Pages - Menu

Tetapi Aku Ingin Dikuburkan di Laut Saja

Dari puncak gunung, ketika cuaca sedang cerah, betapa memang akan terlihat bagaimana kehidupan di hampar dataran bawah sana itu seperti begitu kecil. Cakrawala seolah terbuka sepenuhnya. Mega-mega yang berarak melintas seakan dapat digapai hanya dengan mengulurkan tangan. Dan langit—betapapun tingginya—dapat serasa jadi tidak tinggi-tinggi amat.

Ketika itulah dia kemudian hadir, meski cuma sekelebatan saja. Dia adalah, seperti kawan bagiku.

Kehadirannya, yang tiba-tiba begitu, mengusik penghayatanku terhadap pemandangan yang sedang kusaksikan dari puncak gunung itu. Tanpa permisi, tanpa menyapa, atau paling tidak memberi aba-aba terlebih dahulu, sekonyong-konyong saja ia menumpahkan argumennya di atas kepalaku. Seperti hujan yang, tanpa berkabar mendung, tiba-tiba jatuh dengan derasnya pada suatu hari yang cerah.

Ya, benar, seperti hujan. Itu terdengar seperti perumpamaan yang sesuai: hujan.

Dapatkah engkau mengira-ngira bagaimana rasanya tiba-tiba terguyur hujan ketika engkau sedang syahdu-syahdunya menyaksikan betapa pemandangan dari puncak gunung ketika pagi masih cerah dan kabut belum muncul sehingga engkau bisa menebarkan pandangananmu seluas-luasnya, sebebas-bebasnya, kepada dataran yang terhampar hingga ke batas cakrawala dan bersaksi mengenai betapa kecil kehidupan di bawah sana itu?

Ingin kukatakan kepadamu bagaimana rasa itu, tetapi kata yang dapat mewakilinya seolah tiba-tiba saja menghilang dari konstelasi huruf yang tergelar pada papan tombol laptop-ku, menghilang dari ujung pena yang sudah demikian mantap menyentuh permukaan kertas putih yang kemudian ternyata masih saja tetap putih, menghilang di antara dua bibir yang sudah terlanjur berjarak, di ujung lidah yang sudah terlanjur melengkung di antara barisan gigi, di pangkal tenggorokan yang sudah siap bergetar hendak membunyikannya, menghilang begitu saja seolah memang tak pernah ada tetapi masih bisa kuingat bahwa sekejapan yang lalu ia sungguh-sungguh masih berada di situ.

Ya, kira-kira seperti itulah, entah apa istilahnya.

Hujan. Mungkinkah ia memang punya kesaktian menyembunyikan kata-kata di antara rinainya? Maka mungkin demikianlah sehingga aku jadi hanya bisa menganga tanpa kata.

Tetapi, secepat aku kehilangan kata, demikian pula hujan itu lalu pergi begitu saja meninggalkan aku basah kuyup.

Maka, kawanku itu kemudian jadi bernama Awan (anggap saja nama sebenarnya). Ya, siapa lagi yang bisa memuntahkan hujan sebagai argumentasi selain si Awan. Lagipula, nama itu kebetulan cocok untuk merepresentasikan bagaimana aku menganggap dirinya sebagai kawan meskipun sesungguhnya aku dan dia tidak betul-betul dapat dikatakan berkawan sehingga kuhapus saja huruf ‘k’ itu untuk kemudian meresmikan sederetan huruf yang tersisa sebagai namanya. Sekedar untuk mengingatkanku bahwa hubungan perkawanan kami tidak akan bisa disebut suatu perkawanan yang sempurna adanya, meskipun aku juga memang tidak pernah mengharapkan ada sesuatu –apalagi perkawanan—yang sempurna di dunia ini.

Bukankah kesempurnaan berarti telah selesainya segala permasalahan? Sedangkan kehidupan di dunia ini agaknya selalu mengenai permasalahan belaka. Jika memang tak bisa ia kusebut secara sempurna sebagai kawan, maka biarlah ia menjadi Awan saja.

Tidak perlu pula engkau mempertanyakan perihal apakah si Awan ini benar-benar nyata atau rekaan semata. Apakah ia memang tokoh nyata atau fiktif belaka. Tidak perlu. Bukankah hal-hal yang begituan seringkali tidak terlalu penting? Seorang kawan yang nyata bisa mengatakan beribu-ribu argumen kepadamu namun tak pernah engkau anggap berarti apa-apa sama sekali. Sedangkan kawan yang belum jelas nyata tidaknya bisa hanya sekedar diam namun mampu menyadarkanmu betapa sesuatu itu bisa mengandung beribu-ribu arti.

Dan kawanku itu menceramahiku panjang lebar dengan argumen singkatnya yang bahkan tak sampai menjadi kata. Bahwa aku, jika berdiri di atas puncak tumpukan pengetahuanku, bisa menyaksikan kehidupan seperti begitu kecil hingga seolah-olah bisa kuinjak-injak dengan sebelah kaki saja. Bahwa aku mungkin akan memandang bahwa segala sesuatu berakhir pada batas cakrawala yang cuma sejauh itu saja padahal masih ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik cakrawala itu yang tak mampu kupandang tak peduli setinggi apa gunung pengetahuan yang kupijak.

Ya, ia seperti baru saja mengibaratkan pengetahuan sebagai tanah yang bertumpuk-tumpuk hingga menjadi gunung. Dan “berdiri di puncak gunung itu,” dia mengingatkan, “jangan pernah sampai membuatmu merasa tinggi sehingga merendahkan dan meremehkan yang lain.”

Kemudian aku teringat pada bangunan-bangunan tinggi, piramida-piramida yang tinggi pada peradaban-peradaban masa lampau, gedung-gedung tinggi yang katanya mampu menyentuh langit dengan ujung kukunya, dan kuburan-kuburan. “Mengapa kuburan-kuburan itu berada di atas bukit?” aku pernah bertanya-tanya demikian. “Supaya mereka yang sudah meninggal itu bisa lebih cepat sampai ke langit,” kata orang.

Tetapi aku ingin dikuburkan di laut saja.

Entah bagaimana laut bisa merasuk ke dalam pikiranku waktu itu. Mungkin itu sisa-sisa kenangan Awan yang baru saja mengguyurku dengan hujan. Mungkin ia adalah Awan yang lahir di Pasifik sana, atau di Hindia, atau Atlantik, atau Arktik, atau mungkin juga ia cuma Awan yang terlahir dari rahim selokan-selokan limbah pembuangan dari kota-kota antah-berantah yang kebetulan terseret angin hingga ke puncak gunung itu.

Dari manapun ia, kupikir tidaklah terlalu penting. Toh semua itu adalah air juga. Dan air selalu mencari jalan menuju laut.

“Kalau gunung adalah sesuatu yang keras dan menjulang tinggi, air adalah kelembutan yang selalu merendah. Kalau pengetahuan itu mengenai fakta-fakta yang dikumpulkan dan ditumpuk-tumpuk di atas dasar asumsi yang dihamparkan sebagai landasan, ilmu adalah ibarat air yang mengalir dari sela-sela di antara bongkah-bongkah pengetahuan untuk mengisi ruang-ruang kosong ketidakpastian. Maka kalau banyaknya pengetahuan membuatmu cenderung merasa kokoh dan tinggi berdiri sendiri, sebaiknya engkau mengingat-ingat bahwa air mengalir mencari kerendahan. Jadi rendahkanlah hatimu dan hamparkanlah seluas-luasnya supaya kelak menjadi samudera. Kalau tidak, minimal jadi selokan pun tak apa.” Seperti kuingat pernah mendengar Awan menyelipkan itu dalam gerimis.

Apakah ia memang pernah berkata begitu atau tidak, seperti tidak begitu penting. Tetapi aku jadi teringat bahwa Awan sesungguhnya adalah air.

“Ada pepatah kuno seperti ini,” si Awan berceloteh gerimis lagi, “awal dari kebijaksanaan adalah kesabaran.”

Kemudian gerimis terus berlanjut. “Kebijaksanaan adalah samudera ilmu yang diilhami oleh cahaya matahari sehingga meskipun pada dasarnya air selalu betah di kerendahan samudera, pada waktunya ia akan menjadi awan yang membumbung tinggi ke langit, bahkan seringkali melebihi tingginya gunung yang paling tinggi sekalipun. Kebijaksanaan adalah mega-mega yang menghiasi cakrawala ketidaktahuan kita sehingga menjelma keindahan. Kebijaksanaan kadang kala menjadi mendung yang membawa hujan kepada daratan dan gunung-gunung demi berseminya kehidupan dan keindahannya seperti yang engkau saksikan dari puncak gunung itu.”

Maka dari itu, aku jadi ingin dikuburkan di laut saja. Dan sejak saat itu, aku selalu merindukan hujan, biarpun cuma gerimis.

Jogjakarta, 30 Mei, 2 Juni, 2017