Pages - Menu

Sedikit Pelajaran Dari Sindoro

Hey, selamat belajar lagi. Kali ini dari Sindoro. Hati-hati, sampai jumpa. NGU!
 
Begitu bunyi pesan singkat yang kuterima ketika sedang dalam perjalanan menuju terminal Jombor. Dari seorang kawan. ‘Belajar,’ katanya. Sempat membuatku termenung dan; ya, alam memang guru yang paling baik. Dia mengajari kita banyak hal melalui dirinya. Namun memang apa yang diajarkannya tidak selalu tersurat sebagaimana yang ada di dalam buku-buku teks, melainkan tersirat di balik segala yang terjadi. Ada saat di mana kita harus menyelaraskan diri untuk bisa memahami. Dan kebanyakan, kita harus lebih menggunakan rasa daripada pikir.

Ini untuk pertama kalinya aku akan mendaki Sindoro. Rasanya tentu akan berbeda seandainya gunung di hadapanku adalah Merbabu, sebab telah tiga kali aku sampai di puncaknya. ‘Bosan,’ mungkin tidak. Karena sesungguhnya setiap pendakian memiliki cerita unik tersendiri, meskipun kau mendaki gunung yang sama. Namun memang akan ada sedikit kesombongan di hati kecil ini, ketika tantangan yang ada di hadapan adalah tantangan yang sudah pernah dilalui sebelumnya. Sedangkan Sindoro, adalah hal baru buatku.

Seperti setiap gunung yang pernah kulihat dari bawah selama hidupku; ya, aku akui mereka sangat besar, mereka berdiri menjulang tinggi, mereka gagah perkasa. Tetapi di bawah sini manusia-manusia juga terlihat besar. Dari bawah sini, ada sebersit rasa meremehkan. Kita sering kali terlalu merasa diri kuat, merasa diri tangguh. Kita tidak menyadari betapa kecil diri ini di tengah hamparan dunia. Betapa rendah diri ini di bawah bentangan langit. Betapa lemah diri ini di dalam rengkuhan semesta. Jika kamu melihat bintang, ya, mereka terlihat kecil. Tetapi andai kau mencoba melihat dirimu di bawah bintang-bintang itu, lihatlah sekecil apa dirimu; kau bahkan tidak terlihat saking kecilnya.

Dan aku, ketika berdiri di salah satu punggung Sindoro di tengah perjalanan naik, kulihat betapa kecil manusia-manusia di bawah sana. Rumah-rumah di kaki gunung, petak-petak ladang di lerengnya yang landai, kendaraan-kendaraan yang berlalu dua arah melalui segaris kecil jalan jauh di sana; semuanya terlihat begitu kecil di hadapan gundukan tanah yang sedang kupijak. Lalu apa yang pantas disombongkan?

Aku tertunduk, melihat kawan-kawan yang lain sedang berusaha langkah demi langkah mendaki lereng terjal Sindoro. Aku tahu bagaimana rasanya menanggung beban berat di punggung sambil memaksa tungkai lemah ini menjejak tanah dan batu-batu demi membawa tubuh sedikit lebih tinggi. Aku tahu bagaimana rasanya menampung nafas dalam-dalam di dada untuk mengumpulkan tenaga, berusaha mengabaikan jerit sendi-sendi di kaki, teriak otot-otot di paha dan betis, dan memaksanya terus berjalan meski pelan. Aku bisa mendengar degup jantung di dalam dada seolah ia adalah genderang perang. Rasanya di dalam diri sendiri terjadi perang, antara tekad untuk berjuang dan keinginan untuk menyerah. Dan perang itu menghasilkan umpatan-umpatan tanpa arah. Entah marah, entah kecewa, entah pada apa. Rasanya hanya ingin meledak begitu saja.

Lalu aku duduk pada bongkahan batu, bersandar sejenak pada carrier yang menampung beban di punggung, menutup mata dan menarik nafas panjang. Ketika nafas terhembus dan mata terbuka, aku bersyukur melihat langit cerah berawan. Lalu mata mulai menangkap gunung-gunung jauh di timur sana: Merapi, Merbabu, dan sedikit ke timur laut, Lawu, serta di hadapan situ, Sumbing. Juga barisan perbukitan Menoreh di selatan yang membentang ke barat. Biru, jauh. Rasanya kesombongan ini luntur.

Aku berdiri lagi. Tubuh ini rupanya telah dingin. Ia coba berontak ketika kutegakkan badan, terlebih ketika kupaksakan langkah sedikit demi sedikit. Tetapi, sensasinya jauh berbeda. Mungkin karena tanpa beban kesombongan lagi. Meski rasanya sangat tidak nyaman, tapi perjalanan selanjutnya jadi lebih bisa kunikmati. Tiap rasa sakit mengingatkan betapa nikmat seandainya tubuh ini sehat, rasa lapar mengingatkan betapa nikmat makanan yang biasanya dimakan setiap hari; segala yang setiap hari kita anggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja tiba-tiba menjadi sesuatu yang sepantasnya disyukuri. Dan kita belajar berterima kasih.

Langkah-langkah ini menjadi jauh lebih bermakna. Ketika wajah tertunduk melihat jalan setapak berbatu di bawah, bentang alam dan hamparan dataran di belakang, dan gunung Sindoro yang berdiri tinggi di depan, harapan dan tekad menjadi sumber kekuatan. Dari bawah sana, puncak Sindoro bisa terlihat. Dari sini, kau hanya bisa berharap bahwa ujung di atas sana adalah puncak, meski ternyata jalan masih terbentang panjang. Jika menyerah, sia-sia rasanya setiap langkah yang telah dilakukan. Karenanya, kau selalu butuh tekad yang kuat. Kau selalu butuh motivasi. Satu langkah adalah sesuatu berharga yang akan mengantarkan dirimu ke puncak, tetapi hanya bila kau terus melangkah. Tetapi akan selalu ada alasan untuk berhenti. Pertanyaannya adalah, bisakah kau terus melangkah dengan sejuta alasan untuk berhenti?

Dan angin berhembus diikuti tarian rerumputan.
Dan kabut datang, lalu pergi; setia bersama angin.
Dan matahari.
Dan langit.
Dan bumi yang kupijak.
Ajari aku hidup..