Pages - Menu

Residu

Apabila kenyataan hidup itu hitam-putih belaka, peristiwa ini terjadi di ranah kelabu, di wilayah liminal antara realitas dan khayalan, antara mimpi dan kenyataan, yang kerap kali menguak di hadapanku ketika sedang dalam perjalanan menumpangi kendaraan umum seorang diri. Gampangnya, peristiwa ini mungkin, boleh dikata, sekadar residu dari sebuah lamunan belaka. Bisa juga dianggap sampah yang seharusnya dibuang saja. Namun, lantaran tak menemu tempat sampah yang layak dalam rentang perjalanan itu, kuputuskan untuk menyimpannya sementara waktu di saku celana, sebelum akhirnya terselip sekian lama di antara lembar ingatan yang terlupakan.

Entah berapa lama sudah waktu berlalu semenjak peristiwa itu, berapa jauh sudah perjalanan kutempuh, dan berapa banyak tempat sampah yang terlewati begitu saja.

Suatu pagi, di suatu warung kopi pinggir jalan ketika aku sedang menunggu kopi pesananku diantarkan sambil menyaksikan kendaraan berlalu laju merayakan jalan raya yang masih lengang, ingatan --atau sesuatu yang seolah-olah seperti ingatan--itu terlintas di benakku. Sekelabat bebayang dalam tipis kabut yang mengambang di jalan raya sepi.

"Mau ke mana kak?" tanyanya dari kursi di meja sebelah. Mungkin itu di teras depan sebuah toserba seberang stasiun kereta, pada suatu sore yang biasa, ketika musim daun-daun jati kering berguguran di hutan pedalaman Pulau Jawa, bagai jiwa-jiwa nelangsa yang putus asa menanti hujan. Atau, mungkin itu di suatu warung tongkrongan sederhana yang menjual aneka rupa makanan murah serta minuman sasetan instan yang rasa-rasanya tak lebih dari sekadar sensasi hasil rekayasa kimiawi belaka. Terkadang, sebuah peristiwa ternyata bisa terlepas sama sekali dari konteks tempat terjadinya. Seperti daun-daun kering beterbangan terbawa angin.

Aku tak ingat lagi wajahnya. Tidak pula sedikit pun bagaimana penampilannya. Rambutnya, warna matanya, pakaian maupun dandanannya, suaranya, serta apakah ia membawa tas atau tidak, sama sekali tak dapat kuingat. Pun entah mengapa dan bagaimana obrolan itu bermula dan berakhir, tak dapat kuketahui. Seperti menatap awan yang pada suatu saat menampakkan bentuk serupa sesuatu yang familiar. Kita tak tahu seperti apa bentuknya sebelum itu, tidak pula setelah itu, dan pada saat mana bentuk yang kita kenali itu bermula dan saat mana ia berakhir.

Mau ke mana. Seperti layaknya pertanyaan pembuka setiap obrolan basa-basi antara sesama pengembara yang sedang jenuh mengenyam kebosanan demi kebosanan sepanjang jalan yang entah kapan akan menampakkan tujuan akhir, pikirku. Betapa kian membosankan bila harus meladeni pertanyaan itu dengan jawaban dangkal, menyebutkan tempat yang kutuju beserta urusan yang menanti di sana.

"Menuju masa depan," jawabku sekenanya namun sungguh-sungguh.

Itu, sepertinya, adalah jawaban paling gamblang, jujur dan sederhana, namun mungkin tak kan cukup memuaskan bagi yang bertanya. Semua orang tentu sedang dalam perjalanan menuju masa depan. Tak perlu ada yang mempertanyakan itu, selama kita masih percaya bahwa waktu adalah entitas yang senantiasa bergulir ke depan menyeret serta segala hal di dunia ini bersamanya. Namun yang ditagih oleh pertanyaan macam itu biasanya adalah jawaban konkrit terkait nama-nama wilayah dalam konstelasi koordinat geografis administratif semisal Priok, atau Ancol, atau Juanda, dlsb., yang dengan mudah menghadirkan imaji gedung-gedung seperti apa yang mungkin ada di situ, dan urusan-urusan macam apa yang biasanya dikerjakan orang asing di tempat itu.

"Wah, kebetulan sekali kita bertemu. Aku dari masa depan, sedang melancong ke masa lalu."

Apakah ia sekadar coba membalasku dengan bualan? Tetapi, mungkin pula ia memang dari masa depan. Anggap saja begitu.

"Jadi, benar di masa depan kita berhasil menemukan mesin waktu?"

"Tidak benar-benar berupa 'mesin'. Mungkin lebih tepat disebut 'metode rekayasa waktu', menurutku. Kakak tahu, permasalahan mengenai waktu, sebagaimana halnya berbagai permasalahan lain yang dihadapi manusia, biasanya berakar pada bagaimana manusia memahami entitas yang dipermasalahkan itu. Ketika kita berhasil mempertajam, memperluas, dan mengutuhkan pemahaman kita, tak jarang permasalahan itu pun sirna dengan sendirinya seolah tak pernah ada sama sekali."

"Maksudmu, permasalahan seringkali bersumber dari kekurangpahaman manusia sendiri terhadap objek yang dipermasalahkan?" Aku mencoba memparafrase dan menganalogikannya. "Seperti menghadapi sebuah puzzle bergambar yang tak lengkap lantaran masih ada kepingan yang hilang?"

"Kira-kira, begitulah. Aku mengharapkan 'orang buta meraba gajah,' tapi, kupikir yang kakak katakan itu adalah analogi yang tidak terlalu melenceng juga."

"Berarti, akan ada sebuah terobosan baru dalam khasanah ilmu pengetahuan manusia yang nantinya membuat kita memahami waktu secara berbeda di masa depan nanti."

"Terobosan, mungkin iya, tetapi tidak sepenuhnya baru. Kita sudah tahu, atau, memiliki petunjuk mengenai letak pengetahuan itu sejak semula. Hanya saja, kebanyakan orang menolaknya mentah-mentah karena tidak memiliki dasar yang kuat menurut kerangka sistematika penalaran baku. Sebuah peristiwa besar perlu terjadi untuk menyadarkan kita tentang ketidaklengkapan postulat dan asumsi yang mendasari pengetahuan tersebut sebelum kita menemukan esensi waktu. Sebuah peristiwa yang akan dialami setiap orang, namun tidak secara serentak. Intinya, waktu akan menampakkan jati dirinya sendiri kepada kita semua."

"Peristiwa seperti apa itu?"

"Aku tak tahu. Bahkan, meskipun aku tahu, tak kan dapat kujelaskan juga. Tak seorang pun dapat menjelaskannya kepada orang lain. Kau akan tahu ketika kau tahu. Hanya itu yang dapat kukatakan tentangnya."

Aku akan tahu ketika aku tahu. Itu bisa menjelaskan segalanya, sekaligus tidak menjelaskan apa-apa sama sekali.

"Apa yang kau cari di masa lalu?" tanyaku.

Ia berpikir sebentar. "Mungkin, sama dengan apa yang kakak cari di masa depan. Entahlah." Ia mengangkat bahunya sedikit.

"Kau tahu apa yang kucari di masa depan?"

"Hanya menerka, tapi aku cukup yakin bahwa semua orang sesungguhnya sedang mencari tempat untuk menguburkan tanda tanya yang selalu menghantui sejak mereka menyadari dirinya. Apakah aku keliru?"

Mengubur tanda tanya. "Maksudmu, untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidup? Entahlah. Sebagian orang mungkin iya, sedang yang lain... entahlah."

"Tidak harus menemukan jawaban. Ada cara-cara lain untuk mengubur tanda tanya, tak harus dengan jawaban."

"Misalnya?"

"Misalnya, dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih dangkal dan tak penting, yang bahkan tak butuh jawaban. Pertanyaan semu yang diciptakan hanya sekadar untuk mengalihkan keresahan-keresahan."

Keresahan, batinku. Hidup adalah keresahan demi keresahan yang seakan tak berkesudahan.

"Kau mencari tempat mengubur tanda tanyamu di masa lalu. Apakah kau tak berhasil menemukannya di masa depan?"

Ia menelengkan kepalanya sedikit. "Aku menemukannya. Sungguh, ada banyak tempat telah kutemukan, di mana aku bisa menguburkan tanda tanyaku lantas menjalani sisa kehidupan dalam damai. Menyongsong kematian, yang setiap saat menguntitku, dengan bungah."

"Tetapi kau tidak menguburkannya, dan malah memutuskan kembali ke masa lalu. Kenapa?"

"Karena aku ingin menguburkannya di sini, saat ini."

Suara roda-roda besi beradu dengan sepasang titian besi diimbuhi percik-percik bunga api kemudian menyeruak dan menelan peristiwa yang mungkin terjadi setelah itu. Lolong panjang peluit. Dentuman bel. Pengumuman singkat dari corong pelantang membahana di udara, menarik peristiwa itu menjauh ke luar jangkauan ingatanku.

Si Ibu meletakkan kopi di meja hadapanku. "Silakan mas, kopinya."

"Terima kasih, Bu," ucapku sembari berusaha tersenyum ramah.

Jalanan di depan warung mulai ramai. Aku tercenung, berusaha mengingat bagaimana kelanjutan obrolanku dengannya. Namun, tak peduli sekeras apa aku berusaha, ingatan itu tak dapat lagi kuingat. Seperti awan berbentuk menyerupai sesuatu yang kau ketahui, yang setelah lama kau amat-amati tiba-tiba sudah berubah bentuk sama sekali menjadi sesuatu yang tak menyerupai apa-apa lagi.

Bukan. Bukannya aku lupa sama sekali bagaimana kelanjutannya. Aku hanya tak mampu menyusunnya kembali menjadi sesuatu yang masuk akal. Tidak dalam kata-kata. Tidak dalam gambar-gambar. Tidak dalam bentuk apapun yang masih terkait dengan kenyataan yang masuk akal. Aku hanya bisa "mengingat"nya sebagai semacam residu perasaan aneh seperti yang kerap tertinggal setelah mengalami sebuah mimpi yang kau ada di dalamnya.

Kuseruput kopi murahan itu selagi masih beruap panas, lalu kurogoh saku celana, mencari-cari sisa rokok kemarin yang ternyata sudah tak ada. Yang kutemukan cuma secarik kertas berlapis aluminium yang sudah kusut, yang lantas kubuang ke tempat sampah di bawah meja kayu yang mulai lapuk tergerus waktu.

Sebuah nama diikuti sederet kombinasi dua belas angka tertulis pada sisi putih kertas itu. Aku tak pernah membuka, apalagi membacanya.

~ Yogyakarta, 16-17 Feb 2021