Pages - Menu

Salam di Jalan Raya

Setiap sembahyang kita akhiri dengan salam.

Salam dan takbir mungkin adalah momen-momen paling krusial dalam setiap sembahyang, paling tidak seperti itulah bagiku.

Betapa sembahyang adalah suatu ritual yang seyogyanya menjadi pengalaman liminal, fase transisional, suatu perjalanan menembus batas-batas eksistensial, menembus ruang dan waktu, melampaui segala sesuatu yang ada di dunia yang fana ini, mentransformasikan dan mentransendensikannya ke arah kekekalan, keabadian, kesejatian, awal dan akhir segala sesuatu. Sedangkan dunia, beserta segala bayang-bayang semunya, beserta segala angan dan ingin yang menghiasainya, memang seolah-olah terlampau sulit untuk sekedar dilepaskan, dikesampingkan, apalagi benar-benar ditinggalkan meski cuma sejenak.

Maka momen takbiratul ihram adalah seperti melangkahkan kaki untuk memasuki mulut terowongan yang gelap dan sunyi meninggalkan dunia yang hingar-bingar gemerlapan di belakang. Dan bayang-bayang dunia itu akan selalu mengejar menggondoli kita, menampak di kegelapan, terdengar di kesunyian, sedang kita mungkin sebenarnya perlu menghayati kegelapan dan kesunyian barang sejenak.

Dan salam adalah seperti ketika kita sampai di ujung terowongan, dan dunia kembali terbentang di depan. Betapa kita mungkin akan segera berlari menyongsongnya, bergegas kembali terjun ke dalamnya, ke dalam hingar-bingar gemerlapannya. Salam adalah momen terakhir dalam ritual sembahyang yang selalu demikian mudah kita lalui begitu saja tanpa sempat memetik hikmah karena ketergesa-gesaan menyongsong kembali dunia.

Maka sembahyang jadi begitu sulit ditegakkan berdirinya sebab bayang-bayang dunia senantiasa bergelantungan padanya. Kecuali kita mampu menyeimbangkannya, hal tersebut sepertinya akan selalu membuat sembahyang kita tidak tegak. Untuk segala hal yang membuat kita demikian mencintai dunia ini, ada keniscayaan bahwa kita akan meninggalkannya sama sekali. Untuk segala hal yang menjelma kesulitan di dunia ini, telah disertakan bersamanya kemudahan.

Begitulah, mungkin, karena aku memang hanya mengarang-ngarang saja. Sebab apalah yang kuketahui mengenai sembahyang sedang aku bukan ahli sembahyang. Betapa aku sesungguhnya belum pernah mampu melaksanakan sembahyang dengan benar.

Di awal dan di akhir sembahyangku, kutemukan diriku yang masih sama saja. Padahal, dalam angan-angaku, sembahyang seharusnya mampu menjadikanku manusia yang lebih baik. Bukankah begitu itu yang dinamakan pengalaman liminal atau transformasional? Engkau memasukinya sebagai bocah dan keluar sebagai lelaki dewasa. Dan aku masih saja selalu menjadi bocah ingusan.

Adapun salam, katanya, adalah suatu pernyataan komitmen untuk menjaga keselamatan ia yang disalami. Dan mengapa di penghujung sembahyang kita mengucapkan salam sambil menghadapkan wajah ke kanan dan ke kiri?

Beberapa kali aku terpikir akan hal itu ketika sedang berkendara di jalan raya.

Jalan raya, bagiku –entah bagimu—adalah tempat yang selalu mengancam. Siapapun tentu akan senantiasa berusaha waspada ketika sedang berada di jalan raya atau di sekitar jalan raya, entah apakah ia sedang berkendara, atau berjalan kaki. Betapa ketika berada di jalan raya, segala sesuatu dapat berubah menjadi ancaman terhadap keselamatan kita. Bahkan biarpun misalnya lampu di perempatan jalan sedang menyala hijau, selalu ada kemungkinan engkau dapat tertabrak dari samping ketika menyeberanginya. Maka jelas wajar adanya bila setiap orang menjadi sangat memperhatikan keselamatannya ketika berada di jalan raya.

Tetapi pemikiran tentang salam itu kadang membuatku berpikir begini: bukankah seharusnya akan lebih baik bila orang-orang lebih memikirkan keselamatan orang lain ketimbang hanya keselamatan dirinya sendiri di jalan raya? Dan aku jadi berpikir bahwa sesungguhnya semua peraturan dan rambu-rambu jalan raya itu diselenggarakan bukan terutama untuk melindungiku melainkan untuk melindungi keselamatan orang lain dari ancaman bahaya yang mungin kutimbulkan, entah sengaja atau tak sengaja.

Maka kita berhenti di perempatan ketika lampu sedang menyala merah, misalnya, bukanlah terutama dan semata-mata untuk memastikan keselamatan kita saja, melainkan lebih terutama untuk menjaga keselamatan orang-orang lain yang perlu menyeberang. Kita berkendara dengan hati-hati bukan untuk menjaga keselamatan kita saja, melainkan terutama untuk menjaga keselamatan banyak orang lain yang mungkin jadi terancam karena keberadaan kita.

Betapa jalan raya mungkin akan menjadi tempat yang ramah bila setiap orang berpikir demikian. Tetapi hal tersebut mungkin hanya ada di utopia saja.

lalulintas sekitar tugu jogja


____________________________________________
gambar diambil dari: https://rianamaku.wordpress.com

Jogjakarta, 21 April 2017