Pages - Menu

Obrolan Basa-basi Tentang Puisi

“Ajarkan kepadaku bagaimana menciptakan puisi.”

Tetapi engkau diam saja. Kata-kataku habis ditelan bisumu. Engkau memandang ke arahku, tetapi seperti aku tahu bahwa engkau sesungguhnya tidak sedang menatapku.

Matamu, yang sayu itu, jelas-jelas memang terarah pada mataku yang sedang mengamatimu lekat-lekat. Namun seperti aku tahu bahwa penglihatanmu sesungguhnya tidak berhenti di mataku saja, melainkan terus mengembara jauh entah ke mana. Menyelam dalam, entah seberapa dalam, ke balik riak-riak gelombang di permukaan genangan kenyataan yang bagimu mungkin nisbi saja adanya. Seperti aku tahu bahwa itu tubuhmu yang sedang duduk di seberang meja di hadapanku dan itu bola matamu yang sedang terarah ke mataku namun engkau tidak sedang berada di situ sepenuhnya dan tidak benar-benar sedang menatapku.

Apabila semesta ini memang adalah ruang-ruang, engkau mungkin sedang tidak berada di dalam satupun ruang itu. Apabila semesta ini memang terpaut pada jerat waktu, engkau mungkin sedang melayang mengembarai kebebasan.

Seperti aku tahu semua itu, namun entah, sebab aku tidak benar-benar tahu. Hanya seperti saja. Dan aku akan rela-rela saja apabila diam itu berlangsung selamanya. Entah bagaimana, tetapi aku menyukainya.

Mungkin engkau sudah tidak benar-benar berada di situ sejak tadi, sejak sebelum kulontarkan permintaan basa-basi itu kepadamu. Permintaan yang kita sama-sama tahu adalah sebatas mencoba menciptakan obrolan saja. Mana mungkin aku akan bisa membuat puisi. Perlu sesuatu semacam bakat untuk itu. Dan aku sudah insyaf bahwa hal-hal semacam itu tidak termasuk dalam daftar apa-apa yang bisa kulakukan. Tetapi aku memang cukup ingin tahu, sekedar tahu saja, bagaimana orang bisa menciptakan puisi.

“Kau tidak bisa menciptakan puisi.”

Setelah mengembara sejauh itu (entah sejauh apa), selama itu (seingatku sampai menghabiskan dua buah lagu yang sayup-sayup kudengar terlantun dari radio entah di mana) dalam kebisuanmu, kalimat itulah yang ternyata kau bawa pulang. Bagiku sekedar mempertegas bahwa memang aku tidak punya bakat berpuisi. Tetapi tentu obrolan itu perlu dilanjutkan walaupun cuma sekedar obrolan random yang iseng-iseng saja, sebab toh aku cukup penasaran dengan penjelasan lebih lanjut darimu.

“Kupikir semua orang bisa menciptakan puisi. Ya walaupun tidak semua bisa menciptakan puisi yang bagus,” kataku.

“Tidak seorang pun bisa menciptakan puisi.”

“Tetapi engkau menulis puisi-pusi. Para penyair itu menulis puisi-puisi bagus yang sering dikutip orang-orang. Bagaimana engkau bisa berkata seperti itu?”

“Ini menurutku, terserah apa pendapatmu, terserah apa pendapat orang-orang, tetapi yang kutahu tiada seorang pun bisa menciptakan puisi. Kita paling-paling hanya sekedar menyusun kata demi kata, sebagaimana pelukis memadukan bentuk-bentuk dan warna-warna, untuk coba mewadahi secuil makna yang sempat terbersit dalam kesadaran. Kalau kebetulan kata-kata itu mampu mewadahinya, sisa-sisa getaran makna itu bisa tertinggal, dan ketika orang membaca kata-kata itu ia bisa merasakan bagaimana hatinya bergetar dan disadarinyalah suatu makna yang tersirat di baliknya.”

“Nah itu. Bukankah itu yang namanya menciptakan puisi?”

“Yang mana? Menyusun kata demi kata itu?”

“Iya, kan.”

“Itu mungkin bagian dari menyusun kalimat-kalimat dan, iya, bisa jadi akan menjadi kalimat yang puitis bisa juga tidak.”

“Berarti permasalahannya adalah bagaimana menyusun kata-kata supaya menjadi kalimat yang puitis, begitu kah?”

“Sebentar, sebentar. Aku lupa mengatakan di depan, bahwa puisi itu tidak sekedar terletak pada kata atau kalimat saja. Kecuali yang engkau maksud dengan puisi adalah kata-kata yang puitis, berarti cukup sampai di situ saja.

“Tetapi puisi, menurutku, adalah getaran makna yang salah satu media penghadirannya adalah melalui susunan kata-kata. Pada taraf itu, puisi bisa dikatakan menjadi semacam doa. Puisi berada pada dimensi yang agak melampaui kenyataan permukaan macam yang sehari-hari kita saksikan ini. Getaran-getaran puisi itu sudah, masih, dan akan terus berada di situ. Ia sudah ada jauh sebelum kita ada dan akan tetap ada setelah kita tiada.

“Bagiku, semesta ini adalah puisi agung, dan kita adalah sebagian dari puisi itu. Makanya, kita tidak mungkin bisa menciptakan puisi, sebab justru kita inilah yang tercipta dari puisi. Bahkan kita tidak menciptakan kata-kata melainkan kata-kata itu sudah ada sebelum kita menemukannya melalui eksperimentasi ekspresi, bunyi dan simbolisasi makna.

“Kata-kata adalah anak-anak tangga menuju kesadaran akan getaran makna. Kata-kata adalah titian menuju ranah puisi.

“Tetapi ada kalanya engkau tidak memerlukan kata-kata untuk mencapai kesadaran puisi. Seperti ketika aku menatap matamu, dan tiba-tiba semua kata menghilang dari dunia.”

Dan itu membuatku kehilangan kata-kata.

Aku hanya bisa terpaku manatap jauh ke dalam matamu, melampaui ruang, melampaui waktu, melampaui segala sesuatu yang kita sebut kenyataan. Inikah dunia yang tadi engkau kunjungi itu? Seperti aku tahu, meskipun tetap saja aku tak tahu.

Di dunia itu, seperti aku mendengarmu berkata bahwa engkau tidak akan pernah bisa mangajarkan padaku bagaimana menyusun kata-kata yang mampu menampung getaran puisi. Tiada seorangpun yang bisa. Tetapi aku bisa belajar bagaimana menemukan getaran-getaran puisi dari semua orang, dari siapa saja, dari apa saja.

Seperti aku mendengarmu berkata bahwa yang perlu kulakukan adalah berusaha melihat, mendengarkan, dan merasakan getaran yang sudah, sedang, dan akan selalu ada itu.

Andaikan puisi adalah hujan, sediakanlah hati yang lapang dan dalam sehingga mampu menampungnya

Jogjakarta, 16 Mei 2017