SANG RAJA YANG INGIN MENJADI DERMAWAN

>> Diterjemahkan dari buku "Tales of the Dervishes" oleh Idries Shah (1969: hal. 91-95) yang diterbitkan oleh E. P. Dutton & Co., Inc., New York <<


Seorang raja Iran pernah berkata kepada seorang darwis: 'Ceritakanlah kepadaku sebuah kisah.' 


Sang darwis berkata: 'Yang Mulia, akan kuceritakan kepadamu kisah tentang Hakim Tai, sang Raja Arabia dan seorang paling dermawan sepanjang masa; sebab bila engkau dapat menjadi sepertinya, engkau tentulah akan menjadi seorang raja terhebat yang masih hidup.' 


'Ceritakanlah,' kata sang raja, 'namun jika ceritamu tak mampu menghiburku, sebab kau telah menyatakan kritik terang-terangan atas kemurahan hatiku, kau akan kehilangan kepalamu.' Ia berkata demikian sebab, di Persia, adalah sebuah kebiasaan bagi siapa saja yang berada di hadapan raja untuk mengatakan bahwa ia telah memiliki kualitas paling sempurna di antara semua orang di dunia ini; dahulu, kini, maupun di masa depan nanti. 


'Untuk melanjutkan,' kata sang darwis, dalam cara para darwis (sebab mereka tak mudah diancam), 'Kemurahan hati Hatim Tai melampaui, dalam kata maupun tindakan nyata, apa yang dimiliki oleh semua orang lain.' Dan berikut inilah kisah yang diceritakan oleh darwis tersebut. 


Seorang raja Arabia lain menginginkan semua, desa-desa dan oase, unta-unta dan para prajurit, yang dimiliki oleh Hatim Tai. Maka orang ini menyatakan perang terhadap Hatim, mengutus kepadanya seorang pembawa pesan berisi pernyataan perang: 'Menyerahlah kepadaku, jika tidak maka aku pasti akan menyerang wilayahmu, dan merebut kekuasaanmu.' 


Ketika pesan ini sampai kepada Hatim, para penasihatnya menyarankan agar ia mengerahkan prajurit-prajuritnya 

untuk mempertahankan wilayahnya dengan berkata: 'Tiada seorang pun, lelaki atau perempuan yang sehat jasmani di kalangan pengikut anda, yang tak kan dengan senang hati mempertaruhkan nyawanya demi membela raja kami yang tercinta.' 


Namun Hatim, berlawanan dengan perkiraan orang-orang, berkata:


'Tidak, daripada kalian harus maju dan mengorbankan darah kalian demi diriku, lebih baik aku melarikan diri. Akan sangat jauh menyimpang dari prinsip kedermawanan apabila aku menjadi sebab terkorbankannya nyawa, meski satu saja, lelaki atau perempuan negeri ini. Jika kalian tunduk secara damai, raja ini akan cukup puas dengan pelayanan dan pajak dari kalian, dan kalian tak perlu menderita kerugian material. Jika, di lain pihak, kalian melawan, atas dasar konvensi perang ia akan berhak merebut semua milik kalian sebagai rampasan perang, dan jika kalian kalah dalam perang, kalian tak akan mempunyai apa-apa lagi.'


Maka, Hatim membawa hanya seorang yang terpilih dari stafnya dan bertolak menuju daerah pegunungan, tempat ia menemukan sebuah gua dan menenggelamkan dirinya dalam kontemplasi.


Separuh rakyat negerinya merasa tersentuh oleh pengorbanan harta kekayaan dan kedudukan Hatim Tai demi mereka. Namun yang lainnya, terutama mereka yang selalu ingin mencari kebesaran nama mereka sendiri lewat jalan peperangan, bergumam: 'Bagaimana kita tahu bahwa orang ini sesungguhnya bukan seorang pengecut?' Dan yang lain, yang hanya memiliki sedikit keberanian, bergumam kepadanya berkata: 'Ia sesungguhnya hanya menyelamatkan dirinya sendiri saja; sebab ia telah melemparkan kita ke dalam nasib yang tidak kita ketahui. Mungkin kita akan dijadikan budak oleh raja yang tidak kita kenali ini, yang, nyata-nyata, telah menunjukkan sifat ketiranannya dengan menyatakan perang kepada negeri tetangganya.'


Dan yang lain lagi, merasa tidak yakin mana yang harus dipercayai, memilih tetap membisu, sampai entah kapan mereka akan mampu memutuskannya. 


Maka sang raja tiran itu kemudian, ditemani oleh para tuan rumah yang menyambutnya, mengambil alih kekuasaan Hatim Tai atas wilayah itu. Ia tidak menaikkan pajak, ia tidak mengambil untuk dirinya sendiri melebihi yang diambil Hatim dari rakyatnya sebagai imbalan atas perlindungan dan keadilan yang diselenggarakannya atas mereka. Namun satu hal mengusiknya. Itu adalah fakta bahwa ia mendengar desas-desus bahwa meskipun ia telah berhasil memiliki wilayah baru itu, namun semua itu diperolehnya dari kemurahan hati Hatim Tai. Inilah yang dikatakan oleh beberapa orang.


'Aku belumlah menjadi penguasa sesungguhnya atas tanah ini,' ungkap sang tiran itu, 'sebelum aku berhasil menangkap Hatim Tai. Selagi ia hidup, masih ada kesetiaan terhadapnya dalam hati orang-orang di negeri ini. Ini berarti bahwa mereka tidak sepenuhnya mengakuiku, meskipun dari luar kelihatannya begitu.' 


Maka ia mengeluarkan titah bahwa barang siapa yang membawakan Hatim Tai kepadanya akan diberi imbalan lima ribu keping emas. Hatim Tai tidak mengetahui hal ini hingga suatu hari ia sedang duduk di luar guanya dan mendengar percakapan antara seorang penebang pohon dan istrinya. 


Penebang pohon itu berkata: 'Wahai istriku, aku sekarang sudah tua dan engkau jauh lebih muda dariku. Kita mempunyai anak-anak yang masih kecil, dan bila segalanya berjalan sesuai kodrat alamiah aku mungkin akan mati lebih dulu darimu dan sementara anak-anak kita masih muda. Seandainya kita dapat menangkap Hatim Tai, sebagai seorang yang dihargai lima ribu keping emas oleh raja yang baru, masa depanmu akan terjamin.'


'Dasar tak tahu malu!' kata istrinya. 'Lebih baik kau mati, dan aku dan anak-anak kita kelaparan, daripada tangan kita dinodai dengan darah seorang manusia paling dermawan sepanjang zaman, yang telah mengorbankan segalanya demi kita.' 


'Semua itu memang sangat baik,' kata orang tua itu, 'tetapi seorang lelaki harus memikirkan kepentingannya. Lagipula aku punya kewajiban. Dan, bagaimanapun, setiap hari orang-orang mulai berpikir bahwa Hatim adalah seorang pengecut. Hanya tinggal masalah waktu sebelum mereka pun mencari ke setiap tempat di mana ia mungkin bersembunyi.'


'Kepercayaan bahwa Hatim adalah seorang pengecut itu disebabkan oleh hasrat untuk mendapatkan emas. Hatim akan merasa hidup dalam kesia-siaan bila mendengarkan perkataan orang-orang ini.' 


Pada momen itu Hatim Tai berdiri dan menunjukkan dirinya kepada pasangan yang terkejut itu. 'Aku Hatim Tai,' katanya. 'Bawalah aku kepada raja baru itu dan ambillah imbalanmu.' 


Orang tua itu merasa malu, dan matanya dibanjiri air mata. 'Tidak, Hatim yang hebat,' katanya, 'aku tak dapat melakukan itu.' 


Selagi mereka berdebat, sejumlah orang, yang sedang mencari-cari raja buron itu, berkumpul. 


'Kecuali kau melakukan itu,' kata Hatim, 'aku akan menyerahkan diri kepada raja dan memberi tahunya bahwa kau telah menyembunyikanku. Kalau demikian, kau tentu akan dieksekusi karena tindak penghiantan.' 


Menyadari bahwa orang ini adalah Hatim, orang-orang itu mendekat, mengepung sang mantan raja itu, dan membawanya kepada sang tiran, dengan si penebang pohon mengikuti di belakang dalam kondisi penuh kesedihan … 


Sesampai mereka di depan raja, setiap orang mengaku sebagai orang yang telah menangkap Hatim. Sang mantan raja, melihat kebingungan di wajah penerusnya, meminta agar diizinkan berbicara: 'Ketahuilah, wahai raja, bahwa kesaksianku sebaiknya didengarkan juga. Aku ditangkap oleh penebang pohon tua ini dan bukan oleh mereka yang bergerombol di sana itu. Berikanlah, oleh karena itu, imbalan untuknya, dan lakukanlah apa yang engkau kehendaki atas diriku …'


Menanggapi hal ini, si penebang pohon itu maju dan memberi tahu sang raja kebenaran tentang Hatim yang telah menawarkan pengorbanan dirinya demi masa depan kehidupan keluarganya.


Sang raja baru itu merasa begitu terhanyut oleh cerita ini sehingga ia memerintahkan pasukannya untuk mundur, mengembalikan Hatim Tai ke atas tahtanya, dan kembali ke negerinya sendiri. 


Setelah mendengarkan cerita ini, sang raja Iran, melupakan ancaman yang tadi ditujukannya terhadap darwis itu, berkata: 'Sebuah kisah yang luar biasa, wahai darwis, dan darinya kita dapat mengambil pelajaran. Engkau, sayangnya, tak dapat melakukan hal yang sama, mengingat kau sudah meninggalkan hasratmu atas kehidupan ini dan tak memiliki apa-apa lagi. Tetapi aku, aku seorang raja. Dan aku kaya raya. Raja-raja Arab, orang-orang yang hidup dari kadal-kadal rebus, tak dapat menandingi orang Persia dalam hal kedermawanan yang sesungguhnya. Aku punya ide! Mari kita kerjakan!'


Membawa darwis itu bersamanya, sang raja Iran itu mengumpulkan arsitek-arsitek terbaik dari seluruh negeri di sebuah tanah lapang yang sangat luas dan memerintahkan mereka untuk merancang dan mendirikan sebuah istana besar. Istana itu terdiri dari sebuah ruangan utama yang kokoh dan empat puluh jendela. 


Setelah istana itu selesai dibangun, sang raja memerintahkan agar seluruh sarana transportasi yang ada dikumpulkan untuk mengisi istana tersebut dengan keping-keping emas. Setelah berbulan-bulan pengerjaan, sebuah pengumuman pun disampaikan:


'Perhatian! perhatian! Sang Raja Diraja, Mata Air Kedermawanan, telah memerintahkan pembangunan sebuah istana dengan empat puluh jendela. Beliau akan secara pribadi, setiap hari, memberikan emas kepada semua orang yang membutuhkan, melalui jendela-jendela ini.'


Tidak perlu diherankan lagi, kerumunan besar orang-orang yang membutuhkan pun berkumpul, dan sang raja memberikan sekeping emas kepada setiap orang, dari salah satu jendela istana itu setiap harinya. Kemudian ia menyadari bahwa ada seorang darwis yang hadir di depan jendela itu setiap hari, mengambil keping emasnya dan pergi begitu saja. Awalnya sang raja berpikir: 'Mungkin ia ingin membawa emas itu kepada seseorang lain yang membutuhkan.' Lalu ketika ia melihat orang itu lagi, ia berpikir: 'Mungkin ia sedang menjalankan ajaran darwis mengenai beramal secara rahasia, dan akan membagi-bagikan emas itu.' Dan setiap hari ia melihat darwis itu, ia menerka-neraka di dalam benaknya, sampai di hari yang ke empat puluh ia tak tahan lagi. Menangkap tangan darwis itu, ia berkata: 'Dasar tak tahu sopan santun! Kau tak pernah mengucapkan "Terima kasih" dan tidak pula menaruh rasa hormat kepadaku. Kau tidak tersenyum, kau tidak membungkuk, kau datang setiap hari. Berapa lama kau akan terus melakukan ini? Apakah kau menabung pemberianku supaya kau menjadi kaya, ataukah kau meminjamkannya kepada orang lain untuk mendapatkan bunga? Betapa jauhnya perbuatanmu itu menyimpang dari perilaku terhormat orang-orang berjubah kumal.'


Segera setelah kata-kata itu diucapkan, sang darwis melemparkan empat puluh keping emas yang telah ia terima. Ia berkata kepada raja: 'Ketahuilah, wahai Raja Iran, bahwa kedermawanan tak dapat hadir tanpa tiga hal yang mendahului. Yang pertama adalah memberi tanpa merasa dermawan; yang ke dua adalah kesabaran; yang ke tiga adalah tanpa prasangka dan rasa curiga.' 


Tetapi sang raja tak pernah belajar. Baginya, kedermawanan terkait erat dengan apa yang dipikirkan orang-orang tentang dirinya, dan bagaimana perasaannya menjadi seorang 'dermawan.'


***


Kisah tradisional ini, yang umumnya diketahui oleh para pembaca melalui karya klasik Urdu, Tale of the Four Dervishes (Kisah Empat Darwis), secara gamblang menggambarkan ajaran-ajaran Sufi penting.


Peniruan suatu perbuatan tanpa disertai kualitas-kualitas dasar untuk menopang peniruan itu adalah sisa-sisa belaka. Kedermawanan tak dapat terwujud kecuali disertai pula dengan sikap-sikap luhur lainnya.


Sebagian orang tetap tidak mampu belajar meskipun telah terpapar oleh apa-apa yang diajarkan, yang ditunjukkan di dalam kisah itu oleh darwis pertama dan ke dua.