Pages - Menu

Bermula Kembali

Suatu hari, manusia akan merindukan masa lalu. Ketika segala hal dilakukan dengan lambat. Ketika hidup adalah daun yang terapung di permukaan air sungai. Mengalir dalam irama yang selaras dengan arus. Ketika waktu adalah sesuatu yang dihargai dengan kualitas, bukan kuantitas.

Suatu hari, di hari itu, orang akan mempertanyakan arti semua. Dan ketika mereka tak menemukan jawaban, semua akan dibuang. Lalu mereka mencari jalan kembali ke masa lalu.

Dan segalanya akan bermula kembali..

[]

Salah satu hal yang sering kulakukan ketika berada di rumah dan sedang tidak ada kerjaan adalah duduk di depan, di teras yang menghadap ke jalan raya, serta barisan perbukitan jauh di utara. Dan aku hanya menikmati apa saja yang bisa kusaksikan dan kurasakan. Awan, pepohonan, batas antara puncak bukit dan langit, sapi-sapi yang dilepas mencari makan, elang yang melayang mengintai ayam-ayam yang sibuk mengorek-ngorek tanah mencari makan, terik matahari, angin. Dan yang sering menyita perhatian adalah kendaraan yang melintas. Karena suara bisingnya yang terlalu kontras dengan suasana, selalu menarikku kembali dari lamunan.

Tetapi belakangan, terakhir kali aku duduk di tempat yang sama, suara-suara itu tidak terasa mengganggu lagi. Padahal jika kuhitung-hitung, jumlah kendaraan yang lewat jauh lebih banyak dalam selang waktu yang sama dibandingkan dulu; beberapa tahun yang lalu. Dan bila kuingat-ingat, lima belas tahun yang lalu, jumlah kendaraan yang melewati jalan itu setiap harinya bahkan jauh lebih sedikit. Kau bisa menghitungnya dengan jari.

Mungkin inilah yang dinamakan habituasi. Ketika sesuatu berubah, awalnya kau mungkin merasa tidak nyaman, tetapi lama-kelamaan kau akan terbiasa. Terlebih bila perubahan itu terjadi secara perlahan dan berangsur-angsur. Lagipula, apa yang bisa kau lakukan untuk mencegahnya? Semua orang menghadapi hal yang sama, jadi tidak perlu takut. Sementara perubahan, kata orang-orang bijak, adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan. Perubahan menandai perjalanan waktu, perubahan mewarnai zaman.

Lihatlah sejarah. Zaman berubah. Manusia berubah. Di mana-mana perubahan. Kehidupan pun berubah menuju efisiensi. Orang-orang memang punya jam, tetapi waktu tidak lagi diukur dengan detik dan menit, melainkan dengan uang. Waktu adalah uang, kata pepatah. Ilmu ekonomi berkembang dan menempati posisi sentral dalam dinamika kehidupan manusia. Zaman pun berubah semakin cepat, dan meninggalkan orang-orang yang tak mampu mengikuti perubahan itu jauh di belakang.

Orang-orang ini, adalah mereka yang terbuang.  Andaikan zaman adalah asteroid yang memasuki medan gravitasi sebuah planet, perubahan zaman adalah kelajuan asteroid tersebut. Semakin lama semakin cepat zaman berubah, sebagaimana asteroid itu bertambah laju ketika semakin mendekati planet. Lalu saat menerobos atmosfer dengan kecepatan tinggi, akan ada serpih-serpih yang terkikis dan terbakar. Itulah mereka. Kau bisa melihat orang-orang ini duduk di pinggiran jalan ketika kau sedang melaju dengan sepeda motormu. Mereka menengadah, memohon pada zaman yang tak pernah peduli. Tak ada pilihan bagi mereka selain rela tergerus dan hancur. Tetapi paling tidak, serpihan itu membuat bintang jatuh terlihat indah dari kejauhan, dan orang-orang bisa berharap (Ironis).

Zaman akan terus berubah semakin cepat. Teknologi mendukungnya. Para ilmuwan terus melakukan inovasi. Lihatlah, bagi mereka yang selalu mengikuti perkembangan zaman, hidup terasa semakin mudah, semakin efisien. Segalanya dilakukan serba cepat. Kau bisa melakukan banyak hal secara bersamaan. Dalam selang waktu yang sama kau bisa menghasilkan jauh lebih banyak. Dan  zaman, akan selalu berubah lebih cepat.

Bisakah kau bayangkan apa jadinya masa depan?

Ini yang terbayang olehku:
Di masa depan, orang-orang akan merasa bahwa waktu yang mereka gunakan untuk tidur adalah waktu yang terbuang dan tidak produktif. Kemudian mereka akan berusaha memanfaatkan waktu itu untuk sesuatu yang lebih menghasilkan. Ada beberapa kemungkinan:
Pertama, mereka menciptakan suatu perangkat yang bisa ditanam di otak. Perangkat tersebut akan aktif begitu seseorang tertidur, dan menciptakan mimpi (Kau bisa mengatur sendiri program mimpinya). Dalam mimpi tersebut seseorang bisa melakukan pekerjaan seperti di dunia nyata, dan hasil kerjanya berupa data-data digital yang dapat disimpan dalam memori eksternal (Mengapa bukan memori internal? Karena ketika terbangun, sebagian besar mimpi akan terlupakan). Ketika bangun, seseorang tinggal memindahkan data tersebut dan menggabungkannya dengan hasil pekerjaan kemarin.

Kedua, mereka menciptakan sejenis obat-obatan dalam bentuk kapsul yang ketika dikonsumsi akan memberi efek sebagaimana setelah tertidur. Jadi orang tidak perlu benar-benar tertidur dan bisa tetap melakukan pekerjaannya. Obat-obatan ini ada berbagai jenis dengan efek yang berbeda untuk masing-masing jenis. Obat tidur, makan, olah raga, relaksasi, dan sebagainya. Praktis.

Ketiga, mereka menciptakan kloning dirinya, namun dengan beberapa persyaratan dan ketentuan ketat. Pertama, hanya ada satu orang yang asli, dan hanya orang itu yang memiliki hak penuh sebagai manusia. Yang asli ini ditandai dengan sejenis radiasi yang akan merubah struktur gennya sehingga berbeda dengan klonnya yang lain. Kedua, dalam otak setiap klon ditanamkan sebuah perangkat yang membatasi kemampuan kognitif dan afeksi mereka sehingga masing-masing klon tidak akan berkembang menjadi sesuatu yang berbahaya nantinya. Klon-klon ini akan menjadi lebih seperti bionic, dan dapat dikendalikan oleh yang asli. Jadi, kau bisa mengatur jadwal tidurmu bergantian dengan klon-klonmu (Yah, klon-klon ini juga butuh tidur) sehingga berbagai pekerjaan dapat tetap terlaksana.

Intinya, di masa depan manusia akan berusaha memanfaatkan setiap waktu yang ada. Bahkan mungkin mereka akan berusaha menaklukkan ruang-waktu (ini sudah diceritakan di berbagai film).

Dan, pada saatnya, manusia akan menanyakan banyak hal. Terlalu banyak, hingga mereka tak sanggup memikirkan jawabannya. Lalu suatu hari, manusia akan merindukan masa lalu. Ketika segala hal dilakukan dengan lambat. Ketika hidup adalah daun yang terapung di permukaan air sungai. Mengalir dalam irama yang selaras dengan arus. Ketika waktu adalah sesuatu yang dihargai dengan kualitas, bukan kuantitas.

Manusia akan kembali ke masa lalu..

Terima Kasih..

Malam ini sudah akan mencapai ujungnya. Sekarang pukul tiga dini hari. Dan aku masih terjaga, merenungkan jawaban atas sebuah pertanyaan dari seorang kawan. “Apa makna ‘terima kasih’ dan seberapa penting hal itu menurutmu?”

Sudah lebih dari tiga jam yang lalu pesan teks itu masuk, dan baru sekarang aku menemukan jawabanku. Kukatakan ‘jawabanku,’ karena memang jawaban tersebut adalah hasil perenunganku. Dan kamu sah-sah saja bila tidak sependapat dengannya. Kamu berhak punya jawaban sendiri.

[]

Kugenggam ponselku. Layarnya menyala menampilkan halaman kosong, hanya ada sebuah kursor berkedip-kedip. Dan aku hanya memandangi kekosongan itu dengan jempol menempel pada keypad namun beku tak bergerak.

Terima kasih.. apa maknanya? Pikiranku melayang entah ke mana. Menuju dunia kosong.

Dunia kosong.

Adakah makna di dalam kalimat pendek itu? Aku mulai mengisi dunia kosong itu dengan momen-momen ketika seseorang mengucapkan terima kasih pada orang lain. Apa yang sesungguhnya berada di dalam hati orang yang mengucapkan kata-kata itu pada orang lain? Apa yang ada dalam hati ketika aku mengucapkannya pada orang lain?

Jangan-jangan kalimat itu cuma sekedar ucapan kosong yang tak bermakna apa-apa buat kita. Kita menggunakannya pada saat-saat tertentu, pada orang-orang tertentu, hanya berdasarkan skema yang telah terbentuk selama hidup. Mungkin kita sudah melupakan makna sesungguhnya dari kalimat itu.

Terima kasih..

Dan dunia itu kembali kosong. Apa yang bisa kamu harapkan dari sebuah dunia yang kosong? Sebuah jawaban. Aku harap sebuah jawaban muncul. Aku akan berterima kasih bila jawaban itu muncul.

Dan begitulah aku menemukan jawaban.

[]

Mengucapkan ‘terima kasih’ pada orang lain, berarti kamu menyadari dan mengakui bahwa orang tersebut telah membagi keberadaannya denganmu. Suatu bentuk pengakuan bahwa sesuatu yang lain itu ada, dan bersamanya, kamu ada di dunia. Seperti mengatakan “awalnya kupikir ini duniaku, tetapi sekarang aku tahu kau ada di dalamnya.” Bila seseorang berterima kasih padaku, berarti aku nyata. Aku adalah apa yang kulakukan.

Kalau belum pernah ada yang mengucapkan ‘terima kasih’ padamu, berarti kamu belum ada di dunia. Kamu butuh pengakuan dari orang lain untuk mengetahui bahwa dirimu ada. Seandainya di dunia kamu sendirian, kamu tidak akan merasa ada. Kamu butuh saksi. Kamu butuh sesuatu yang lain sebagai ‘pengamat.' Terima kasih berarti: ya, kau ada di sini..

(Jogja, 21 Januari 2011. 03:58 WIB)


"Seandainya di dunia hanya ada seberkas titik, tanpa kehadiran sesuatu yang lain sebagai saksi, siapa yang tahu titik itu ada? Bahkan dirinya sendiri.."

Cinta Dalam Lukisan Waktu

Aku hanya ingin berada di sini
Sekedar mendengarmu berbisik lirih pada angin yang terdiam
Coba meraba tiap lekuk udara dalam sunyi yang aneh
Sebab detak jam dinding memburu ujung-ujung pena
di atas kertas-kertas putih
menimbulkan bunyi sekarat torehan huruf tak sempurna menjadi kata
Namun bagiku, terdengar seperti suara dedaun,
rerumput, dan angin yang membelai sabana
mengantar serbuk-serbuk bunga dan titik-titik air
pada hidup yang sekarat

Aku hanya ingin berada di sini
Sekedar menyaksikan bayangmu tergambar di balik bola mataku
Coba merekam tiap potongan waktu dalam rasa yang aneh
Sebab tiap jawaban yang kudengar ketika bertanya
pada diri yang jatuh hati pada sepi adalah sunyi
Dan entah mengapa wajah ini tersenyum
ketika ujung jarimu kau ketukkan pada ujung pena
lalu pindah ke pipimu yang merona
Seperti langit timur ketika fajar terbit
menyusupkan harapan pada ruang-waktu
dan ragu luruh menjadi langkah-langkah di atas jejak

Aku hanya ingin berada di sini
Menikmati alir waktu sungai ketidak-abadian
yang pelan mengikis tepi kecemasan, menjatuhkan ketakutan ke dalam pusaran
Karena esok belum tentu datang, sedang kita masih terdiam dalam dunia masing-masing
Tetapi aku hanya ingin berada di sini
Membiarkan masa lalu menelan tiap detik menjadi lukisan dalam pigura keabadian
Cukuplah kunikmati bayangmu, dan tersenyum meraba rona wajahmu di lukisan waktu


17-18 Jan 2011
304 dan kamar berantakan
Menunggu waktu ujian habis, kata-kata bercucuran, menggenang, dan mengalir...Mengendap saat terbangun dari mimpi.

Sedikit Pelajaran Dari Sindoro

Hey, selamat belajar lagi. Kali ini dari Sindoro. Hati-hati, sampai jumpa. NGU!
 
Begitu bunyi pesan singkat yang kuterima ketika sedang dalam perjalanan menuju terminal Jombor. Dari seorang kawan. ‘Belajar,’ katanya. Sempat membuatku termenung dan; ya, alam memang guru yang paling baik. Dia mengajari kita banyak hal melalui dirinya. Namun memang apa yang diajarkannya tidak selalu tersurat sebagaimana yang ada di dalam buku-buku teks, melainkan tersirat di balik segala yang terjadi. Ada saat di mana kita harus menyelaraskan diri untuk bisa memahami. Dan kebanyakan, kita harus lebih menggunakan rasa daripada pikir.

Ini untuk pertama kalinya aku akan mendaki Sindoro. Rasanya tentu akan berbeda seandainya gunung di hadapanku adalah Merbabu, sebab telah tiga kali aku sampai di puncaknya. ‘Bosan,’ mungkin tidak. Karena sesungguhnya setiap pendakian memiliki cerita unik tersendiri, meskipun kau mendaki gunung yang sama. Namun memang akan ada sedikit kesombongan di hati kecil ini, ketika tantangan yang ada di hadapan adalah tantangan yang sudah pernah dilalui sebelumnya. Sedangkan Sindoro, adalah hal baru buatku.

Seperti setiap gunung yang pernah kulihat dari bawah selama hidupku; ya, aku akui mereka sangat besar, mereka berdiri menjulang tinggi, mereka gagah perkasa. Tetapi di bawah sini manusia-manusia juga terlihat besar. Dari bawah sini, ada sebersit rasa meremehkan. Kita sering kali terlalu merasa diri kuat, merasa diri tangguh. Kita tidak menyadari betapa kecil diri ini di tengah hamparan dunia. Betapa rendah diri ini di bawah bentangan langit. Betapa lemah diri ini di dalam rengkuhan semesta. Jika kamu melihat bintang, ya, mereka terlihat kecil. Tetapi andai kau mencoba melihat dirimu di bawah bintang-bintang itu, lihatlah sekecil apa dirimu; kau bahkan tidak terlihat saking kecilnya.

Dan aku, ketika berdiri di salah satu punggung Sindoro di tengah perjalanan naik, kulihat betapa kecil manusia-manusia di bawah sana. Rumah-rumah di kaki gunung, petak-petak ladang di lerengnya yang landai, kendaraan-kendaraan yang berlalu dua arah melalui segaris kecil jalan jauh di sana; semuanya terlihat begitu kecil di hadapan gundukan tanah yang sedang kupijak. Lalu apa yang pantas disombongkan?

Aku tertunduk, melihat kawan-kawan yang lain sedang berusaha langkah demi langkah mendaki lereng terjal Sindoro. Aku tahu bagaimana rasanya menanggung beban berat di punggung sambil memaksa tungkai lemah ini menjejak tanah dan batu-batu demi membawa tubuh sedikit lebih tinggi. Aku tahu bagaimana rasanya menampung nafas dalam-dalam di dada untuk mengumpulkan tenaga, berusaha mengabaikan jerit sendi-sendi di kaki, teriak otot-otot di paha dan betis, dan memaksanya terus berjalan meski pelan. Aku bisa mendengar degup jantung di dalam dada seolah ia adalah genderang perang. Rasanya di dalam diri sendiri terjadi perang, antara tekad untuk berjuang dan keinginan untuk menyerah. Dan perang itu menghasilkan umpatan-umpatan tanpa arah. Entah marah, entah kecewa, entah pada apa. Rasanya hanya ingin meledak begitu saja.

Lalu aku duduk pada bongkahan batu, bersandar sejenak pada carrier yang menampung beban di punggung, menutup mata dan menarik nafas panjang. Ketika nafas terhembus dan mata terbuka, aku bersyukur melihat langit cerah berawan. Lalu mata mulai menangkap gunung-gunung jauh di timur sana: Merapi, Merbabu, dan sedikit ke timur laut, Lawu, serta di hadapan situ, Sumbing. Juga barisan perbukitan Menoreh di selatan yang membentang ke barat. Biru, jauh. Rasanya kesombongan ini luntur.

Aku berdiri lagi. Tubuh ini rupanya telah dingin. Ia coba berontak ketika kutegakkan badan, terlebih ketika kupaksakan langkah sedikit demi sedikit. Tetapi, sensasinya jauh berbeda. Mungkin karena tanpa beban kesombongan lagi. Meski rasanya sangat tidak nyaman, tapi perjalanan selanjutnya jadi lebih bisa kunikmati. Tiap rasa sakit mengingatkan betapa nikmat seandainya tubuh ini sehat, rasa lapar mengingatkan betapa nikmat makanan yang biasanya dimakan setiap hari; segala yang setiap hari kita anggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja tiba-tiba menjadi sesuatu yang sepantasnya disyukuri. Dan kita belajar berterima kasih.

Langkah-langkah ini menjadi jauh lebih bermakna. Ketika wajah tertunduk melihat jalan setapak berbatu di bawah, bentang alam dan hamparan dataran di belakang, dan gunung Sindoro yang berdiri tinggi di depan, harapan dan tekad menjadi sumber kekuatan. Dari bawah sana, puncak Sindoro bisa terlihat. Dari sini, kau hanya bisa berharap bahwa ujung di atas sana adalah puncak, meski ternyata jalan masih terbentang panjang. Jika menyerah, sia-sia rasanya setiap langkah yang telah dilakukan. Karenanya, kau selalu butuh tekad yang kuat. Kau selalu butuh motivasi. Satu langkah adalah sesuatu berharga yang akan mengantarkan dirimu ke puncak, tetapi hanya bila kau terus melangkah. Tetapi akan selalu ada alasan untuk berhenti. Pertanyaannya adalah, bisakah kau terus melangkah dengan sejuta alasan untuk berhenti?

Dan angin berhembus diikuti tarian rerumputan.
Dan kabut datang, lalu pergi; setia bersama angin.
Dan matahari.
Dan langit.
Dan bumi yang kupijak.
Ajari aku hidup..

Ruang Kuliah Nomor Empat

Hari ini, Jumat tiga puluh satu Desember
di ruang kuliah nomor empat
lantai tiga gedung kuliah

Di bangku-bangku kosong ku cari
sebekas kata yang mungkin
terserak, tergores pada wajah
sendu yang setia melingkupi
rona langit ketika matahari terbenam
di ujung hari; sinar matamu yang teduh

Dengan dagu bertopang di atas buku-buku jari,
sambil lalu mendengar oceh datar Pak Tua yang duduk di depan sana;
seperti gumam senandung pengantar tidur.

Pada lembar-lembar puisi
coba kucari arti
coba kupahami makna
sebersit rasa yang ku kenal, tetapi
selalu asing

Dan masih saja
dia mengambang di tengah danau
di tengah kabut
sementara aku, bergeming pun tidak
di tepi; menyendiri


31.12.2010