Pages - Menu

Senja dari Kota Kenangan

Ini adalah kota yang terdiri dari kenangan.

Suatu hari nanti engkau akan pergi mengejar impian masa depan, dan mungkin baru kan engkau sadari itu. Betapa di sudut-sudut tak terduga di kota ini selalu tertinggal benih-benih yang suatu saat kan engkau temukan kembali sebagai kenangan yang telah tumbuh semakin besar, semakin tinggi coba menggapai langit kesadarnmu dan semakin dalam menghujam ke dasar relung-relung terpencil ketaksadaranmu.

Mungkinkah kita ini sesungguhnya tak pernah benar-benar berada di sini? Pada suatu ketika, kita adalah kenangan-kenangan yang menggumpal membentuk sesuatu yang tak terlalu jelas apa. Pada saat yang lain, kita adalah impian-impian yang coba digambarkan oleh gurat-gurat nasib dan segala kemungkinan-kemungkinan yang meski berusaha kita hitung secermat-cermatnya selalu saja menjadi bilangan taktentu. Hanya ada masa lalu yang sudah berlalu atau masa depan yang tak kunjung datang, dan kita adalah titik tak tentu pada spektrum di antara yang telah berlalu dan yang tak kunjung datang.

Engkau tiba-tiba terpesona pada senja. Di matamu yang sejernih telaga terbayang keremangan langit sore itu.

Aku mengalah pada sepi yang perlahan-lahan melahap semua. Seolah-olah dunia menjadi benar-benar kosong dan aku pun menghilang ke dalamnya.

Aku menepi dalam kenangan-kenangan yang mengambang seolah-olah kabut yang menyelimuti kota ini dengan aroma nostalgia. Aku pun menjadi kabut yang mengambang di atas permukaan telaga itu.

Kau bilang senja itu begitu indah dan kau menyukainya.

Kukatakan bahwa keindahan senja itu sesungguhnya terletak pada matamu.



Mega-mega merona di cakrawala di atas pegunungan yang hampir-hampir tinggal siluet saja. Engkau mungkin sedang menyaksikannya melalui celah jendela kaca kereta yang membawamu dalam perjalanan menuju masa depan tempat segala impian bersemayam.

Sementara itu, biar kusesapi sisa senja dari bayang-bayangnya yang terpantul pada permukaan genangan air hujan yang sempat turun sore itu. Sampai genangan itu menguap menjadi kabut atau sampai malam menyembunyikannya dalam kegelapan. Bagiku, selalu sama saja. Senja adalah segala romantisme yang niscaya kan berlalu. Lalu apakah yang kan tersisa setelah itu semua?

Kabut-kabut mulai mengambang di atas aspal.

Kulahap fakta-fakta sebagai jejak-jejak kemungkinan di padang luas ketidakpastian. Betapa senja selalu menjadi barisan gerbong-gerbong cahaya yang melesat menjauh dariku. Aku yang kan selalu berada di kota ini menatap cahaya bintang-bintang di langit malam; menatap apa yang tersisa dari masa lalu yang paling jauh tertinggal. Sementara gerbong-gerbong senja membawamu pergi ke kota itu, kota yang selalu dituju semua orang yang ingin mewujudkan masa depan impiannya.

Mungkin kita sesungguhnya hanyalah sebersit rindu yang membentang tipis di antara masa lalu yang hampir terlupakan dan masa depan yang seakan tak mungkin, menunggu waktu kembali menyusut menjadi satu titik dari mana segalanya pernah bermula dan ke mana segalanya kan berakhir. Rindu yang kan sempat mecuri-curi momen untuk membuat kita sejenak menengok kembali kenangan-kenangan itu, atau membuat kita sekejap manatap lagi impian-impian itu.

Jogjakarta, 4 Mei 2017