Pages - Menu

Lupa

Ia terbangun, mendapati dirinya di suatu pantai di sebuah pulau antah-berantah yang mungkin hanya layak ada di alam mimpi. Ia begitu lemas, nyaris tak mampu berbuat apa-apa, bahkan sekadar menggerakkan jari-jarinya. Untunglah ia tak perlu mengarahkan tenaga untuk mendetakkan jantungnya dan untuk bernafas. Semua itu berlangsung begitu saja. Atau mungkin, sial?, pikirnya kelak, tak lama lagi. Ia belum benar-benar mampu mengingat berbagai hal yang seharusnya dapat diingatnya dalam keadaan biasa, seandainya ia tidak mengalami apa yang baru saja dialaminya. Siapa dirinya, nama, usia, tempat dan tanggal lahir, agama, alamat asal, NIK, hal semacam itu, dan lain sebagainya. Ia merasakan rongga dadanya seperti dipenuhi biji kedondong, lantas terbatuk-batuk dan memuntahkan cairan asin. Ia terkulai lemah telungkup, merasakan butiran pasir di pipi dan telapak tangannya, merasakan air laut mengelus-elus kakinya sesekali diiringi suara desis ombak pecah, menyaksikan kelebat siluet burung camar melintas di langit putih, mencium bau amis, dan mencecap rasa asin di bibirnya yang kebas. Butuh waktu cukup lama sebelum ia akhirnya bisa mencerna keadaan itu, dan serta-merta merasakan buncah kekecewaan menggelembung di dadanya. Bukankah seharusnya ia mati? Ia ingat saat-saat terakhir itu, begitu samar namun sekaligus sangat nyata. Saat-saat di mana, setelah berusaha sekuat tenaga mempertahankan nafas dan kesadarannya, ia akhirnya merasa tak berdaya lagi dan menyerah pada nasib yang mengejawantah  pada ombak tinggi yang menggulung dan menenggelamkannya semakin dalam. Saat-saat ketika ia menyadari betapa hidupnya, sungguh, ternyata bukanlah hidupnya. Ia merasa telah salah sangka selama ini. Dan, menyadari itu, perlahan ia pun membuka genggaman tangan dan melepaskan segala-gala yang selama ini dipikirnya adalah sesuatu yang dimilikinya. Ia tak punya apa-apa. Sama sekali tidak. Bahkan kesadaran itu, yang mendamparkannya pada kenyataan tak terbantahkan perihal ketidakberdayaannya, pun bukan miliknya. Ia adalah bayang-bayang ketiadaan. Ia sungguh-sunguh lebih tiada ketimbang ketiadaan itu sendiri. Dan, seketika, ia pun sirna. Seperti bayang-bayang ditelan kegelapan. Demikianlah sehingga mendapati dirinya di pantai itu adalah sebuah kenyataan yang sungguh-sunguh membuatnya kecewa, jengkel, bahkan seperti marah. Namun, ia sendiri akhirnya bingung, terhadap siapa atau apakah perasaan itu mesti dihadapkannya? Ia tahu bahwa perasaan itu sebenarnya hanyalah buih-buih di pucuk gelombang kesadaran yang kini mulai bergema dalam selongsong tubuh ringkihnya. Ia tahu, meskipun semua ini memang nyata dalam konteks dan konstelasi spektrum keberadaannya saat ini, pada hakikatnya semua ini hanyalah gema samar dari suatu keniscayaan tunggal yang, dengan sangat berat hati harus diakuinya, kelak akan dengan mudah ia lupakan. Dan, mungkin itulah yang membikin dirinya jengkel. Mengetahui bahwa, meskipun ia tahu semua ini hanyalah bayang-bayang fana, ia akan demikian terbiasa dengannya hingga pelan namun pasti akan meyakininya sebagai kenyataan sejati pada, dan dalam, dirinya sendiri. Sayang sekali. Ia seharusnya mati saja tadi, selagi menyadari semua itu. Meskipun ia juga tahu bahwa kematian, sebagaimana kehidupan, bukanlah sesuatu yang bisa didapatkannya sekehendak hatinya sendiri. Tetapi kelak, ia mungkin akan dijemput kematian secara tiba-tiba tanpa sempat menemukan kembali apa yang tadi ditemukannya. Dan ia pun menangis. Nyaris seperti dahulu, ketika ia terlahir ke dunia.


Pukul 09:25 alarm berbunyi. Pasir berubah menjadi kasur. Ia menyeret tubuhnya ke kamar mandi. Kencing, berak, menggosok gigi tanpa pasta, lalu mandi pakai sabun batangan (tidak lupa pula ia mengingatkan dirinya untuk keramas besok pagi).


Pukul 10:01 hari itu dunia kiamat ketika ia sedang menyeduh kopi dengan air dingin dari dispenser yang lupa dicolokkan ke colokan listrik demi menghemat pemakaian energi sehari-hari. Bekerja mengumpulkan uang untuk membayar tagihan listrik memang butuh energi, meskipun kamar itu sebenarnya sudah 5 bulan menunggak bayar iuran listrik.


Yogyakarta, 22 Januari 2021