Pages - Menu

Terbuat Dari Apakah Aku (Kenangan)*?

image: eddiecalz.deviantart.com 
(...)

Aku melangkah.

Terus saja melangkah.

Meninggalkan senja di belakang menuju malam di depan.

Langit yang tadinya menyala merah membara kini sudah semakin redup. Perlahan menjadi segaris tipis berkilau cemerlang dengan bulatan cahaya merah di tengahnya yang lambat laun kian tenggelam ke dalam ketidaksempurnaan dirinya. Lalu yang tersisa kemudian tinggal semburatnya. Di sana, di pojok terjauh langit sebelah barat. Semakin redup dan kian meredup. Seiring dengan memudarnya bayang-bayang di depanku. Seirama gelap yang pelan-pelan merambat naik ke langit dari balik punggung bayang-bayang pegunungan jauh di timur sana. Gelap itu merambat seperti tanaman-tanaman menjalari dinding. Gelap itu menjalari langit. Pelan. Sangat pelan, namun begitu pasti.

Aku berjalan di bawah kelam dihantui kenangan-kenangan hampa. Aku berjalan di dalam malam didampingi dingin hembusan angin. Seperti menyadari keajaiban jika menyadari bahwa jantung ini masih berdetak dan aku masih mengenyam langkah demi langkah sementara yang kuhirup setiap kali bernafas adalah kehampaan yang begitu dingin.

Kupejamkan mata. Kukatupkan bibir. Kututup kedua telinga dengan kedua tangan. Apa bedanya. Toh aku berada dalam kegelapan pekat. Apa yang bisa dilihat. Toh aku berada sendirian. Kepada siapa bisa bicara. Toh aku berada di tengah kesunyian. Apa yang mesti didengarkan.

Hanya jantungku yang masih tetap berdetak seperti memandu irama langkahku. Andai aku bisa, mungkin sudah kuhentikan saja detak itu. Andai aku bisa, mungkin sudah kutiadakan saja diriku. Namun ternyata aku tak bisa. Itu di luar kuasaku. Betapa ‘aku’ ini ternyata tak berada dalam kuasaku.

Apakah ‘aku’ ini?

Sekedar puing yang terombang-ambing di tengah samudera yang begitu luas. Hampir-hampir tiada arti. Tiada gunanya. Bahkan mungkin malah lebih banyak menimbulkan permasalahan yang tidak perlu.

Kenangan-kenangan masih juga berkecamuk dalam jiwaku. Menimbulkan resah yang entah mesti diapakan. Membanjir memenuhi ruang-waktu diriku.

Seperti ‘aku’, kenangan adalah sesuatu yang tak sanggup kuapa-apakan. Terbuat dari apakah kenangan?* Tak terikat ruang, tak tertaut waktu. Kenangan-kenangan selalu saja bisa ada tak peduli kapan, tak peduli di mana. Meski sudah jauh kutinggalkan kota itu di belakang langkah-langkahku. Tak peduli berapa lama sudah engkau pergi, entah ke mana, memisahkan kita, meninggalkan aku dan engkau dalam kesendirian masing-masing.

Aku dan kenangan seperti dua hal yang terlanjur melekat satu dengan yang lain. Dua hal yang terlanjur menyatu. Tak bisa ada yang satu tanpa ada yang lain. Tak bisa hilang yang satu tanpa hilang yang lain.

Oh, lalu demi apa aku melangkah sejauh ini, dan bahkan masih saja terus melangkah? Seolah langkah-langkah ini bukan langkah yang kugerakkan. Seolah hidup ini bukan hidup yang kumiliki.

Apa pula kehidupan itu? Pantaskah aku mengatakan bahwa ini hidupku, itu hidupmu, hidupku dan hidupmu berbeda? Apakah kehidupan itu dimiliki oleh masing-masing aku (dalam kita), ataukah masing-masing aku (dalam kita) yang justru berada dalam kehidupan yang sesungguhnya merupakan suatu kontinum semesta yang utuh?

*

Ada pertanyaan-pertanyaan yang seolah memang ditakdirkan untuk selamanya menjadi pertanyaan. Tak peduli seberapa banyak buku yang telah engkau baca. Tak peduli seberapa banyak peristiwa yang sudah engkau alami. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan selalu menggantung di sana. Di atas sana. Menaungimu sepanjang jatah waktu kehidupan bagimu. Menelurkan beribu-ribu kemungkinan jawaban yang mau tak mau mesti engkau terima sebagai jawaban sementara yang menuntunmu berada lebih dekat dengan kebenaran. Terkadang biru, kadang kelabu, lain waktu merah keemasan, atau bahkan hitam. Seperti langit dalam cakrawala pandangmu. Seperti horison di sebelah barat, timur, utara, selatan, atau di antara itu.

Mungkin itu baru kemarin. Atau sudah bertahun-tahun yang lalu. Seperti sudah kukatakan padamu, aku dan kenangan-kenangan seolah-olah telah terlepas dari waktu, terbebas dari ruang. Aku mengembara. Aku tetap di sini. Hampir-hampir tak ada lagi bedanya. Namun aku memang masih terus menempuh perjalanan. Tiada alasan. Tanpa tujuan pasti. Aku hanya merasa bahwa hidup bagiku adalah untuk terus melangkah. Dari mana. Ke mana. Nantinya sama saja.

Yang kubawa selalu rindu. Beserta baying-bayang dirimu. Juga senja yang ternyata memang tak pernah sama. Dalam wujud potret-potret tak sempurna. Sekedar untuk menghiburku di kala resah datang bersama hujan yang basah.

Aku telah berlayar ke penjuru negeri. Membawa serta sebuah kotak ajaib untuk menangkap cahaya. Kutangkap cahaya setiap senja yang berlalu, lalu kucetak seukuran kartu pos. Dan akan kutuliskan puisi di baliknya. Nanti, bila kapal ini bersandar di pelabuhan dekat kota, akan kusempatkan mengirimkannya lewat pos.

(bersambung...)

Jogjakarta, 2 Agustus 2016
----------
*) dari cerpen Kyoto Monogatari oleh Seno Gumira Ajidarma