Pages - Menu

Sebuah Pintu

Ada orang gila, setiap pagi selalu terlihat duduk sendirian di perempatan jalan pojok pasar itu. Ia duduk bersila, bagai seorang pertapa, sambil bersandar pada sebatang tiang listrik yang berdempetan dengan tiang-tiang telepon serta lampu jalan, menghadap ke arah matahari terbit.

Wajahnya yang selalu kotor, selalu sumringah menampakkan gigi-giginya yang cokelat kehitam-hitaman, terhadapkan ke langit di mana matahari perlahan-lahan membumbung semakin tinggi melampaui gedung-gedung, menyibak mega-mega. Seakan-akan pandangannya tak tersilaukan sama sekali, meski matahari sudah begitu benderang menyinari dunia dan segala isinya, hingga cahayanya terpantul-pantul di antara kaca jendela gedung-gedung hotel dan perkantoran yang tinggi, dan kaca maupun body mobil-mobil mengkilat yang seperti selalu baru karena rajin dicuci. Seakan-akan ia sebenarnya sedang menyaksikan sebuah kenyataan yang sama sekali lain dengan kenyataan dunia ini.

Begitulah ia setiap kali kusaksikan secara diam-diam lewat pantulan kaca spion dari balik kaca jendela yang tertutup ketika aku kebetulan berhenti di perempatan jalan itu pada waktu lampu merah masih terasa akan lama. Kadang-kadang, melihat orang itu membuatku berpikir sambil berkhayal tentang sebuah dunia yang lain. Dunia yang mungkin serupa dengan yang dihayatinya.

Seperti ada sebuah pintu yang menunggu di hadapanku. Sebuah pintu yang tak terkunci. Pintu yang kan dapat kubuka begitu saja hanya dengan menyentuhnya dengan ujung jari sebab ia memang sudah selalu menunggu untuk kubuka. Di balik pintu itu, aku tahu, terdapat segala-galanya yang pernah kuimpikan.

Dan setiap kali, aku sudah akan membukanya ketika bunyi klakson tiba-tiba mendamparkanku kembali ke dunia ini, membuyarkan semua itu dari benakku, menyublim sejuta kali lebih cepat dari kapur barus hingga seperti memang tak pernah ada dalam ruang bernama realitas ini, menggantinya dengan sebuah kesadaran akan waktu yang selalu mudah hilang dari genggaman meski sudah begitu erat kita lilitkan di pergelangan tangan.

"Hehe he he," ia pun terkekeh sendiri membayangkan cerita yang ditulisnya ini dalam benaknya.

Seorang anak kecil yang kebetulan sedang berjalan lewat di depannya lantas mempercepat langkahnya yang sebetulnya sudah cepat itu. Dipikirnya kegilaan seperti suatu penyakit yang dapat menular lewat suara tawa yang terkekeh-kekeh.


~Yogyakarta, 18 Juni 2021