Pages - Menu

Apa Salahnya Menikmati

Suatu ketika, aku berjalan melewati telaga buatan di salah satu sudut kota.

‘Telaga buatan,’ pikirku. Seperti segala hal yang ada di kota ini adalah hal-hal yang dibuat-buat belaka. Artifisial. Dibuat menyerupai aslinya, tetapi tetap saja tidak asli. Tetapi apakah hal-hal tersebut palsu? Apakah kota adalah tempat yang berisi segala-galanya yang palsu?

Dan orang-orang pergi meninggalkan kampungnya, datang ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jangan-jangan ‘kehidupan yang lebih baik’ yang mereka maksud itu tiada lain kecuali kepalsuan belaka. Alangkah ironisnya.

Aku berjalan di tengah-tengah pertunjukan ironi.

Waktu sedang mementaskan adegan terakhir dari suatu drama harian, semacam penutup kisah pendek yang merupakan bagian dari rangkaian kisah berseri yang sedikit lebih panjang yang masing-masing kita adalah tokoh utama sekaligus pemeran figuran dan sekalian juga adalah penontonnya. Sebuah drama berseri yang andaikata boleh akan kuberi judul “Kehidupan Sehari-hari” saja.

Dan pada akhir episode hari itu, waktu mementaskan proses terbenamnya matahari, dengan seloah-olah sengaja dilambat-lambatkan, mungkin untuk menghadirkan sedikit kesan dramatis, atau untuk memberi kesempatan pada kita untuk merenungkan apa kira-kira makna episode kehidupan hari itu.

Begitulah maka sore pun menjadi agak lebih lamban daripada biasanya. Di jalan-jalan raya kendaraan-kendaraan dipaksa untuk memperlambat lajunya oleh antrian panjang di persimpangan-persimpangan jalan. Para pengendara sepeda motor maupun pengemudi mobil, para pejalan kaki maupun pengusaha kaki lima, disuguhi sajian musikal derum mesin dan pekik klakson. Dramatisasi pun diperkuat dengan bumbu-bumbu aromatik dari campuran debu, asap knalpot, dan bau keringat bercampur parfum yang sudah luntur. Maka daripada sibuk mengutuk dan memaki-maki, apa salahnya menikmati.

Sampai di sini aku teringat pada seorang kawan yang sekarang entah berada di mana. Beberapa kali sempat kulihat ia berjalan di tepi keramaian jalanan kota ini. Tetapi aku yang ketika itu sedang menjadi bagian dari keramaian jalan raya tak sempat menghampirinya karena terseret arus kendaraan yang selalu saja tak sabar untuk terus melaju. Mobil di belakangku membunyikan klakson karena merasa terhalangi oleh perlambatan sepeda motorku. Dan entah mengapa, bunyi klakson selalu saja menular dari kendaraan yang satu ke kendaraan yang lain sehingga makin membuatku merasa bersalah. Dengan terpaksa aku tetap mengikuti arus jalan raya sembari sedikit demi sedikit mencari celah untuk menepi.

Tetapi ternyata ia sudah tidak terlihat lagi ketika aku akhirnya berhasil menepi dan berhenti.

Ialah yang mengajarkanku untuk menikmati momen-momen yang biasanya membuatku menggerutu. Entah itu kemacetan jalan raya ketika aku sedang terburu-buru menuju suatu tempat, atau permasalahan sederhana yang kadang membuat pemikiran menjadi ruwet. Ialah yang berkata, “daripada lo misuh-misuh, mending dinikmatin aja dulu,” lalu menawarkan sebatang rokoknya untukku, lengkap dengan sejentikan korek api yang membuatku tak tega untuk menolak.

Entah berada di mana ia sekarang, namun aku cukup yakin bahwa ia sebenarnya masih berada di kota ini juga. Cuma begitulah, betapa kota yang tidak begitu luas ini bisa juga selalu menampakkan bintang-bintang di langit malam namun tak pernah menghadirkan dirinya lagi di hadapanku. Kota bisa membuatmu peduli pada hal-hal yang berada jauh di belahan bumi lain sana namun tak acuh pada orang-orang di sebelahmu yang hanya berjarak sejengkal.

Ah, betapa rumit segala hal mengenai kota ini, tetapi apa salahnya dinikmati. Jalan raya yang padat, atau sekedar sore yang kebetulan lewat.

Mungkin itulah sebabnya sehingga diciptakanlah kata ‘senja’ yang dengannya sore menjadi terasa lebih wajar untuk disaksikan dengan penghayatan yang agak lebih mendalam. Betapa waktu memang adalah sutradara ulung. Mampu menghadirkan momen-momen dramatis yang sarat makna dalam perputarannya yang serba rutinitas dan seringkali menjemukan.

Kadang aku takjub sendiri mendapati bahwa aku dapat berjalan lebih cepat daripada mobil-mobil itu, meski trotoar belum tentu lengang juga sebab para pengusaha kaki lima sudah sibuk mempersiapkan lapaknya sejak tadi. Tetapi cukuplah celah-celah di antara kendaraan-kendaraan itu bagiku. Namun kadang aku malah jadi beku sendiri begitu menyadari hal-hal yang sebenarnya tidak penting tetapi tak pelak menggelitik sesuatu di dalam diri. Mungkin itu adalah efek senja yang sedang dimainkan waktu.

Tetapi lelaki itu seolah tak peduli pada senja. Ia hanya duduk saja di situ, di atas sebongkah batu yang separuh tertanam di tepian telaga. Sementara senja dipentaskan oleh arak-arakan mega-mega bersepuh keemasan berlatar cakrawala merah di langit sebelah barat sana, ia malah duduk membeku menghadap timur, tubuhnya sedikit membungkuk ditopang oleh kedua siku yang ditaruh di atas pahanya. Topi jerami bertepi lebar tertengger di atas kepalanya.

Tiada yang bergerak kecuali waktu. Dan dalam pergerakannya, ia menyeret-nyeret kita bersamanya. Begitulah kira-kira. Diam-diam, dalam wujudnya yang selalu antara ada dan tiada, waktu menggerakkan segala yang ada. Kita adalah kesadaran yang terhanyut dalam waktu. Tetapi, ke manakah waktu mengalir? Kita hanya bisa menerka-nerka tanpa pernah benar-benar tahu kepastiannya.

Sementara itu, meski seperti merayap saja perlahan-lahan, kendaraan-kendaraan di jalan raya tetap bergerak. Pelan tetapi pasti, seperti berlalunya senja di cakrawala. Debu-debu dan asap juga bergerak bersama udara. Semut-semut pun bergerak di retakan-retakan kulit batang pohon trembesi yang daun-daunnya pun ikut bergerak seirama angin. Bahkan cahaya senja pun terlihat bergerak-gerak seperti bergetar. Tetapi dalam kesaksianku, lelaki itu tetap membeku seolah-olah ia adalah patung yang ditaruh di situ untuk memberi kesan tertentu pada telaga buatan itu.

Senja telah semakin dalam membenamkan hari dalam keremangan, meski tetap menyisakan sedikit semburat-semburat merah di langit yang kian meredup. Kendaraan-kendaraan pun mulai menyalakan lampunya. Mungkinkah benak-benak para pengguna jalan raya itu sudah sempat menemukan sebersit makna dari dramatisasi kehidupan oleh adegan senja yang dihadirkan waktu?

Semoga saja. Sebab senja, sebagaimanapun terasa lambannya, adalah momen yang pasti berlalu, mengakhiri hari dengan atau tanpa meninggalkan apa-apa. Selain mungkin keresahan-keresahan yang itu-itu saja. Tetapi kita sepertinya sudah terlalu terbiasa dengan itu. Resah yang memaksa kita menjalani hari-hari yang itu-itu saja ceritanya.

Tidakkah lelaki di tepi telaga itu merasakan resah? Betapa tenang ia dalam duduknya, seolah tak tersentuh oleh waktu. Bukankah senja adalah waktu untuk pulang ke rumah? Mungkin ia tak punya rumah. Mungkin di situlah rumahnya, di atas batu di tepi telaga itu.

Aku jadi penasaran pada sosok yang semakin kuperhatikan semakin menyerupai patung itu. Maka kuterobos semak-semak tanaman bambu yang menjadi batas antara wilayah jalan raya dan wilayah telaga buatan itu untuk mendekatinya.

Tiba-tiba ia bergerak, seperti agak terkejut, dan menoleh kepadaku. Hanya sekejap saja, ia memberi seulas senyum ramah, kemudian melanjutkan kembali apa yang sedang dilakukannya: menunggu.

Ah, ternyata ia hanya seorang tukang pancing.

Tetapi aku sudah terlanjur berada di situ. Maka, apa salahnya menikmati.

Aku duduk di rerumput, menyaksikan punggung tukang pancing itu. Membiarkan senja berlalu pergi ke balik malam.

Tiadakah beban di pundaknya? Betapa keberadaan tukang pancing di tengah-tengah kota ini adalah sesuatu yang demikian kontras dengan kenyataan kota yang kupikir akan melulu mengenai produktifitas kerja, efektifitas usaha, efisiensi waktu, dan sebagainya itu. Di tengah orang-orang yang selalu kejar-mengejar dengan waktu, tukang pancing malah selalu diam menunggu padahal waktu sudah berlari jauh.

Lalu aku teringat Pak Tarya dalam Orang-orang Proyek itu. Lalu aku teringat mata pelajaran Bahasa Indonesia di bangku Sekolah Dasar. Lalu aku teringat bahwa aku belum pernah memancing, walaupun memang tidak pernah tertarik untuk itu. Tetapi tukang pancing itu ternyata kemudian seringkali tiba-tiba terlintas dalam benakku. Terutama ketika sedang buang air besar dan membiarkan pikiranku lepas berkelana meninggalkan bilik WC yang sempit dan bau pesing.

Tetapi aku sudah selesai dengan hajatku di WC ini, maka biarlah tulisan ini berakhir di sini, dengan atau tanpa kejelasan mengenai apa-apa. Bukankah senja pun selalu berlalu begitu saja tak peduli sudah atau belum kita temukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan maupun kejelasan atas permasalahan-permasalahan yang ruwet semrawut silang sengkarut?

Jogjakarta, 7,  18 Mei 2017