Pages - Menu

Dari Lembaran-lembaran Lusuh di Antara Puing: Tentang Terbitnya Mentari Pagi Tadi

image: artsaus.deviantart.com

(...)

[…

dan halaman-halaman selanjutnya sudah tiada lagi. Mungkin memang tak pernah ada. Mungkin juga sebenarnya ada tetapi sudah terlepas dari buku catatan itu dan hilang entah di mana.

Bentuknya bahkan sudah hampir tak layak disebut buku sebab ia hanya lembaran-lembaran kertas yang saling merekat pada salah satu sisinya. Tiada pula sampulnya. Hanya kertas-kertas lusuh dengan goresan-goresan tinta yang di beberapa bagian juga telah luntur mungkin karena cukup lama terhanyut di lautan.

Di sekitar tempat aku menemukan buku catatan tak sempurna itu, ada pula beberapa lembaran kertas berisi tulisan-tulisan yang sepertinya ditulis oleh orang yang sama. Entah apakah itu dulunya adalah bagian dari buku catatan tak sempurna itu atau bukan. Kertas-kertas lusuh itu terserak di antara puing-puing yang mungkin adalah sisa-sisa kapal yang telah hancur entah karena apa.

]

20 Mei, sore

Kapal telah bertolak meninggalkan teluk Kai* menuju Mak*. Senja yang kelabu mengiringi kepergian kami dari tanah pegunungan emas itu. Senja yang ditutupi mendung tebal yang berarak dari balik gunung Takima* menciptakan suasana dramatis, berpadu dengan desau angin dari utara yang membawa tirai-tirai hujan yang terus mendesis di sela-sela debur gelombang menghantam lambung kapal.

Lautan-lautan gelombang memisahkan pulau-pulau nusantara.

Tidak. Lautan lah yang menyatukannya. Seperti lautan gelombang dalam diriku ini. Kan kutiti samudera kerinduan ini hingga aku berlabuh di dermagamu. Nanti, saat kita bertemu, kan kukisahkan tanah-tanah penuh misteri itu padamu.

*

21 Mei, pagi

Kapal tengah berlayar melintasi Laut Ar*. Pagi yang cukup cerah. Kapal sepertinya memang sengaja memilih lintasan yang terhindar dari daerah-daerah berawan tebal yang menurunkan hujan. Dari geladak di atas kapal kulihat gumpalan awan-awan tebal di kejauhan, hampir di segala penjuru. Begitu tebal sampai-sampai sinar matahari tak dapat menembusnya dan warnanya menjadi kelabu gelap. Di bawah gumpalan-gumpalan itu terjuntai tirai-tirai hujan yang muntupi batas cakrawala.

Lima belas menit kemudian, kapal akhirnya tak dapat lagi menghindari wilayah-wilayah gelap itu dan mau tak mau masuk juga ke dunia dalam hujan. Di luar, segala sesuatu pun menjadi kelabu. Apalah yang bisa kukisahkan dari kelabunya dunia itu padamu. Biar kuceritakan tentang bagaimana mentari terbit pagi tadi saja:

Di tempat kapal ini berlayar, langit memang masih cukup cerah. Tetapi jauh di belakang sana, di sebelah timur, mendung berarak pelan di langit. Ada yang membuat perasaanku jadi muram bila menyaksikan mendung itu. Mungkin karena awan-awan hitam tebal itu membuat seolah-olah fajar takkan terbit.

Apalah yang bisa diharapkan dari hari yang tak terlahir sebagai fajar dengan kehangatan sinar mentarinya selain hidup yang kehilangan gairah karena cakrawala memburam muram. Maka aku hanya terus membaringkan tubuh di bilik tidur saja sembari mencoba menemukan sesuatu yang bisa menggugah dari dalam buku-buku yang sudah beberapa kali selesai kubaca.

Lalu ada yang membuka pintu bilik dan masuklah berkas-berkas cahaya keemasan ke dalam ruangan itu. Dari manakah datangnya cahaya itu, tanyaku dalam hati. Maka aku beranjak ke luar untuk mencari tahu.

Di ujung timur sana, matahari rupanya telah menyembul keluar dari balik lautan yang nyaris tanpa gelombang kecuali riak-riak kecil yang memantulkan bayangan langit buram. Meski mendung pekat masih menggantung di hampir seluruh hamparan langit timur dan menjatuhkan hujan yang nampak seperti serat-serat tipis terburai dari gumpalan awan, sinar mentari ternyata mampu menembus serat-serat hujan yang berada di celah antara garis horison dan gumpalan awan mendung itu, membiaskan warna keemasan yang menyebar ke seluruh penjuru cakrawala timur yang seharusnya kelabu karena mendung.

Sementara di sebelah barat, di arah haluan kapal, terlihat langit biru cerah tanpa awan sama sekali.
Cakrawala menjadi kontras, antara cerah dan mendung, antara biru dan jingga. Kunikmati momen kesementaraan yang demikian indah itu dari sisi lambung kanan kapal. Kulahap kedalam segenap ruang-ruang-ruang rindu di hatiku.

Momen itu hanya sempat berlangsung selama beberapa menit saja, sampai mentari naik dan masuk ke dalam mendung. Tinggallah pagi kelabu yang muram kembali. Betapa yang indah-indah itu selalu sementara saja adanya, pikirku. Tak bisakah ia tinggal lebih lama lagi. Sekedar menemaniku yang sedang merindu.

Tetapi lalu, seolah mendengarkan keluhku, matahari menampakkan dirinya lagi di atas mendung. Ia menyinari dunia di atas lautan ini dengan lebih leluasa. Tahukah engkau apa yang dibawanya dari balik mendung?

Pelangi. Lengkung warna-warni cantik yang seolah menyembul dari dalam lautan dan melesat menembus awan putih hingga ke langit biru di sebelah barat sana.

Lalu aku tahu, betapa keindahan itu tidak tinggal pada tempat atau penggal momen tertentu saja, melainkan selalu bergerak bersama proses perubahan-perubahan, mengalir bersama waktu. Oleh sebab itu kah, senja-senja yang berusaha kutangkap dengan kotak penangkap cahaya itu selalu hanya menjadi sekedar gambar tak sempurna sebagai senja?

Tetapi senjaku mungkin memang takkan pernah sempurna tanpamu.

(bersambung...)

Jogjakarta,  4, 6 Agustus 2016