SEORANG YANG MENYADARI KEMATIAN

>> Diterjemahkan dari buku "Tales of the Dervishes" oleh Idris Syah (1969: hal. 77-78) yang diterbitkan oleh E. P. Dutton & Co., Inc., New York <<


Pernah ada seorang darwis melakukan perjalanan naik kapal laut. Ketika para penumpang lain naik ke kapal satu per satu, mereka melihatnya dan-- sebagaimana biasanya-- meminta sepatah nasihat darinya. Darwis itu hanya mengatakan satu hal yang sama kepada setiap orang: ia sepertinya cuma mengulangi salah satu dari sekian formula yang setiap darwis menjadikannya objek permenungan dari waktu ke waktu.


Formula itu adalah: 'Berusahalah menyadari kematian, hingga engkau mengetahui apa itu kematian.' Cuma segelintir orang yang merasa tertarik dengan petuah ini.


Kemudian, sebuah badai ganas menerjang di tengah perjalanan. Para kru dan penumpang bertekuk lutut, memohon pada Tuhan untuk menyelamatkan kapal itu. Mereka berteriak-teriak ketakutan pada satu waktu, pasrah terhadap keadaan di lain waktu, berharap pada siapa atau apa pun saja akan datang memberi pertolongan. Sepanjang peristiwa itu, sang darwis hanya duduk tenang, diam, tak bereaksi sama sekali terhadap segala kegaduhan dan peristiwa di sekitarnya.


Akhirnya, kekacauan itu pun berakhir, laut dan langit pun tenang, dan para penumpang menyadari betapa tenangnya darwis itu sepanjang peristiwa itu.


Salah seorang dari mereka bertanya padanya: 'Tidakkah engkau menyadari bahwa selama berlangsungnya badai mengerikan itu, tidak ada sesuatu pun, selain sebilah papan, di antara kita semua dan kematian?' 


'Oh, ya, tentu saja,' jawab darwis itu. 'Aku tahu bahwa di laut, demikianlah adanya. Namun, aku pun menyadari bahwa aku sering merenungkan ketika di darat, bahwa dalam keadaan normal, jarak antara kita dan kematian bahkan lebih tipis daripada sebilah papan.'


***


Cerita ini oleh Bayazid dari Bistam, sebuah tempat di selatan Laut Kaspia. Ia adalah satu di antara para Sufi kuno yang mahsyur, dan ia meninggal pada akhir abad ke sembilan belas


Kakek beliau adalah seorang Zoroastrian, dan ia mendapatkan pelatihan esoterisnya di India. Oleh karena gurunya, Abu-Ali dari Sind, tidak mengetahui ritual eksternal agama Islam secara sempurna, beberapa kaum terpelajar berasumsi bahwa Abu-Ali adalah seorang Hindu, dan bahwa Bayazid sesungguhnya telah mempelajari metode mistik orang India. Namun demikian, tak ada tokoh berpengaruh, di antara para Sufi, yang menjamin pendapat ini. Para pengikut Bayazid termasuk di antaranya adalah Ordo Bistamia.