Pages - Menu

November

Kupandang cakrawala di balik kaca jendela. Bayang-bayang gedung-gedung tinggi berbaris menutupi garis horison. Awan kelabu yang seperti bercampur dengan asap pekat masih setia menyembunyikan birunya langit.

Tumpukan berkas terbuka di layar komputer di hadapanku. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Dan di ujung hembusan nafas itu, aku tenggelam dalam lamunan.

Di bawah sana, di dalam salah satu toko kelontong di pinggir sebuah ruas jalan yang macet, seorang pemilik toko mungkin baru saja menyobek selembar kertas berangka 31 dari tumpukan kertas berangka yang tergantung di dinding tokonya, meninggalkan kertas berangka 1 terpampang jelas di dinding itu.

November telah tiba. Wajar saja orang-orang mulai mendambakan hujan. Lagipula mungkin mereka juga sudah cukup muak menghirup asap dari knalpot kendaraan, cerobong pabrik, atau dari lahan-lahan yang terbakar yang belakangan menyesaki udara negeri ini.

Diam-diam aku pun turut mendambakan hujan, meski karena suatu alasan yang agak berbeda. Mungkin lebih tepat kukatakan bahwa aku mendambakan langit biru. Langit yang masih tersembunyi di balik gumpalan asap tebal dan awan kelabu yang terus menerus menggantung di cakrawala itu.

Kulirik kalender segitiga di pojok mejaku yang ternyata masih menampilkan halaman bulan Oktober. Kubalik halaman kalender itu ke bulan November. Selama beberapa saat, kupandangi halaman bulan November itu. Kutelusuri deretan angka-angkanya dari angka terakhir hingga kutemukan letak salah satu angka yang lalu kutandai dengan semacam stabilo di dalam kepalaku. Kemudian kutelusuri kembali barisan angka itu sampai ke angka 1 sebelum kemudian kulemparkan pandanganku jauh menembus kaca jendela, bahkan melampaui cakrawala.

Kubayangkan sehelai daun jatuh ke tanah di suatu tempat di bumi ini. Mungkin oleh sebab tiupan angin yang berhembus dari laut, atau mungkin cuma karena tarikan gravitasi bumi. Namun di balik itu semua, kurasa waktulah yang sesungguhnya paling bertanggung jawab.

Waktu.

Tiba-tiba aku membayangkan bahwa mungkin terdapat hubungan erat di antara peristiwa gugurnya daun dari ranting pohon itu dengan tersobeknya lembaran kertas berangka pada dinding sebuah toko kelontong di pinggir ruas jalan yang macet itu.

Aku bukanlah seorang yang cerdas dan tidak pula berdaya ingat tajam, namun kadang kala aku bisa tiba-tiba teringat pada satu dua hal yang dulu pernah kupelajari di bangku sekolah. Peristiwa seperti itu biasanya terjadi tanpa sengaja. Kadang itu membuatku kesal sendiri sebab kebanyakan hal yang berusaha kuingat biasanya malah tidak dapat kuingat sama sekali, sementara hal semacam itu, yang seringkali tidak begitu penting sebenarnya, malah dapat kuingat begitu saja tanpa usaha sama sekali. Seolah-olah ingatan memang memiliki kehendaknya sendiri dan bisa seenaknya datang dan pergi begitu saja.

Aku teringat dalam pelajaran Bahasa Indonesia terdapat istilah 'homonim' yang mengacu pada dua kata yang mirip atau bahkan identik yang sesungguhnya mengandung arti yang sama sekali berbeda. Dan di antara kata-kata tersebut adalah 'tanggal'.

Sayangnya tidak ada cara bagiku untuk meneliti asal-usul kata itu, untuk mencari tahu apakah memang terdapat benang merah di antara keduanya atau tidak. Namun kurasa tiada yang berhak melarangku untuk meyakini bahwa kata-kata itu memang sesungguhnya sangat erat berkaitan satu sama lain.

Maka aku seringkali membayangkan waktu menjelma pohon raksasa dengan banyak dahan dan cabang yang diam-diam menanggalkan daunnya satu demi satu, seperti setiap unit ukuran waktu yang hilang dalam pergeseran ujung jarum jam dinding, atau seperti setiap lembaran kertas berangka yang tersobek dari kalender di dinding ketika hari, bulan, dan tahun berganti.

Apakah kau juga berpikiran demikian?

Aku mungkin akan menanyakan hal itu kepadamu nanti, kalau kebetulan kita berkesempatan mengobrol tentang hal-hal random lagi.

...

Mendung seperti betah sekali menggantung di atas kota ini. Tiada setitik pun celah. Cakrawala sempurna dalam kelabu. Apakah hujan akan turun hari ini?

Aku bertanya pada waktu, yang tentu saja selalu hanya bisa menyuruh untuk menunggu.

Entah berapa banyak sudah daun yang jatuh ke tanah sejak kumulai lamunanku hari itu. Namun aku ternyata masih betah berlama-lama menatap langit kelabu di balik  kaca jendela itu. Seperti menunggu, namun tidak terlalu berharap. Tumpukan berkas yang terbuka di layar komputer di hadapanku pun harus rela menunggu lebih lama lagi.

Aku mulai mengingat-ingat beberapa kata yang pernah kubaca dalam beberapa puisi yang pernah kau tuliskan dalam kumpulan kertas bekas yang kau jadikan buku catatan untuk mencatat apa saja. Kata-kata yang berkaitan dengan waktu. Aku ingat kau banyak membicarakan waktu dalam tulisan-tulisanmu.

//
Mungkin kita sesungguhnya hanyalah sebersit rindu yang membentang tipis di antara masa lalu yang hampir terlupakan dan masa depan yang seakan tak mungkin [terwujudkan], menunggu waktu kembali menyusut menjadi satu titik dari mana segalanya pernah bermula dan ke mana segalanya kan berakhir.
//

Kurasa aku tak kan mungkin dapat melupakan hal-hal tertentu dari masa laluku. Namun seandainya memang ingatan punya kebebasannya sendiri, dapat menetap atau pergi sesukanya tanpa kita dapat mencegah, mungkin saja suatu saat aku akan melupakan semua itu. Mungkin aku akan melupakanmu juga, tak peduli sekeras apa aku berusaha menjaga ingatan itu.

Bangku semen yang lembab dan berlumut. Tiang-tiang lampu yang melengkung seperti pakis muda. Pohon Trembesi dan Sawo Kecik. Lele dan tempe goreng tepung. Es teh.Tanda tangan palsu di lembar presensi. Debu-debu vulkanik. Genangan-genangan air sehabis hujan.

//
Titik-titik hujan seperti ingatan yang terpecah dan berhamburan jatuh dari langit.
//

Aku ingat kau pernah mengatakan sesuatu kepadaku di sela-sela rintik hujan dan lalu-lalang kendaraan. Aku ingat kau sempat terdiam begitu lama sebelum tiba-tiba mengucapkannya. Aku ingat aku jadi tak mampu berkata-kata setelah mendengarnya. Namun aku tak dapat mengingat lagi apa yang waktu itu kau katakan. Apakah itu sebuah pernyataan, ataukah pertanyaan? Yang kuingat, setelah itu malam jadi begitu panjang dan aku tak dapat tidur. Sepanjang malam yang kupikirkan cuma kata-katamu itu. Kata-kata yang tak lagi dapat kuingat.

Kata-kata.

Betapa aneh rasanya kita membicarakan kata-kata dengan kata-kata. Namun mungkin itu sekadar hal lumrah yang baru sempat terpikirkan olehku saja. Seperti halnya memikirkan pikiran kita sendiri. Atau mengobrol dengan diri sendiri.

Katamu kata-kata pernah menghantarkanmu menuju pintu gerbang sebuah dunia yang begitu sepi dan sunyi. Aku tidak berani mengatakan bahwa aku memahami sepenuhnya apa yang kau maksud, namun aku rasa aku mungkin mengerti. Meskipun tetap saja, bagiku kau selalu penuh misteri. Seperti gunung berselimut kabut. Seperti langit tertutupi mendung.

Aku termenung. "Langit tertutupi mendung."

Mungkinkah karena itu aku jadi menanti-nanti hujan?

//Dalam derai hujan mengurai mendung.//

Aku mulai melihat ada kata-kata yang terbang berputar-putar dalam benakku, seperti serangga-serangga musim penghujan yang kerap beterbangan di sekitar lampu jalanan. Mungkin itu hanya sekadar pikiran random saja, sebab kata-kata itu tidak menjelma kalimat yang masuk akal. Tetapi semakin lama kuperhatikan, seakan ada pesan tertentu yang terkandung di dalamnya, yang mungkin hanya belum dapat kurumuskan saja. Maka kubiarkan kata-kata itu terus terbang berkeliaran dalam benakku, dan aku menjadi seperti anak kecil yang berdiri tengadah di bawah lampu jalanan, menyaksikan serangga-serangga beterbangan ke sana ke mari mengitari bola lampu.

Puisi-puisimu adalah hujan yang kunantikan. Setiap tetesnya adalah kata yang kuharap kan mengurai mendung dan membasuh udara. Pada akhirnya semoga kan dapat kujumpai langit biru; segala yang kau simpan dalam benakmu, dan yang kau pendam dalam hatimu.

Kilatan petir tiba-tiba menyambar membelah cakrawala dan menggetarkan kaca jendela. Mendung semakin pekat, namun apakah hujan akan benar-benar turun hari ini?

"Yah, please jangan hujan dulu dong, aku ga bawa payung nih!"

Seseorang yang duduk dua meja dari mejaku bergumam. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan sedang bersiap-siap pulang.

Kuhela nafas panjang lalu kembali menatap tumpukan berkas di layar komputer di hadapanku. Mungkin sebaiknya segera kuselesaikan saja pekerjaan yang telah menunggu sejak tadi ini.

[]


November 2019