Terkadang, hidup memang terasa melelahkan, mengejar-ngejar kemungkinan yang tak pernah pasti. Memburu impian yang diterbangkan angin ke balik mega-mega, ke balik cakrawala, lalu hilang dilahap masa depan penuh kegelapan. Mengejar angan-angan yang terputus di tengah jalan, terjebak silang sengkarut kawat-kawat baja, terombang-ambing di antara cita-cita masa kecil dan realita menjadi dewasa, terserimpung di antara roda-roda yang menyesaki jalan raya.
Kau kira cinta adalah kata paling sakral untuk diucapkan, sebelum kau saksikan sendiri kata-kata yang sama dibuang begitu saja di selokan, ditinggalkan begitu saja di tempat sampah, terpaksa dibunuh sebelum sempat dilahirkan. Lalu kau tak lagi percaya. Semua lelaki sama saja. Dalam hatimu.
Lelaki adalah mitos yang harus dipatahkan, ideologi yang harus ditumbangkan, menara gading yang harus dihancurkan, tipu daya yang harus dibongkar, benang kusut yang harus diuraikan, salah kaprah yang harus diluruskan, benalu yang harus dimusnahkan. Lelaki adalah mahluk lemah yang berlindung di balik justifikasi hirarki yang tak adil sama sekali.
Setiap kali kau mengucapkan kata-kata itu dengan hati yang terbakar amarah, aku tahu harus menjadi apa supaya dunia tak perlu kiamat terlalu dini.
Aku akan menjadi batu. Dan kau, untuk mengalahkanku, harus belajar menjadi air. Belajar memadamkan kobaran kemarahan dalam dirimu sendiri. Belajar untuk bersabar, dan bersabar dalam belajar. Seperti sungai yang terus mengalir sampai menjelma samudera.
Sampai saat itu, aku akan tetap menjadi batu.
\>|</
Yogyakarta, 24 Juni 2020
Sebuah interpretasi atas illustrasi dari: