Pages - Menu

RACAU: A Fragment of What I (Might) Talk When I Talk About Kayaking

Selepas perjalanan sebulan penuh menemani tim SEND menjelajahi Jawa Barat dan Jawa Tengah mencari kepingan-kepingan mutiara putih yang tersembunyi di dasar lembah-lembah Parahyangan dan Tanah Jawa, bara-bara redup yang cukup lama sudah terkubur di bawah tumpukan abu cerita-cerita petualangan masa lalu bercampur potongan-potongan kayu mimpi-mimpi usang yang hampir lapuk termakan waktu dalam diriku kembali berpendar. Perjalanan itu seperti menyisakan hembusan angin misterius, menghidupkan imaji-imaji "negeri dongeng" yang ternyata masih tersisa di udara, di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak di cakrawala semesta kesadaranku.

Bara-bara redup itulah yang selama ini seakan terus menyertaiku sebagai "kutukan" untuk selalu menengok ke bawah, ke dasar lembahan yang dipenuhi bebatuan berserakan, setiap kali menyeberangi jembatan atau menyusuri jalanan sepanjang lereng curam di antara bebukit dan pegunungan. Bara-bara redup yang sewaktu-waktu dapat menjelma kunang-kunang dalam kegelapan ketika kupejamkan mataku untuk coba menghalau kejengahan atas absurditas dunia nyata yang demikian tak terelakkan lagi; menelusupi setiap mikro-jengkal pori-pori kehidupan, setiap lekuk sendi-sendi peradaban.

Benih-benih imaji negeri dongeng yang sudah hampir pudar (namun ternyata belum sepenuhnya hilang) itu, selama ini, rupa-rupanya tersembunyi dalam serbuk-serbuk uap air yang disematkan matahari di sela helai-helai bulu sayap-sayap langit. Pada waktunya, sayap-sayap itu akan terkepak, menciptakan gradien perbedaan suhu dan tekanan udara, menggerakkan angin yang kan menari-nari sembari menaburkan serbuk-serbuk uap air itu diiringi gelegar tabuhan genderang troposfer.

Serbuk-serbuk itu lalu menggumpal jadi bulir-bulir hujan yang jatuh menerpa wajah bumi, seperti konfeti yang berhamburan dari dalam pinata kelabu yang digantung di langit pada sebuah pesta perayaan pergantian musim.

Maka tidaklah begitu mengherankan lagi bagiku apabila melihat bocah-bocah kecil di desa-desa selalu bersuka ria menyambut turunnya hujan. Di mata bocah-bocah itu, hujan adalah pintu-pintu rahasia yang kan menghantarkan mereka memasuki petualangan seru di negeri dongeng. (Paling tidak, demikianlah jadinya bila kutengok kembali sisa-sisa kenangan dari masa kecilku).

Dan itu pula yang seperti telah kusaksikan dalam sorot mata ketiga "bocah" SEND setiap kali mereka menatap pergerakan awan di langit dan mendapati burai-burai hujan terjulur darinya. Salah satu komposisi penting yang diperlukan untuk melengkapi formula rahasia petualangan yang mereka cari hingga ke berbagai penjuru dunia itu: air. Air yang (cukup) banyak.

Bila di negeri-negeri empat musim (negeri-negeri asal bocah-bocah SEND itu) serbuk-serbuk yang mereka cari biasanya tersimpan dalam endapan kristal-kristal salju sisa musim dingin yang menumpuk di punggung-punggung pegunungan menunggu siraman sinar matahari musim panas, di negeri tropis ini serbuk-serbuk itu selalu tersimpan di langit, menunggu pertanda momen tarian angin dalam iringan tabuhan genderang troposfer, sebelum berhamburan ke muka bumi bersama hujan, mengisi relung-relung lembahan dan mengalir memenuhi panggilan energi kosmis, yang tercipta dari jejak lengkungan ruang-waktu, di antara bebatuan.

Pada dasarnya, aliran air di dasar lembah-lembah yang kita sebut sebagai sungai itu pun sesungguhnya adalah gejala permukaan belaka dari sebuah fenomena kosmis fundamental yang konon merupakan salah satu "unsur" dasar dalam komposisi tarian jagat raya: gravitasi. Maka jeram-jeram, dengan demikian, adalah jejak-jejak gerak tarian kosmis yang terekam secara temporer pada filamen-filamen fluida cair bernama air itu. Dan setiap kali seorang kayaker mengarungi jeram-jeram itu, ia sesungguhnya sedang berupaya meleburkan diri dalam orkestrasi tarian semesta.

Untuk dapat melakukan itu, seseorang perlu memahami harmoni. Hanya melalui "celah-celah" harmoni itulah seseorang dapat melebur ke dalam jeram-jeram dan merasakan sensasi ekstase petualangan di negeri dongeng. Kalau tidak, ia hanya akan mengalami "penolakan" yang dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk peristiwa traumatis dalam rentang spektrum mulai dari yang ringan hingga berat. Dalam istilah semi akademis umum permukaan, kita menyebutnya sebagai risiko.

Kemampuan untuk "membaca" gerak tarian jeram dan menemukan "celah-celah" halus dalam harmoni tarian itu di antara berbagai kemungkinan risiko "penolakan" adalah sebuah kemampuan intuitif yang hanya dapat dipelajari dan dilatih dalam bimbingan guru agung, sekaligus dalam kuil suci, bernama 'pengalaman.' Pada tingkat permulaan, kita mungkin bisa memasuki pintu gerbang pelajaran itu melalui buku-buku dan ceramah-ceramah teoretis, namun untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi (semacam "makrifat" yang diperlukan untuk dapat "membaca" jeram-jeram yang lebih besar), dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan dedikasi tinggi untuk terus mengabdi pada, dan guna mengumpulkan bekal keping-keping buah, pengalaman. Melalui sekian banyak laku ritualistik percobaan-percobaan kecil, yang gagal maupun yang sukses, dan yang kadang kala terasa sia-sia belaka maupun yang seolah-olah cukup efektif dan progresif.

Dalam perjalanan menempuh percobaan-percobaan yang gagal dan terasa sia-sia itu, hanya orang-orang yang masih menyimpan sisa-sisa sorot mata bocah kecil dalam dirinya saja yang biasanya akan terus berjalan. Hanya mereka yang masih menyimpan kenangan-kenangan (yang mungkin sudah mulai pudar namun masih selalu ada) tentang negeri-negeri dongeng yang pernah mereka kunjungi saja yang akan tertarik untuk terus mencoba.

Adapun mereka yang dalam perjalanannya seperti dengan mudah mencapai kesuksesan dan merasa cukup progresif, perlu untuk berhati-hati agar tidak terlampau melambungkan egonya. Sebab ego adalah sesuatu yang "berbahaya," yang pada akhirnya mesti direduksi, dalam harmoni tarian jeram itu. Kalau tidak, ia akan terpaksa luluh lantak tergilas dan tergerus elemen-elemen lain yang secara bersama-sama mementaskan tarian itu dalam ekstase ketiadaan diri dalam aliran harmoni ketunggalan kosmis.

(Sebab di situlah, sesungguhnya, negeri dongeng berada. Pada tepian batas selubung fana antara ada dan tiada, yang hanya dapat dijangkau dengan diri yang tereduksi. Dengan benak dan hati yang merendah serendah-rendahnya dan memuai seluas-luasnya sehingga dapat menampung tetes-tetes gelembung dimesi lebih tinggi yang mengandung energi gelombang kosmis jagad raya. Seperti samudera menampung kisah-kisah perjalanan air dari mulut-mulut setiap sungai yang bermuara padanya.)

Betapa semua ini mungkin terdengar seperti bualan orang gila yang seringkali dijumpai sedang berbicara tidak kepada siapa-siapa di pinggiran jalan kota-kota yang ramai. Dan memang begitulah kita seringkali menilai segala sesuatu yang suprarasional. Bahwa setiap perilaku dan pemikiran yang sukar dijangkau dengan rasionalitas pikiran "normal" adalah sebuah "abnormalitas" yang dalam istilah umum disebut 'kegilaan'.

Kita, yang hanya mampu melihat dunia pada bayang-bayang proyeksi "realitas" yang menerpa dinding-dinding goa penalaran sempit dan dangkal lalu menyebut bayang-bayang itu sebagai kenyataan, hanya akan mampu menilai berbagai peristiwa pada taraf permukaan dangkalnya saja. Tanpa adanya kesadaran akan hakikat cahaya serta tanpa adanya keinsyafan akan kesempitan ruang dan keterbatasan ranah dan sudut pandang penalaran kita, tidak akan pernah kita sampai pada insight mengenai "realitas" hakiki itu.

Bahwa di balik fenomena terdapat noumena, dan di dalam noumena itu terkandung benih-benih realitas yang sejauh ini, dengan sistem metodologi ilmu pengetahuan dan teknologi eksoteris formal modern, baru dapat kita raba hingga ke tingkat kelembutan quanta saja (itu pun dengan resolusi yang masih cukup tumpul). Sedangkan menyelaminya lebih dalam, hanya dapat dilakukan dengan bekal "percik-percik pengetahuan esoteris," yang pengungkapannya secara gamblang, dalam wadah kata-kata, hanya akan terasa begitu akrab dengan gejala-gejala kegilaan belaka.

Maka memang tidak akan dapat sepenuhnya dihindari lagi, bahwa setiap kali kita menyaksikan orang-orang yang mencemplungkan diri mereka ke dalam kawah gelap yang begitu sarat risiko (yang kita bahkan enggan membayangkannya), kita akan menganggap mereka sebagai orang-orang gila. Orang-orang sinting, yang kurang mampu menghargai hidup mereka sendiri sehingga harus mencari-cari risiko yang sesungguhnya tidak perlu (bahkan seharusnya dihindari) adanya dalam kehidupan ini.

Sementara pendapat macam itu mungkin memang tidak sepenuhnya patut disalahkan, itu pun mungkin tidak sepenuhnya benar juga. Namun mungkin ada baiknya bila kita menempatkan 'benar' dan 'salah' itu dalam tanda kurung epoche dan mengesampingkannya terlebih dahulu, kemudian berusaha mengurai makna dalam kata 'risiko' yang cukup sering kita gunakan.

Tanpa perlu terlalu banyak menguraikan contoh-contoh umum tentangnya, kurasa kita boleh langsung mencoba memahami 'risiko' sebagai kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan (karena kita sangka itu buruk) di antara berbagai hal yang kita harapkan dalam konstelasi sengkarut sebab-akibat dalam domain kerangka referensi atas suatu perbuatan yang dilakukan, tanpa harus tergesa-gesa menilai seberapa parah (keburukan) akibatnya bagi diri kita. Dalam pengertian ini, maka terpeleset kulit pisang ketika sedang berjalan-jalan di pasar, patah hati akibat ditolak setelah mengungkapkan perasaan 'cinta' kepada adik kelas, atau patah tulang rusuk setelah mendarat dengan sudut yang sedikit kurang ideal ketika menerjuni sebuah air terjun setinggi 30 meter dengan kayak, adalah sama-sama merupakan risiko dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk maksud tertentu.

Risiko-risiko itu bisa jadi terlihat dan terasa seolah-olah lebih mengerikan apabila kita mengalaminya dalam pengaruh atmosfer ekspektasi ideal dari "norma" buah hegemoni dalam standar peradaban yang berlaku masif di masyarakat. Terpeleset kulit pisang bisa cuma jadi bahan tertawaan saja dan mungkin sekadar menciderai "harga diri" orang yang terpeleset itu, meskipun tidak tertutup kemungkinan juga (walaupun seolah agak lebay, dan umumnya dipandang sebagai kesialan belaka) bahwa yang terpeleset itu bisa langsung mati di tempat.

Patah hati sehabis cinta ditolak bisa jadi diterima sebagai bumbu cita rasa perjalanan asmara dalam kehidupan--yang toh masih dan akan selalu layak dijalani-- saja, namun mungkin juga, bagi orang tertentu, menjadi tonggak permulaan hidup kelam di bawah bayang-bayang mega depresi dan keputusasaan yang menjadikan kehidupan yang dihayatinya seperti lebih buruk belaka daripada wajah derita kematian.

Dan menerjuni air terjun setinggi 30 meter dengan kayak, dengan menyadari sepenuh-penuhnya apa yang diharapkan beserta berbagai risiko (yang tak diharapkan) yang meliputinya dan bersedia menerima apapun hasil akhirnya, bisa jadi tidak lebih mengerikan daripada terpeleset kulit pisang atau ditolak kekasih dambaan. It's just a part of the "game" we called life. Though it still depends on how you choose to embrace the term 'life', and it's counterpart: 'death'. Dan itulah poin krusialnya. The image we have in our head about death.

Terlepas dari intensi di balik setiap tindakan kita, kematian akan (dan pasti) datang tanpa harus diundang dan meski berusaha dihadang. Itulah keniscayaan dalam kehidupan di dunia ini. Kau boleh berniat mati, pada suatu hari, namun tak mati, atau berusaha menghindarinya, pada hari yang lain, namun tetap saja bertemu dengannya. Pada akhirnya, kematian tak ubahnya peristiwa kosmis sebagaimana punahnya sebutir bintang dalam pusaran badai nebula atau sebuah ledakan supernova, maupun gugurnya sehelai daun dari tangkai pohon tak bernama di pedalaman hutan Kalimantan atau Papua.

Apabila memang ternyata ada yang patut disesalkan dari peristiwa bernama kematian manusia, itu adalah sikap yang dipilihnya terhadap berbagai faktor dan fakta kehidupan yang menghantarkannya ke depan pintu kematian. Dengan kata lain, bagaimana seseorang menghayati perjalanan hidupnya lah, dan bukan kematian itu sendiri yang--meminjam kata-kata Chairil Anwar (meskipun mungkin dalam konteks yang agak berselisih)-- menusuk kalbu. Di dalam sikap itulah, kiranya, terkandung hal yang lebih mengerikan (dan menyedihkan) daripada peristiwa yang kita namai 'kematian' itu sendiri.

Sedangkan para kayaker "gila" yang mendedikasikan waktu dan usaha mereka mencari jeram-jeram besar dan air terjun-air terjun tinggi untuk diarungi dan diterjuni itu (dan mungkin juga para pegiat olahraga berlabel "ekstrim" lainnya), pada hakikatnya yang paling mendasar, sesungguhnya tidak sedang mencari-cari "risiko yang tidak perlu" sebagaimana yang pada umumnya dicurigai. Kebetulan saja, apa yang mereka cari itu memang terselubungi oleh kabut dan semak-semak berduri yang kita kenal dengan nama 'risiko.' Dan untuk mencapainya, mau tak mau mereka mesti bergelut dalam upaya menyibak risiko tersebut. Maka mungkin memang wajar saja apabila orang-orang awam macam kita ini, yang tidak mampu melihat sesuatu di balik kabut dan semak-semak itu, mengira bahwa mereka hanyalah orang gila yang suka menyambangi remang kabut bersemak-semak duri saja.

Sebab jika memang kecurigaan itu benar adanya, maka Curug Mara Cigamea tentulah sudah tidak perawan lagi bagi para kayaker. Namun nyatanya, para "bocah" SEND itu tidak sampai berkesempatan menerjuninya meskipun sudah berkali-kali melihatnya di depan mata, sudah menginvestasikan sebagian anggaran perjalanan mereka untuk membangun jembatan tepat di titik seal launching yang ideal demi menghindari sebuah hole cukup ganas yang ngendon beberapa meter dari bibir air terjun, sudah menyelami kolam di dasar air terjun untuk memeriksa kedalaman titik pendaratannya, dan sudah merelakan 10 hari berlalu "sia-sia" demi menunggu momen kosmis yang pas, yang diharapkan akan menghadirkan "celah" yang cukup bagi mereka untuk meleburkan diri ke dalam tarian air terjun itu, yang pada akhirnya tetap tak datang.

Dari pengalaman menyaksikan proses yang "sia-sia" itulah aku jadi semakin mafhum bahwa meskipun "risiko-risiko" yang "mengerikan" memang senantiasa meliputi apa yang biasanya mereka lakukan dan selalu mereka upayakan untuk dilakukan, namun sungguh bukanlah semata-mata "risiko-risiko" itu yang mereka cari melainkan sesuatu yang tersembunyi di balik selubung tabirnya. Sesuatu yang bagi mereka adalah hal yang cukup berharga untuk dicari, meskipun harus dibayar dengan berbagai upaya yang menuntut kejelian dan kesabaran guna menyibak semak-semak berduri (baca: risiko) yang meliputinya itu untuk membuka jalan menggapainya. Berbekal intuisi yang hampir saban hari sepanjang tahun hingga mungkin sepanjang hayat mereka asah dalam laku latihan ritualistik di kuil tanpa dinding tanpa kanopi bernama pengalaman bertualang.

Kalau memang hal macam itu dapat dicapai hanya dengan modal keberanian naif (yang dengan kata lain adalah kenekatan) belaka, maka rasanya mustahil seorang yang sudah pernah mengarungi Malupa dan menerjuni Maule serta Puma, dan mereka yang sudah pernah menerjuni Big Banana dan Alexandra, akan berpikir sepanjang itu di hadapan Mara Cigamea. Bagiku, fakta tersebut adalah petunjuk penting akan suatu fenomena terselubung, bahwa di balik semua yang mereka lakukan itu memang terdapat sebuah proses mental emosional dan bahkan mungkin pula sampai ke taraf spiritual transendental yang tidak sesederhana yang kita sangka.


Yogyakarta, April & November 2020