MEMBAWA SEPATU

>> Diterjemahkan dari buku "Tales of the Dervishes" oleh Idris Syah (1969, hal. 82-83) yang diterbitkan oleh E. P. Dutton & Co., Inc., New York. <<


Dua orang saleh dan terpandang memasuki sebuah masjid bersama-sama. Orang pertama melepaskan sepatunya dan meletakkannya dengan rapi di luar pintu. Orang ke dua melepaskan sepatunya, menyatukannya dengan sol saling berhadapan, dan membawanya ke dalam masjid.

Sekumpulan orang-orang saleh dan terpandang lainnya, yang sedang duduk di dekat pintu, kemudian saling berargumen, yang manakah di antara kedua orang ini yang lebih baik. 'Bila seseorang memasuki masjid dengan kaki telanjang, tidakkah lebih baik bila meninggalkan sepatunya di luar?' salah seorang bertanya. 'Tapi, apakah kita tidak sebaiknya mempertimbangkan,' kata orang lainnya, 'bawah orang yang membawa sepatunya ke dalam masjid itu melakukannya karena menyadari keberadaan sepatu itu sehingga ia sebenarnya sedang berendah hati?' (Saya merasa bahwa saya mungkin kurang memahami arti kalimat terakhir ini sehingga saya menerjemahkannya dengan kurang tepat-- penerjemah).

Ketika kedua orang itu akhirnya keluar, setelah mereka selesai sembahyang, mereka diwawancarai oleh masing-masing kelompok pendukung salah satu argumen itu secara terpisah.

Orang pertama berkata: 'Aku meninggalkan sepatuku di luar karena alasan biasa. Bahwa bila ada seseorang yang melihat dan ingin mencurinya, ia akan memiliki kesempatan untuk menahan godaan itu, sehingga dengan demikian akan berkesempatan mendapatkan pahala untuk dirinya.' Para pendengarnya terkagum-kagum atas pemikiran tinggi dari seorang yang rasa kepemilikannya atas sesuatu tidak berlebihan sehingga ia rela memasrahkan apapun yang mungkin terjadi atasnya kepada takdir. 

Di saat yang sama, orang yang ke dua berkata: 'Aku membawa sepatuku ke dalam masjid karena, seandainya kutinggalkan di luar, mereka mungkin akan menjadi sumber godaan bagi seseorang untuk mencuri. Siapa pun yang akhirnya menyerah terhadap godaan itu akan membuat diriku turut bertanggung jawab menanggung dosa atas perbuatannya.' Orang-orang yang mendengarnya terkagum-kagum atas niat suci ini dan memuji-muji keberpanjangan pikiran orang saleh itu.

Tetapi seseorang yang lain, seorang bijak bestari, yang kebetulan hadir di situ berkata: 'Sementara kalian berdua dan para pemuja kalian sedang disibukkan dengan argumen-argumen luhur kalian, sibuk membayangkan peristiwa-peristiwa hipotetis, sebuah peristiwa nyata telah berlangsung.' 

'Peristiwa apakah itu?' Tanya orang-orang itu.

'Tak ada seorang pun yang tergoda oleh sepatu itu. Tak ada seorang pun yang tak tergoda oleh sepatu itu. Pendosa teoretis itu tidak lewat. Alih-alih, seseorang lainnya, seorang yang tak memiliki sepatu sama sekali untuk ditinggalkan di luar maupun untuk dibawa masuk, telah memasuki masjid. Tak ada yang menyadari apa yang telah dilakukannya. Ia pun tak menyadari pengaruh yang mungkin ditimbulkannya terhadap orang lain yang telah melihat maupun tidak melihatnya. Namun oleh sebab ketulusan hatinya, sembahyangnya di masjid ini hari ini telah membantu, dalam cara yang paling gamblang, semua pencuri potensial yang mungkin akan maupun yang mungkin tidak akan mencuri sepatu atau yang menemukan dirinya terjebak dalam situasi yang mengandung godaan.'

Belumkah kau dapat melihat bahwa sekadar sebuah perilaku yang sadar-diri (self-conscious conduct), seberapa sempurna pun itu dalam konteksnya masing-masing, tidaklah berarti bila dihadapkan pada pengetahuan bahwa terdapat orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki kebijaksanaan?

***

Kisah ini, dari ajaran-ajaran Ordo Khilwati ('pertapa'), didirikan oleh Omar Khilwati yang meninggal pada 1397, cukup sering dikutip. Argumen yang umum di antara para darwis, menekankan bahwa mereka yang telah mengembangkan kualitas tertentu dalam dirinya berpengaruh jauh lebih besar bagi masyarakat ketimbang mereka yang berusaha bertindak atas dasar prinsip moral semata. Yang pertama disebut: 'manusia dengan perbuatan sejati' ('the real men of action'); dan yang belakangan: 'orang-orang yang tak mengetahui namun merasa mengetahui' ('those who do not know but play at knowing').