Pages - Menu

Metafora yang Layak Direnungkan - Membaca 'Rumah Kertas'


Buku ini saya beli sudah lebih dari setengah tahun yang lalu. Dua—tiga halaman awal sudah sempat saya baca, pasca beli waktu itu, namun tak sanggup saya lanjutkan hingga selesai. Faktor utamanya adalah karena otak saya serasa harus bekerja satu setengah kali lebih keras untuk mengunyah kalimat-kalimatnya. 

Memang, membaca novel hasil terjemahan dari bahasa asing acap kali terasa “awkward”. Struktur kalimatnya kerap terasa kurang alamiah ketika dibaca. Diksi-diksinya pun kadang terasa kurang akrab di benak. Hal itu mungkin dikarenakan penerjemah berusaha menjaga agar terjemahannya tidak terlalu menyimpang dari struktur dan nuansa teks asalnya.

Memang ada makna-makna tersirat (tak tertulis) yang tak kalah penting dibanding kata-kata yang tersurat (tertulis) yang menjadikan sebuah karya sastra sebagai sesuatu yang utuh. Bagaimana menjaga agar yang tersirat itu tak hilang ketika yang tersurat (kata-kata dan struktur kalimat) dialihbahasakan, kiranya adalah tantangan terbesar yang membuat proses menerjemah bisa jadi sama sulitnya dengan—bahkan mungkin lebih sulit daripada—proses mengarang karya itu sendiri.

Adapun buku ini, meski tak lepas dari ke-“awkward”-an itu, namun, saya rasa masih jauh lebih mending daripada beberapa buku terjemahan lain yang pernah saya icipi dalam hidup ini, yang sampai memaksa otak saya bekerja hampir tiga kali lebih keras dari biasanya.

Kabar baiknya, novel ini cuma 76 halaman saja, yang membuatnya mungkin lebih cocok disebut novela. Inilah bahan pertimbangan yang membuat saya memutuskan membelinya waktu itu, meski menyadari bahwa berdasarkan pengalaman, buku-buku terjemahan sering kali tak terlalu enak dibaca.

Karena sedang lumayan senggang, saya pun mencoba kembali membaca buku ini. Pada awalnya memang masih terasa sama “awkward”-nya dengan dahulu, namun saya paksakan saja terus. Ceritanya sendiri sebenarnya cukup menarik. Terlebih karena yang diceritakan adalah sebuah “dunia” yang cukup aneh (dalam arti mengandung suatu hal baru yang cukup asing menurut standard pengalaman hidup saya) sehingga cukup merangsang rasa penasaran saya.

Terdiri dari empat bagian, bagian satu dan dua menurut saya adalah bagian yang terberat untuk dibaca. Ibarat perjalanan mendaki gunung, itu adalah bagian yang menanjak. Misteri yang cukup solid dibangun di awal cerita seperti kian memudar daya pikatnya seiring bergulirnya cerita.

Namun, menjelang akhir bagian ke dua, sebuah kenyataan kemudian terkuak, dan bagi saya terasa bagaikan petir menyambar di siang bolong. Di satu pihak, itu memperterang jawaban atas pertanyaan yang menjadi misteri sejak awal cerita. Di sisi lain, itu menghadirkan “dunia” baru yang diselimuti misteri yang lebih pekat lagi.

Misteri yang sungguh-sungguh "unik" dan "gila" (sebagamana disebutkan dalam resensi di sampul belakang buku ini), yang menjadikan sisa cerita kemudian terasa lebih ringan dibaca, meski di saat yang sama justru semakin dalam memasuki ranah pengalaman simbolik tanpa keterangan yang gamblang.

Ibarat perjalanan turun setelah berhasil mencapai puncak gunung; ia perlahan-lahan mengendapkan metafora-metafora yang lebih dari sekadar cerita tentang peluh, lelah, letih, terik matahari, dingin kabut, dsb., dalam diri. Pada akhirnya, judul ‘Rumah Kertas’ itu pun menjadi terasa kian bermakna, sebagai sesuatu yang nyata, sekaligus sebagai metafora yang sangat layak untuk direnungkan kembali.


April, 2022