Dia menunggui meja-meja seperti biasanya pada hari itu, hari ulang tahunnya yang ke dua puluh. Dia selalu masuk bekerja pada hari Jumat, tetapi seandainya Jumat itu berjalan sesuai dengan yang direncanakan, dia seharusnya libur. Gadis lain yang juga bekerja paruh-waktu bersamanya di situ telah setuju untuk bertukar jadwal, semestinya: menerima teriakan dari chef yang marah selagi membawakan pumpkin gnocchi dan seafood fritto ke meja tamu bukanlah cara normal bagi seseorang untuk melewati hari ulang tahun yang ke dua puluh. Namun gadis lain itu tiba-tiba mengabari bahwa dirinya mengalami flu disertai diare dan demam 104 derajat yang mengharuskannya istirahat, jadi akhirnya dia harus tetap masuk bekerja.
Dia mendapati dirinya sedang coba menenangkan gadis yang sedang sakit itu, yang meneleponnya untuk meminta maaf. "Jangan khawatir," katanya. "Aku juga tidak mempunyai rencananya spesial, sebenarnya, walaupun ini hari ulang tahunku yang ke dua puluh."
Dan sebenarnya dia pun memang tidak terlalu kecewa. Salah satu alasannya adalah karena pertengkaran parah yang dialaminya beberapa hari sebelumnya dengan pacarnya yang seharusnya akan menemaninya malam itu. Mereka sudah bersama-sama sejak SMA, dan pertengkaran itu dipicu oleh hal sepele, sebenarnya. Tetapi tiba-tiba menjadi sebuah pertengkaran besar sampai-sampai mereka saling berteriak lama-- sangat parah, sampai-sampai dia pun yakin bahwa pertengkaran itu telah menghancurkan hubungan yang sudah sejak lama mereka jalin itu untuk selamanya. Sesuatu yang ada di dalam dirinya telah membatu dan mati. Pacarnya tak pernah lagi meneleponnya sejak pertengkaran itu, dan dia pun tidak ingin menelepon pacarnya lagi.
Tempat kerjanya adalah salah satu restoran Italia yang cukup terkenal di distrik kelas atas Rappongi di Tokyo. Berdiri sejak akhir tahun enam puluhan, dan, meskipun hidangan yang ditawarkan tidak dapat dikatakan adalah yang terbaik, reputasi tingginya tetap tak dapat dipungkiri. Punya banyak pelanggan tetap, dan tak pernah dikecewakan. Ruang makannya bersuasana tenang dan rileks tanpa sedikit pun kesan dipaksakan. Ketimbang kumpulan orang-orang muda, restoran itu menarik pelanggan yang lebih tua termasuk artis-artis panggung dan para penulis terkenal.
Dua orang pelayan penuh-waktu bekerja enam hari sepekan. Dia dan seorang pelayan wanita paruh-waktu lainnya adalah mahasiswi yang bergiliran bekerja masing-masing tiga hari sepekan. Sebagai tambahan, terdapat seorang manajer dan, di meja register, seorang perempuan paruh baya kurus yang sepertinya sudah bekerja di situ sejak restoran itu pertama kali dibuka-- benar-benar hanya duduk di situ saja, seperti seorang karakter tua yang muram dalam Little Dorrit. Dia hanya punya dua tugas: menerima pembayaran dari tamu, dan menjawab telepon. Dia berbicara hanya seperlunya dan selalu mengenakan gaun hitam yang sama. Terdapat sesuatu yang dingin dan keras padanya: bila kau biarkan dia terapung di laut pada malam hari, dia mungkin akan menenggelamkan setiap kapal yang menabraknya.
Sang manajer mungkin berusia empat puluhan akhir. Berbadan tinggi dan berbahu lebar, perawakannya menunjukkan bahwa dirinya mungkin adalah seorang olahragawan di masa mudanya, namun lemak berlebih terlihat mulai menumpuk di perut dan dagunya. Rambutnya yang pendek dan kaku mulai menipis di daerah ubun-ubun, dan ada aroma khas bujangan tua tercium darinya-- seperti koran yang disimpan lama di dalam laci bersama obat batuk sirup. Dia punya seorang paman bujangan yang baunya seperti itu.
Manajer itu selalu mengenakan setelan hitam, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu-- bukan dasi kupu-kupu tempel melainkan dasi kupu-kupu sungguhan yang disimpul dengan tangan. Adalah sebuah kebanggan tersendiri baginya bisa mengenakan dasi kupu-kupu secara sempurna tanpa melihat cermin. Kerjanya terdiri dari mengawasi kedatangan dan kepergian tamu, mengingat informasi dan situasi reservasi di dalam kepalanya, mengetahui nama-nama pelanggan tetap, menyambut mereka dengan senyuman, mendengarkan keluhan para pelanggan dengan hormat, memberi saran ahli mengenai wine, dan memantau pekerjaan para pelayan. Ia melaksanakan kewajibannya dengan cekatan setiap harinya. Adalah juga tugas khususnya untuk mengantarkan makan malam ke kamar sang pemilik restoran.
\>|</
"Sang pemilik restoran memiliki kamar sendiri di lantai enam di gedung yang sama tempat restoran itu berada," katanya. "Sebuah apartemen atau kantor atau semacamnya."
Entah bagaimana dia dan aku akhirnya sampai pada topik mengenai hari ulang tahun ke dua puluh kami-- seperti apa hari itu berlalu bagi kami masing-masing. Kebanyakan orang menyimpan ingatan tentang hari ketika mereka memasuki usia dua puluh. Baginya itu terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
"Namun ia tak pernah sama sekali memperlihatkan wajahnya di restoran ini. Satu-satunya yang pernah bertemu dengannya adalah sang manajer. Adalah tugas penting khusus baginya untuk mengantarkan makan malam sang pemilik. Tak satu pun karyawan lain tahu seperti apa wajahnya."
"Jadi, pada dasarnya, sang pemilik menerima kiriman makan malam dari restorannya sendiri."
"Betul," katanya. "Setiap malam pada pukul delapan sang manajer harus membawakan makanan ke ruangan sang pemilik. Itu adalah jam-jam tersibuk di restoran, jadi kepergian sang manajer di waktu itu selalu menjadi masalah bagi kami, tetapi tidak ada cara lain untuk itu sebab memang sudah seperti itulah selalu. Mereka akan menaruh makan malam itu di atas salah satu kereta dorong yang biasanya digunakan hotel untuk layanan kamar, sang manajer akan mendorongnya menaiki elevator dengan ekspresi wajah penuh hormat, dan lima belas menit kemudian ia akan kembali dengan tangan kosong. Kemudian satu jam kemudian ia akan naik lagi dan membawa turun kereta dorong itu dengan piring-piring dan gelas kosong. Seperti siklus sebuah jam setiap harinya. Kupikir betapa anehnya itu waktu pertama kali aku menyaksikannya. Seperti semacam ritual relijius, kau tahu. Namun, setelah cukup lama, aku pun terbiasa dengan itu dan tak pernah mempersoalkannya."
Sang pemilik selalu mendapatkan ayam. Resep dan sayuran yang menyertainya sedikit berbeda setiap hari, namun hidangan utamanya selalu ayam. Seorang chef muda pernah memberi tahunya bahwa ia pernah coba mengirim ayam panggang yang sama setiap hari selama sepekan hanya untuk melihat apa yang akan terjadi, namun tak pernah ada keluhan. Tentu saja seorang chef selalu ingin mencoba cara memasak yang berbeda, dan setiap chef baru akan menantang dirinya sendiri untuk mencoba setiap teknik memasak ayam yang diketahuinya. Mereka membuat saus yang elegan, mereka mencoba ayam dari pemasok yang berbeda, namun tak satu pun usaha mereka berpengaruh apa-apa: mereka seperti sekadar melemparkan kerikil ke dalam goa yang kosong. Semuanya menyerah dan mengirimkan pada sang pemilik hidangan ayam standar setiap harinya. Cuma itulah yang diminta dari mereka.
\>|</
Jam kerja dimulai seperti biasa di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh, 17 November. Hujan sudah mulai turun sejak sore hari, dan semakin deras memasuki malam hari. Pada pukul lima, sang manajer mengumpulkan para karyawan untuk menjelaskan menu spesial hari itu. Para pelayan harus mengingatnya kata demi kata dan tidak menggunakan catatan bantu: veal Milanese, pasta dengan topping sarden dan kol, mousse kastanye. Kadang kala sang manajer akan mengambil posisi sebagai pelanggan dan mengetes mereka dengan pertanyaan-pertanyaan. Kemudian datanglah makanan untuk para pegawai: para pelayan di restoran ini tidak boleh sampai keroncongan ketika mereka berdiri melayani pesanan tamu!
Restoran itu membuka pintunya pada pukul enam, tetapi para tamu tak banyak yang datang karena hujan deras, dan beberapa reservasi pun ada yang dibatalkan sama sekali. Para wanita tak ingin gaun mereka rusak karena hujan. Sang manajer berjalan-jalan dengan bibir terkatup rapat, dan para pelayan melewatkan waktu dengan mengelap wadah garam dan lada atau mengobrol dengan chef mengenai masakan. Dia memeriksa ruang makan dengan satu-satunya pasangan sedang duduk di salah satu meja dan mendengarkan lantunan pelan musik piano klasik dari speaker di langit-langit. Aroma hujan penghujung musim gugur yang kental menyelinap memasuki restoran itu.
Waktu itu pukul tujuh tiga puluh lebih sedikit ketika sang manajer mulai merasa tak enak badan. Ia tersungkur pada sebuah kursi dan duduk di situ cukup lama sambil memegang perutnya, seolah baru saja kena tembak. Keringat dingin membasahi dahinya. "Kurasa aku harus ke rumah sakit," ia bergumam. Baginya, sakit adalah sesuatu yang sangat tidak biasa dialaminya: ia belum pernah melewatkan sehari pun tanpa masuk bekerja sejak pertama kali mulai bekerja di restoran ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Adalah sebuah poin kebanggan lain baginya bahwa ia tak pernah tak masuk bekerja karena sakit atau cidera, tetapi ringis kesakitan di wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia sedang dalam keadaan buruk.
Dia berjalan ke luar di bawah payung dan memanggil taksi. Salah seorang pelayan memapah sang manajer pelan-pelan dan menaiki taksi itu bersamanya dan mengantarkannya ke rumah sakit terdekat. Sebelum merunduk untuk masuk ke taksi, sang manajer berkata dengan suara serak kepadanya, "aku ingin kau membawakan makan malam naik ke kamar 604 pada pukul delapan tepat. Kau hanya perlu membunyikan bel dan berkata, 'makan malam anda tiba,' lalu pergi."
"Kamar 604, betul?" katanya.
"Pukul delapan," ulangnya. "Tepat." Ia meringis lagi, masuk, dan taksi itu membawanya pergi.
\>|</
Hujan itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda setelah kepergian sang manajer, dan para pelanggan berdatangan lambat dalam selang waktu yang panjang. Tak lebih dari satu atau dua meja yang terisi dalam satu waktu, jadi bila sang manajer dan salah seorang pelayan harus pergi, inilah waktu yang paling baik. Keadaan dapat menjadi sangat menyibukkan sehingga bukan hal yang tak biasa bila bahkan dengan staf lengkap mereka masih bisa kewalahan mengatasi segala sesuatunya.
Ketika makanan untuk sang pemilik sudah siap pada pukul delapan, dia mendorong kereta layanan kamar menaiki elevator dan naik ke lantai enam. Itu adalah makanan standar untuknya: setengah botol red wine dengan tutup sumbat yang sudah dilonggarkan, seteko-panas kopi, ayam dengan sayuran kukus, sepotong roti, dan mentega. Aroma ayam matang itu dengan cepat memenuhi ruangan elevator yang sempit. Bekas-bekas tetesan air di lantai elevator menunjukkan bahwa seseorang dengan payung basah baru saja menggunakan elevator itu.
Dia mendorong kereta itu menyusuri koridor, berhenti di depan sebuah pintu bertuliskan "604." Dia mengingat-ingat kembali: 604. Itu dia. Dia membersihkan kerongkongannya dan menekan tombol di samping pintu.
Tak ada jawaban. Dia berdiri di tempat selama dua puluh detik penuh. Baru saja dia hendak menekan tombol itu lagi, pintu itu terbuka ke dalam dan seorang tua kurus muncul. Ia lebih pendek dari dia sekitar empat atau lima inci. Ia mengenakan setelan gelap dan dasi. Berlatar kemeja putihnya, dasi itu tampil mencolok dengan warna kuning kecokelatan seperti warna daun layu. Ia menampilkan kesan bersih, setelannya licin sempurna, rambut putihnya tersisir rapi: ia terlihat seperti hendak pergi untuk menghadiri sebuah pertemuan malam itu. Kerutan dalam di keningnya mengingatkannya pada jurang-jurang yang dalam dalam sebuah foto udara penampakan rupa bumi.
"Makan malam anda, pak," katanya dengan suara serak, dan diam-diam berusaha membersihkan kerongkongannya lagi Suaranya menjadi serak setiap kali dia merasa tegang.
"Makan malam?"
"Iya, pak. Pak manajer tiba-tiba sakit. Saya harus menggantikannya hari ini. Makanan anda, pak."
"Oh, aku mengerti," kata orang tua itu, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri, tangannya masih memegang gagang pintu. "Sakit, ya? katamu."
"Perutnya tiba-tiba sakit. Ia pergi ke rumah sakit. Ia pikir mungkin itu appendicitis."
"Oh, itu bukan kabar baik," kata orang tua itu, menjalankan jari-jarinya pada kerut-kerut di keningnya. "Tak baik sama sekali."
Dia membersihkan kerongkongannya lagi. "Perlu kuantarkan masuk makan malam anda, pak?" dia bertanya.
"Ah ya, tentu," orang tua itu berkata. "Ya, tentu, kalau kau ingin. Tak masalah bagiku."
Kalau aku ingin? Dia berpikir. Kata-kata yang aneh. Apakah yang seharusnya aku inginkan?
Orang tua itu membukakan pintu lebar-lebar, dan dia mendorong kereta itu masuk. Lantainya tertutupi karpet abu-abu tanpa area untuk melepaskan alas kaki. Ruangan pertama adalah ruang kerja besar, seakan-akan apartemen itu lebih merupakan kantor ketimbang tempat tinggal. Jendelanya menampakkan pemandangan Tokyo Tower, kerangka baja menara itu dihiasi lampu-lampu. Sebuah meja besar terletak di dekat jendela, dan di samping meja itu terdapat sofa dan kursi lebar. Orang tua itu menunjuk sebuah meja berlaminasi plastik di depan sofa. Dia menatakan makanannya di atas meja itu: serbet putih dan peralatan makan perak, teko kopi dan cangkir, wine dan gelas, roti dan mentega, dan piring untuk ayam dan sayuran.
"Kalau anda tak keberatan untuk meninggalkan peralatan makan di depan kamar setelah digunakan, pak, saya akan datang mengambilnya dalam satu jam."
Kata-katanya seperti telah membuatnya tersadar kembali dari kontemplasinya terhadap hidangan makan malamnya itu. "Oh, ya, tentu. Akan kuletakkan di depan. Di atas kereta. Dalam satu jam. Kalau kau ingin."
Ya, dia menjawab dalam hatinya, untuk saat ini itulah yang aku inginkan. "Apakah ada hal lain yang dapat saya lakukan untuk anda, pak?"
"Tidak, kurasa tak ada," katanya setelah berpikir sebentar. Ia mengenakan sepatu hitam yang telah disemir mengkilap. Kecil dan cantik. Ia adalah seorang yang memperhatikan gaya dalam berpakaiannya, pikirnya. Dan ia berbadan sangat tegap untuk orang seusianya.
"Baiklah, kalau begitu, pak, saya akan kembali bekerja."
"Tidak, tunggu sebentar," katanya.
"Pak?"
"Apakah kau bersedia memberikan lima menit dari waktumu, nona? Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu."
Ia sangat sopan dalam meminta sehingga itu membuat wajahnya bersemu. "Saya… rasa itu tak masalah," katanya. "Maksud saya, kalau cuma lima menit." Lagipula, ia adalah orang yang mempekerjakannya. Ia membayarnya per jam. Itu bukan persoalan dia memberi atau ia meminta waktunya. Dan orang tua ini tidak terlihat seperti seorang yang akan berbuat buruk padanya.
"Ngomong-ngomong, berapa usiamu?" orang tua itu bertanya, berdiri di dekat meja dengan lengan dilipat dan menatap langsung ke matanya.
"Saya dua puluh tahun sekarang," katanya.
"Dua puluh tahun sekarang," ia mengulangi, memicingkan matanya seperti sedang mengintip lewat celah. "Dua puluh tahun sekarang. Sejak kapan?"
"Saya baru saja beranjak dua puluh tahun," katanya. Setelah ragu sebentar, dia menambahkan, "Hari ini hari ulang tahun saya, pak."
"Aku tahu." katanya, menggaruk dagunya seakan-akan hal ini telah membuat banyak hal menjadi jelas. "Hari ini, ya? Hari ini adalah hari ulang tahunmu ke dua puluh?"
Dia mengangguk diam.
"Hidupmu di dunia ini dimulai tepat dua puluh tahun yang lalu hari ini."
"Ya, pak," katanya, "itu benar."
"Aku mengerti, aku mengerti," katanya. "Itu luar biasa. Kalau begitu, selamat ulang tahun."
"Terima kasih banyak," katanya, kemudian dia tersadar bahwa inilah pertama kalinya sepanjang hari ini seseorang mengucapkan selamat kepadanya. Tentu saja, jika orang tuanya telah menelepon dari Oita, dia mungkin akan menemukan pesan dari mereka di mesin penjawab ketika dia pulang sehabis bekerja.
"Well, well, ini berarti ada sesuatu yang patut dirayakan," katanya. "Bagaimana kalau sedikit bersulang? Kita bisa minum red wine ini."
"Terima kasih, pak, tapi saya tak bisa. Saya sedang bekerja sekarang."
"Oh, apa salahnya setegukan saja? Tak ada yang akan menyalahkanmu kalau aku bilang tak apa-apa. Cuma sedikit minuman untuk sebuah perayaan kecil."
Orang tua itu mencabut sumbat penutup dari botol dan menuangkan sedikit wine ke dalam gelasnya untuk dia. Lalu ia mengambil gelas biasa dari dalam lemari berpintu kaca dan menuang wine untuk dirinya sendiri.
"Selamat ulang tahun," katanya. "Semoga kehidupanmu kaya dan penuh makna, dan semoga tak ada yang akan menimpakan bayangan kegelapan padanya."
Mereka saling menyentuhkan bibir gelas.
Semoga tak ada yang akan menimpakan bayangan kegelapan padanya: diam-diam dia mengulang kata-kata itu untuk dirinya sendiri. Mengapa ia memilih kata-kata yang tak biasa sebagai ucapan ulang tahunnya?
"Ulang tahun ke dua puluh hanya datang sekali seumur hidupmu, nona. Hari yang tak akan dapat tergantikan."
"Ya, pak, saya mengerti," katanya, menyesap wine pelan-pelan.
"Dan di sini, pada hari spesialmu, kau sudah rela repot-repot mengantarkan makan malam kepadaku layaknya seorang peri baik hati."
"Hanya melaksanakan tugasku, pak."
"Tetap saja," orang tua itu berkata disertai beberapa kali gelengan kepala kecil. "Tetap saja, nona muda yang manis."
Orang tua itu duduk di kursi kulit di sisi mejanya dan memberi isyarat agar dia duduk di sofa. Dia duduk dengan hati-hati di pojok sofa, dengan gelas wine di tangannya. Lutut dirapatkan, dia menarik roknya, membersihkan kerongkongannya lagi. Dia melihat tetes air hujan merambati permukaan kaca. Ruangan itu hening dalam cara yang aneh.
"Hari ini kebetulan adalah ulang tahunmu yang ke dua puluh, dan ditambah lagi kau telah membawakan makan malam hangat ini untukku," orang tua itu berkata seolah mengkonfirmasi situasi. Kemudian ia meletakkan gelasnya di atas meja. "Ini pastilah mengandung makna khusus, iya kan?"
Tidak benar-benar yakin, dia berusaha tetap mengangguk.
"Maka dari itu," katanya, menyentuh dasi berwarna daun layunya, "aku merasa harus memberimu sebuah hadiah ulang tahun. Ulang tahun spesial memerlukan hadiah peringatan spesial."
Bingung, dia menggelengkan kepala dan. berkata, "Tidak, pak, tolong, tak perlu memikirkan itu. Saya hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan kepada saya.
Orang tua itu mengangkat kedua tangan dengan telapak menghadap kepadanya. "Tidak, nona, kau tak usah memikirkannya. 'Hadiah' yang kupikirkan bukanlah hadiah yang dapat diukur, bukan sesuatu yang punya label harga. Sederhananya,"-- ia meletakkan tangannya di atas meja dan mengambil satu tarikan nafas pelan dan panjang--"yang ingin kulakukan untuk seorang peri manis muda sepertimu adalah mengabulkan sebuah permohonan yang mungkin kau punyai, untuk membuat keinginanmu menjadi kenyataan. Apa saja. Apa pun saja yang kau inginkan-- dengan asumsi bahwa kau memang punya permohonan."
"Sebuah permohonan?" dia bertanya, kerongkongannya kering.
"Sesuatu yang kau inginkan menjadi kenyataan, nona. Jika kau punya sebuah permohonan-- satu permohonan, akan kukabulkan. Itulah hadiah ulang tahun yang dapat kuberikan kepadamu. Tapi kau sebaiknya memikirkannya dengan baik, sebab aku hanya bisa mengabulkan satu saja." Ia mengangkat satu jari di udara. "Cuma satu. Kau tak dapat mengubah permohonan setelahnya atau membatalkannya."
Dia tak mampu berkata-kata. Satu permohonan? Tertiup angin, butir-butir air hujan menerpa kaca jendela secara tak merata. Selama dia terdiam, orang tua itu menatap ke dalam matanya, tanpa mengatakan apa-apa. Waktu seperti berdetak tak beraturan di telinganya.
"Aku harus membuat sebuah permohonan, dan akan dikabulkan?"
Alih-alih menjawab pertanyaannya, orang tua itu-- tangannya masih diletakkan berdampingan di atas meja-- hanya tersenyum. Ia melakukannya dalam cara yang sangat alamiah dan penuh keramahan.
"Kau punya permohonan, nona-- atau tidak?" ia bertanya pelan.
\>|</
"Ini benar-benar terjadi," katanya, menatap lurus ke arahku. "Aku tidak mengarang-ngarangnya."
"Tentu saja tidak," kataku. Dia bukanlah seorang yang dapat mengarang cerita bodoh begitu saja secara spontan. "Jadi… kau membuat permohonan?"
Dia masih menatapku beberapa lama, kemudian mengembuskan nafas dengan suara desah pelan. "Jangan salah sangka," katanya. "Aku sendiri tidak 100% mengira ia serius waktu itu. Maksudku, di usia dua puluh kau tak hidup di dunia dongeng lagi. Namun, kalau ini memang adalah sebuah lelucon ciptaannya, aku harus mengakui kehebatannya mendapatkan ide secara spontan. Ia cuma orang tua necis dengan binar-binar di matanya, jadi kuputuskan untuk mengikuti permainannya. Lagipula, waktu itu adalah ulang tahunku yang ke dua puluh: kupikir aku layak mendapatkan sesuatu hal yang tidak biasa hari itu. Itu bukan masalah percaya atau tak percaya."
Aku mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.
"Kau pasti paham bagaimana perasaanku. Hari ulang tahun ke dua puluhku akan segera berlalu tanpa peristiwa spesial, tak ada yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, dan yang kulakukan cuma mengantarkan tortellini dengan saus teri ke meja orang-orang."
Aku mengangguk lagi. "Jangan khawatir," kataku. "Aku mengerti."
"Jadi aku membuat permohonan."
\>|</
Orang tua itu memandangnya lekat-lekat, tanpa kata-kata, tangan masih di atas meja. Juga berada di atas meja itu beberapa map tebal yang mungkin saja adalah buku-buku akun, ditambah alat-alat tulis, sebuah kalender, dan sebuah lampu dengan penutup hijau. Tergeletak di antara semua itu adalah sepasang tangan kecilnya yang tak ubahnya sebuah perabot meja lainnya. Rinai hujan masih terus menerpa jendela, cahaya Tokyo Tower terbiaskan di antara bulir-bulir air hujan yang pecah.
Kerut-kerut di kening orang tua itu jadi sedikit lebih dalam. "Itukah permohonanmu?"
"Ya," katanya. "Itulah permohonanku."
"Sedikit tidak biasa untuk seorang gadis seusiamu," katanya. "Aku memperkirakan sesuatu yang berbeda."
"Kalau itu kurang bagus, saya akan membuat permohonan lain," katanya, membersihkan kerongkongannya. "Tak apa-apa. Saya akan memikirkan sesuatu yang lain."
"Tidak tidak," kata orang tua itu mengangkat tangannya dan melambaikannya seperti bendera. "Tak ada yang salah dengan itu, tidak sama sekali. Cuma sedikit mengejutkan, nona. Kau tak punya keinginan lain? Misalnya, kau tak ingin jadi lebih cantik, atau lebih pintar, atau kaya? Kau yakin tidak ingin meminta sesuatu seperti itu-- sesuatu yang akan diminta gadis-gadis pada umumnya?"
Dia berusaha mencari kata-kata yang tepat selama beberapa waktu. Orang tua itu hanya menanti, tanpa berkata-kata, tangannya diletakkan berdampingan kembali di atas meja.
"Tentu saja saya ingin menjadi lebih cantik, atau lebih pintar, atau kaya. Tetapi saya tak benar-benar dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada saya bila itu menjadi kenyataan. Semua itu mungkin melebihi apa yang sanggup saya terima. Saya masih belum begitu mengerti apakah sesungguhnya inti kehidupan ini. Saya tak tahu bagaimana ia bekerja."
"Aku mengerti," orang tua itu berkata, menjalin jari-jarinya kemudian memisahkankannya lagi. "Aku mengerti."
"Jadi, apakah permohonanku oke?"
Orang tua itu tiba-tiba memfokuskan tatapan matanya pada satu titik di udara. Kerut-kerut di keningnya semakin dalam: itu mungkin saja adalah kerut-kerut otaknya sendiri selagi ia berkonsentrasi pada pikirannya. Ia seakan-akan sedang menatap sesuatu-- mungkin sesuatu yang memang ada namun tak terlihat-- yang mengambang di udara. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar, mengangkat tubuhnya sedikit dari kursi, dan mengayunkan tangannya hingga kedua telapak tangannya bertemu dengan suara tepukan keras. Merebahkan diri di kursinya kembali, ia pelan-pelan menjalankan ujung-ujung jemarinya di kerutan di atas alisnya seolah-olah berusaha melemaskannya, kemudian beralih menatapnya dengan senyuman lembut.
"Sudah," katanya. "Keinginanmu sudah terkabulkan."
"Sudah?"
"Ya, tak ada masalah sama sekali. Keinginanmu sudah terkabulkan, nona manis. Selamat ulang tahun. Kau boleh kembali bekerja sekarang: jangan khawatir, aku akan menaruh keretanya di depan."
Dia menumpangi elevator turun ke restoran. Tak membawa apa-apa, kini dia merasa terlalu ringan, seolah-olah dia sedang berjalan di atas kapas-kapas misterius.
"Kau baik-baik saja? Kau terlihat melamun saja," pelayan muda itu berkata kepadanya.
Dia memberinya senyum ambigu dan menggelengkan kepalanya. "Oh, benarkah? Tak apa, aku baik-baik saja."
"Ceritakan padaku tentang sang pemilik. Seperti apa ia?"
"Aku tak tahu, aku tak melihatnya dengan cukup jelas," katanya, mengakhiri pembicaraan sesegera mungkin.
Sejam kemudian dia pergi mengambil kereta dorong itu dan membawanya turun. Kereta itu di depan kamar, dengan semua peralatan makan berada di atasnya. Ia membuka penutup piring dan melihat ayam dan sayuran itu sudah tak ada. Botol wine dan teko kopi itu kosong. Pintu kamar 604 di depannya, tertutup tanpa ekspresi. Dia memandanginya beberapa waktu, merasa bahwa mungkin saja pintu itu akan terbuka, tetapi pintu itu tak terbuka. Dia membawa kereta dorong itu ke bawah menggunakan elevator dan mendorongnya ke tempat cuci. Si chef melihat piring itu, kosong seperti biasanya, dan mengangguk.
\>|</
"Aku tak pernah melihat sang pemilik itu lagi," katanya. "Tidak sekali pun. Sang manajer ternyata cuma sakit perut biasa dan kembali mengantarkan sendiri makanan untuk sang pemilik itu esok harinya. Aku berhenti bekerja setelah Tahun Baru, dan belum pernah kembali ke tempat itu. Entahlah, aku merasa sebaiknya tak pernah mendekati tempat itu lagi, semacam sebuah firasat."
Dia memainkan selembar taplak kertas (yang biasanya digunakan sebagai alas piring atau gelas ketika diletakkan di atas meja--penerj.), tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Terkadang aku merasa bahwa semua yang terjadi padaku pada hari ulang tahunku yang ke dua puluh itu hanyalah ilusi. Seolah-olah ada sesuatu yang membuatku berpikir bahwa hal-hal yang terjadi padaku tidak benar-benar terjadi. Tetapi aku tahu pasti bahwa semua itu memang terjadi. Aku masih bisa mengingat dengan jelas setiap perabot dan pernak-pernik hiasan di ruangan 604 itu. Apa yang kualami di dalam situ benar-benar terjadi, dan itu juga memiliki makna penting bagiku."
Kami berdua membisu selama beberapa waktu, meminum minuman kami dan menelaah pikiran kami masing-masing.
"Bolehkah aku tanyakan sesuatu hal kepadamu," tanyaku. "Atau lebih tepatnya dua hal."
"Silakan," katanya. "Kupikir kau mungkin akan menanyakan apa yang kumohonkan waktu itu. Itu hal pertama yang akan ingin kau ketahui."
"Tapi sepertinya kau tak ingin membicarakan itu."
"Begitukah?" Aku mengangguk. Dia meletakkan taplak itu dan memicingkan matanya seperti sedang berusaha melihat sesuatu di kejauhan. "Kau tak seharusnya memberi tahu siapa pun apa isi permohonanmu, ya kan."
"Aku tak akan berusaha mengoreknya," kataku. "Tetapi aku ingin tahu apakah permohonan itu terkabul atau tidak. Dan juga-- entah apa pun itu yang telah kau minta-- apakah di kemudian hari kau menyesali pilihan permohonanmu itu. Apakah kau menyesal karena tidak memilih sesuatu yang lain?"
"Jawaban atas pertanyaan pertama adalah iya dan juga tidak. Aku masih harus menjalani kehidupan yang panjang, mungkin. Aku masih belum bisa melihat bagaimana semuanya akan berhasil hingga akhir."
"Jadi itu adalah permohonan yang membutuhkan waktu lama untuk terwujud?"
"Bisa dibilang begitu. Waktu akan memainkan peran penting."
"Seperti ketika memasak makanan tertentu?"
Dia mengangguk.
Aku memikirkan itu sebentar, tapi satu-satunya yang terbayang dalam pikiranku adalah sebuah pie raksasa sedang dimasak dalam oven dengan suhu rendah.
"Lalu jawaban pertanyaan yang ke dua?"
"Bisa kau ulang pertanyaannya?"
"Apakah kau menyesali permohonan yang telah kau pilih?"
Keheningan lalu mengikuti sebentar. Mata yang diarahkannya kepadaku seperti kehilangan kedalamannya. Bayang-bayang sisa-sisa senyuman kering berkelebat di sudut bibirnya, seperti jelmaan sebuah kepasrahan mebisu.
"Aku sekarang sudah menikah," katanya. "Dengan seorang akuntan berusia tiga tahun lebih tua dariku. Dan aku punya dua orang anak, lelaki dan perempuan. Kami memelihara seekor Irish setter. Aku mengendarai Audi, dan bermain tenis dengan teman-teman wanitaku dua kali sepekan. Itulah kehidupan yang kujalani sekarang."
"Kedengarannya cukup baik bagiku," kataku.
"Biarpun bumper Audi itu penyok di dua titik?"
"Hei, bumper tercipta untuk penyok."
"Itu bisa jadi stiker bumper yang bagus," katanya. "Bumper tercipta untuk penyok."
Kuperhatikan mulutnya ketika dia mengatakan itu.
"Yang coba kukatakan padamu adalah," katanya dengan lembut, menggaruk telinganya. Sebuah telinga yang indah bentuknya. "Tak peduli apa pun yang mereka inginkan, tak peduli seberapa jauh mereka berjalan, orang-orang tak dapat menjadi selain dirinya sendiri. Begitulah."
"Itu juga bisa jadi stiker bumper yang bagus," kataku. "Tak peduli seberapa jauh mereka berjalan, orang-orang tak dapat menjadi selain dirinya sendiri."
Dia tertawa keras, dengan sebuah ekspresi kepuasan yang nyata, dan bayang-bayang itu pun hilang.
Dia menaruh sikunya di atas bar dan memandangku. "Katakan padaku," katanya. "Apa yang akan kau minta bila kau menjadi aku?"
"Di malam hari ulang tahun yang ke dua puluhku, maksudmu?"
"Uh-huh."
Kupikirkan itu selama beberapa saat, namun aku tak mampu menemukan satu pun keinginan.
"Aku tak dapat memikirkan apa-apa," aku mengaku. "Ulang tahun ke dua puluhku sudah jauh berlalu."
"Kau sungguh tak dapat memikirkan apa-apa?"
Aku mengangguk.
"Tidak satu pun?"
"Tidak satu pun"
Dia menatap mataku lagi-- dalam-dalam-- dan berkata, "Itu karena kau sudah membuat permohonanmu."
\>|</
Diterjemahkan secara bebas dari "Birthday Girl" karya Haruki Murakami (versi B. Inggris terjemahan Jay Rubin) yang dimuat dalam Harper's Magazine edisi Juli 2003. Sumber: https://harpers.org/archive/2003/07/birthday-girl/
Yogyakarta, 21-23 Juni 2020