untuk dapat selesai menempuhnya.

Oke, sebelum terlalu lebay menghubung-hubungkan pengalaman main kayak dengan gambaran imajinatif saya mengenai antariksa, poin yang ingin saya terangkan sebenarnya sederhana, senada dengan poin video Liv Boeree itu, bahwa pemahaman intuitif kebanyakan kita tentang volume rupa-rupanya sarat bias. Dan itulah yang sepertinya telah membuat saya agak gagal paham terhadap kenyataan bahwa kayak hanyut yang penuh terisi air bisa menjadi seberat itu ketika diderek.

Kira-kira, seberat apakah kayak yang penuh terisi air? Kalau pakai intuisi awam, saya perkirakan mungkin seberat satu sak semen. Bayangkanlah menggenjot sepeda sembari menyeret satu sak semen. Tapi, setelah saya kalkulasi secara lebih saksama, dengan informasi dari situs web Pyranha Kayak bahwa volume kayak 9R adalah 295 liter, dan bahwa berat air per liter adalah 1 kg, maka berat kayak itu kalau terisi air penuh adalah 295 kg + 21 kg (berat kosong kayak itu sendiri) = 306 kg, enam kali lebih berat daripada perkiraan intuitif saya. Sekarang, bayangkanlah menggenjot sepeda sembari menyeret enam sak semen. Hmm... 

Tentu, analogi sak semen tersebut tidaklah terlalu dan apalagi secara akurat dapat mewakili kasus kayak penuh air yang terhanyut. Namun, sekadar sebagai perbandingan, saya kira itu cukup menyediakan gambaran yang lebih mudah dibayangkan. Kalau ingin mengetahui lebih riil dan mengalaminya sendiri, mungkin boleh dicoba, sembari latihan, menderek kayak yang penuh terisi air di kolam berair tenang. Seberapa efektifkah dayungan yang kita lakukan dalam upaya menderek kayak tersebut? Saya pun belum pernah mencobanya karena baru sempat terpikirkan sekarang, selagi menuliskan paragraf ini.


~ 5 Januari 2021