Pages - Menu

Cengir

 Pada upacara pemakamannya, saya tidak sanggup membendung cucuran air mata. Bukan lantaran bersedih hati atas kematiannya, melainkan karena tak kuasa menahan gelak tawa akibat teringat pada percakapan yang kami lakukan pada suatu hari di tepi sungai yang lagi banjir.

Wajahnya sudah agak pucat sedari pagi ketika saya terbangun dan menemukan dirinya sedang khusyuk menggoreng telur dadar untuk sarapan. Matanya terpaku menatap kobaran api yang menjilat-jilati bokong wajan portabel yang sudah hitam terbalut jelaga itu bak lidah seorang bocah kecil kepada eskrim kesukaannya.

"Balik lek! Gosong nanti." Saya memperingatkannya setelah hidung saya menangkap sebersit aroma tertentu dari telur yang digoreng itu.

"Yo, yo, sabar," Ia seperti tersadar dari lamunan, lalu gelagapan mencari sendok yang sungguh sedari tadi sebenarnya sudah berada di tangannya. "Golekke sendok wesi ne dong!"

"Matane, itu lo mbok cekeli dari tadi cuk!"

"O iyo..."

"Jiaaan! Mikir opo sih?"

"Ora kok."

"Wedi po?"

"Kowe ora wedi po?"

"Yo wedi sih. Ha piye, ra sido wae po?"

"Mosok ora sido, wes adoh-adoh rene? Sido lah. Cepakke kae alat e, wes arep rampung ki masak e. Segone wes dadi ket mau. Bar iki dewe madhang, packing, njuk medun. Wes jam 8, selak awan."

Saya pun mempersiapkan alat-alat yang dimaksud, dua set perahu kayak, jaket pelampung, helem, dayung, rok kedap air, tali lempar, beserta pernak-pernik alat keselamatan dan penyelamatan lainnya. Saya letakkan dengan agak rapi, berjajar di tepi sungai.

Hujan deras semalam telah menambah debit air secara cukup signifikan. Kami sudah memperkirakan hal itu sejak awal sebelum memulai penjelajahan itu, namun tidak pernah berharap akan sungguh-sungguh menghadapinya. Kami juga sudah mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari, berlatih menghadapi jeram-jeram paling besar yang mungkin akan dihadirkan oleh sungai itu, namun tetap saja, pada situasi nyata, akan selalu ada kemunginan bahwa persiapan kami tidaklah cukup.

Jantung saya berdegup keras sekali, meskipun tentu cuma saya sendiri yang bisa mendengar dan merasakannya. Seperti ada sayup-sayup genderang perang dari balatentara nasib yang berarak dalam deru riam sungai darah dalam pembuluh tubuhku yang mengalir tak kalah derasnya dengan sungai yang hendak kami jelajahi hari itu.

Terbersit keraguan dalam bentuk secercah pengharapan bahwa momen yang sedang saya hadapi itu sebenarnya cuma mimpi, dan semoga saya akan segera terbangun dan mendapati diri sedang terbaring di kasur dalam kamar kos yang pengap.

Mengapakah saya harus berada di sini?

Jenak, saya tertegun menatap buih-buih putih yang melompat-lompat dan mendesis lagi menderu seperti suara guruh di permukaan air berwarna cokelat pekat. Saya ingin menganggap itu sungai cappuccino, tapi bagaimana pun saya tetap tak bisa menukar kecemasan dan rasa takut saya pagi itu dengan ke-woles-an ngopi pagi di burjo seperti hari-hari biasanya.

Ia menghampiri saya untuk mengajak makan. Rupanya saya tak mendengar teriakan panggilannya sejak tadi. Saya pun beranjak mengiringinya menuju ceruk di antara bebatuan yang untuk semalam hingga pagi itu kami nobatkan sebagai rumah sementara untuk menikmati satu di antara sekian banyak sarapan hambar yang telah dan masih akan saya dapati selama beberapa hari itu. Nyaris tanpa nafsu makan. Namun saya tahu bahwa sarapan itu akan saya butuhkan nanti ketika di sungai, maka saya harus melahapnya tanpa kompromi.

"Aku mau wes kepikiran jawaban e." katanya setelah suapan pertama.

"Jawaban opo?"

"Sesok nek ditakoni 'uripmu mbok entekke nggo ngopo wae?' karo Gusti."

"Lha opo?"

"Nggo latian, ben sesok nek dilebokke suwargo ono sik iso ngarung nang kali-kali ne kono. Kan eman-eman Gusti wes gawe kali nang suwargo nek ora ono sik memaksimalkan potensi kenikmatan e."

Kata-kata itulah yang membuat saya terpingkal-pingkal hingga meneteskan air mata di hari pemakamannya. Membayangkan ekspresi para jajaran malaikat yang mungkin menyaksikan momen tanya-jawab pada hari perhitungan antara Tuhan dengan hambanya yang satu itu.

Sejuta pasang mata menatap saya. Kecuali matanya yang merem dalam cengir abadi, merayakan keberhasilannya meluluhkan ekspresi datar para malaikat, mungkin pula termasuk iblis, (entah dengan Tuhan), menjadi tawa yang membahana ke seluruh penjuru jagat raya.

Suatu ketika, di surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai. Setidak-tidaknya, dalam imajinasi liarnya itu.

~

Jakarta, 29 November 2020