Garis dan Warna Tanpa Bentuk Tanpa Nuansa

Aku pernah menyaksikan semua itu begitu indahnya, seperti-- mungkin-- yang disaksikan si Penyair Tanpa Mata itu.

Hujan yang turun di luar dugaan, pada suatu pagi ketika kami diam-diam mencuri waktu, dari antara tumpukan daftar pekerjaan yang senantiasa memenuhi lembaran kehidupan sehari-hari dengan selaksa kesia-siaan, dan menghabiskannya dengan melakukan hal-hal tak penting yang-- entah mengapa ketika itu-- terasa lebih bermakna: mengobrol tentang sebuah dunia yang terdiri dari angan-angan belaka.

Matanya yang berbinar seperti tetes-tetes air hujan, yang jatuh dari ujung genteng yang manaungi kami, dalam terpaan sinar matahari yang menerobos celah-celah di antara rimbun dedaun pepohonan sawo dan trembesi di halaman selagi aku menyeruput susu jahe hangat sementara dia menyesap kopi hitam dari cangkir porselen putih berhias gambar bunga-bunga lili hujan merah muda berdaun hijau di sisinya.

Rambutnya yang hitam seperti malam-malam panjang seakan tak berujung yang begitu pekat melarutkan mimpi-mimpi ajaib melebihi keajaiban negeri-negeri dongeng gurun pasir maupun empat musim.

Jemarinya yang lihai mengurai serat-serat pelangi dan menjalinnya kembali menjadi rangkaian kisah-kisah tentang dunia ganjil nan ajaib yang senantiasa bersarang di balik bayang-bayang kabut misteri dalam benaknya.

Pagi-pagi buta yang kusibak mendahului mentari, roda-roda yang bergulir di jalanan sunyi, pohon jati di luar jendela kaca, bukit-bukit cerita masa lalu, kupu-kupu, sawah-sawah basah, bunga-bunga, pohon tanpa nama, sungai-sungai di lubuk lembahan, daun-daun gugur, buku-buku yang terbaca dan tak terbaca dalam kardus bekas, bercak-bercak tinta dan cat dalam galeri sepi, cangkang-cangkang kerang yang terdampar di pantai, hujan di perjalanan pulang,

... 

Segala sesuatu yang menggambarkan dirinya di atas kertas-kertas buram lembaran ingatanku, juga segala warna-warni peristiwa yang meliputi ingatanku tentang semua itu, seolah luruh begitu saja tanpa menyisakan apa-apa selain sekadar garis-garis dan warna-warna tanpa bentuk tanpa nuansa; tanpa apa yang pernah menjadikannya hidup; seperti seribu candi yang tinggal tumpukan batu-batu hitam, tak lagi mengisahkan apa-apa kepada orang-orang yang melihatnya.

Bola mata penyair itu sudah direbus dan disantap oleh para penduduk kota yang putus asa-- seolah batu bertuah sang alkemis-- namun tiada menjadikan kota itu megah di mata mereka.

Kupejamkan mataku sendiri, menyusuri belantara abadi dalam diri, menelusuri tanda-tanda tanya yang menjalari setiap jarak kelam di antara pohon-pohon kenangan dan angan-angan, dalam dunia di mana waktu dan ruang tiada berarti lagi, dan hidup dan mati tiada bedanya lagi.

Yogyakarta, 26-27 Juli 2020
*Bait ke-1 dan ke-9 diilhami oleh 'Mata Penyair' Subagio Sastrowardoyo