Pages - Menu

Metaversi Realita Ditinjau Dari Bangku Kayu Sebuah Warung Kopi

Di sebuah kafe antah-berantah. Aku duduk sendiri di bangku kayu dekat jendela kaca yang masih bersih kinclong nyaris tanpa noktah. Kupandangi jalanan di luar lewat celah antara daun-daun tanaman palem dan kamboja sekarat ("bersabarlah, musim hujan akan segera tiba digiring embus angin hangat kibasan rambut La Nina yang baru saja selesai mandi di lautan teduh," kataku padanya dalam hati).

Lalulintas mulai ramai. Sedang ada proyek pengerjaan trotoar yang memaksa ruas jalan utama itu mengalami penyempitan dan menyebabkan arus kendaraan agak terhambat, yang dengan sekejap memantik percik emosi para pengendara yang tak ingin terlambat tiba di ribaan kuil sakral penganut agama kapitalisma kasta menengah. Dan suara-suara klakson pun jadi lebih sering terdengar. Bahkan di dalam ruang tertutup kafe itu, suara klakson dapat terdengar jelas dan bergaung meraung-raung hingga ke dalam hatiku yang kebetulan memang sedang kosong melompong.

Orang-orang di luar sana seperti tak terusik oleh suara-suara klakson itu. Mereka tetap melakukan apa yang mereka lakukan dengan asik dan khusyuk sebagaimana biasa tanpa sedikit pun tersirat gelagat rasa terusik di paras, seakan-akan semua orang memakai penyumbat liang telinga kecuali aku.

Driver ojol berhenti di bahu jalan untuk memeriksa notifikasi aplikasi penerima orderan. Orang tua dan anak-anak jalanan menyeberangi jalan raya dengan santai memotong masifnya arus kendaraan. Tukang becak nangkring di zona larangan parkir yang disulap menjadi pangkalan tempat menunggu keputusan sidang nasib sembari menyedot asap kretek racikan sendiri dan mengisi kolom-kolom lengang di buku TTS lusuh bersampul gambar wajah perempuan pembangkit gairah hidup. Para pekerja proyek yang diimpor dari negeri seribu satu gunung tandus dengan penuh penghayatan mencungkili blok-blok semen dan beton permukaan bumi lapak kaki lima berbercak cemar air kencing dan minyak jelantah menggunakan linggis bekal mereka sendiri. Sementara di langit, mega-mega kelabu meneduhi kota, menggantung biang wabah gundah berupa pertanyaan tak kasat mata tentang apakah hujan benar-benar akan turun hari itu.

Suara lonceng berdenting mengubur sisa jejak gema dentuman besar jerit tangis bayi alam semesta di mulut rahim ketiadaan yang, setelah berjuta-juta tahun menghayati hampa-sepinya eksistensi nirhayat, kini mulai dilanda komplikasi penyesalan akut disertai anemia kronis bercampur presbiopia, degradasi rungu, demensia, osteoporosis, serta kyphoscoliosis (bak simbah-simbah kampung seberang kali di desaku yang di masa gadisnya tak pernah mengalami anugerah kenikmatan main TokTik) yang tak ketinggalan pula dipungkasi dengan taburan topping gejala-gejala quarter life crisis berakar nooetis yang ke empat kalinya, berbalut selubung sengkarut xenofobia, psikososiopati, dan berbagai jenis disrupsi psikotika dan neurotika yang belum sempat terjerumuskan ke dalam kubang frasa deskriptif panduan diagnostika DSM-XLVI dari APA sembari berdoa agar supaya Israfil tak kan pernah lupa di mana sangkakala itu disimpannya selama menikmati esensi kebosanan anakronis sepanjang periode gabutnya ini, pintu kaca terbuka meloloskan gaduh serta polusi asap debu berbau realitas harian rakyat jelata ke dalam sejuk sedan ruang syahdu seluas kamar mandi istana negara berpendingin AC 17,0845 PK, seorang perempuan berparas jelita melenggang masuk mencaplok separuh lebih jatah kuota penghayatanku atas dunia, langkahnya pelan seakan-akan kakinya yang jenjang dan ramping putih mulus berseri terawat ekstrak kulit manggis itu sedang menyeret berkarung-karung biji benih ragu imajiner hasil panen ilegal di kebun belakang rumah kekasihnya yang tajir lagi tampan dan punya banyak simpanan di mana-mana, setelah sekilas menyapukan pandang mata ke seisi ruang lengang yang hanya berisi aku dan sisa-sisa lamunanku tadi, ia menatap papan hitam tempat terpampangnya bekas torehan batang padat hasil pembakaran kalsium karbonat yang disiram asam sulfat dan diimbuhi pewarna-warni bak pelangi di pojok cakrawala tempo hari--

(ya, tempo hari, ketika seorang wanita lain yang telah sekian lama menghuni dunia fantasiku tiba-tiba mendeklarasikan kedaulatan dan kemerdekaannya atas diri dan hidupnya sendiri dalam rangka mengamini secara amat sangat lugu dan naif doa-doa harapan yang santer digaungkan di linimasa dinding teras dan beranda rimba raya media sosial daring oleh para pejuang pemuja ideologi faeminisma radikal garis terdepan berprestasi, lantas menenggak secangkir ramuan campuran pestisida, insektisida, herbisida, kopi esens sasetan, sianida, arsenik, dan penyanitasi tangan abal-abal tanpa label sertifikasi izin edar BPOM maupun kelaikan syariati MUI, menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan keris pusaka punya bapak warisan kakek moyangnya yang sukses diselundupkan dalam tote bag tie dye swakaryanya sewaktu turut serta meramaikan workshop program kerja KKN PPM tematik seorang kawan karib seprodinya, kemudian terjun dari tubir pagar pembatas tepi jembatan layang jalur bebas hambatan yang dahulu kala digadang-gadang akan mampu mengatasi problema kemacetan akut bin kronis sebuah kota di tepi utara pulau jawa pada masa pemerintahan gubernur X dan mendarat mulus di liang kubur di sisi makam buyut moyangnya)--

yang menjelma daftar menu andalan kafe itu, seakan-akan sedang menelisik langit malam untuk mencari seperangkat rasi bintang tertentu yang menyimpan separuh sobekan kitab garis nasibnya di dunia, cukup lama, sementara jari-jari kedua tangannya menjalin gelagat resah di depan rok putihnya yang dalam realita alternatif di semesta angan-anganku, berkibar-kibar laiknya bendera duka cita paska wafatnya seekor tukik yang bengek terjerat sisa-sisa jaring partikelir senyawa polimerisasi fosil belantara taman bermain kaum dinosaurus di batas pantai selatan yang kelak menjelma dalam bait lagu koplo termahsyur, dan sang barista ramah itu tetap setia menampung waktu yang seperti terbuang sia-sia ke dalam gerigi rahang entropi semesta tua dengan senyum paling hangat di wajahnya yang lebih dingin dari puncak Vinson di Antarktika.

Yogyakarta, 21 Oktober 2020