Dua Bongkah Batu di Bawah Pohon Randu, dan Aku

A Tree
Gambar ilustrasi dari Pixabay.com

\>|</

Bocah itu pernah menjalani kehidupan di negeri dongeng.

Suatu hari-- hari yang tak sempat disimpannya di laci-laci lemari memori dalam otaknya sebab ketika itu ia belum mengetahui cara menyimpan ingatan-- bocah itu tiba di negeri dongeng lewat sebuah portal ajaib: sebuah liang di tubuh seorang manusia perempuan.

Orang-orang menyebut kedatangannya sebagai 'kelahiran.' Dan menyebut perempuan itu sebagai 'ibu.' 

Perempuan itu, tepat setelah dia menghibahkan tubuhnya sebagai portal lewat mana bocah itu datang ke negeri dongeng, pergi meninggalkan negeri dongeng di hari yang sama lewat sebuah portal lain: sebuah liang di tubuh bumi, di tanah.

Orang-orang menyebut kepergiannya sebagai 'kematian.' Dan menyebut bekas portal kepergiannya sebagai 'kuburan.' 

Di bekas portal kepergian perempuan itulah, bocah itu kini berdiri. Di hadapannya terdapat sebongkah batu berselimut lumut yang separuh terbenam ke dalam tanah. Di belakang batu itu, sebatang pohon randu menjulang tinggi, daun-daunnya yang kuning kecokelatan mulai berjatuhan satu per satu menyambut kedatangan musim kemarau, guguran bunga-bunganya yang merah bertebaran di tanah yang ditumbuhi alang-alang, angin dari laut membawakan aroma sengatan terik matahari dari buncah-buncah gelombang yang pecah di wajah batu-batu karang, dan bocah itu terkenang akan suatu dunia yang tak lagi dapat digambarkannya dalam wujud apa pun selain dalam sebersit perasaan terasing di dalam dadanya yang kurus kering.

\>|</

Dari kejauhan, aku memandangi peristiwa itu, bertanya-tanya, siapakah gerangan bocah itu, yang setiap hari berdiri di hadapan batu berlumut di bawah pohon randu yang tumbuh di puncak bukit di semenanjung padang ilalang di atas pantai karang yang senantiasa bergemuruh diterjang gelombang lautan itu. Di dadanya terdekap sebuah buku usang bersampul warna pudar yang tak kuketahui namanya, berisi kata-kata asing dalam bahasa tak kukenal yang ditulis dengan aksara yang tak kuketahui cara membaca dan melafalkannya-- apalagi memahami arti yang dikandungnya. Namun, bocah itu seperti memahami betul setiap lekuk huruf, setiap goresan tanda, dan setiap getaran bunyi yang dilantunkannya ketika membaca apa yang tertulis pada lembaran-lembaran lusuh di antara sampul usang buku itu.

Setiap hari, pada waktu-waktu tertentu, bocah itu datang ke tempat itu: pada saat malam sudah memasuki kegelapan gulita, pada saat fajar menjelang terbitnya matahari pagi, pada saat matahari tepat berada di puncak tertinggi peredarannya di cakrawala, pada saat bayang-bayang pohon randu itu sudah lebih panjang daripada tingginya, dan selepas matahari senja telah sepenuhnya terbenam di kaki cakrawala. Pada waktu-waktu itulah bocah itu berdiri di hadapan batu berlumut itu, membuka halaman-halaman lusuh buku usangnya, dan membaca sesuatu yang tertulis di dalamnya, dengan suara lirih seakan-akan sedang bersenandung untuk dirinya sendiri.

Sementara aku, entah mengapa dan bagaimana, selalu saja, seperti sebuah kebetulan yang terus terulang, mendapati diriku sedang menyaksikan peristiwa itu dari kejauhan. Dari atas perahu kayu yang sudah menjadi rumahku semenjak aku tak lagi mampu membeli hak atas petak-petak tanah di kampung kelahiranku sendiri. (Tetapi ini bukan kisah tentang diriku).

Demikianlah hari demi hari datang dan pergi: bocah itu berdiri di situ, aku duduk di buritan perahuku, kami menjalani kisah kehidupan yang berbeda, di dalam negeri dongeng yang sama.

Dan sebagaimana setiap dongeng akan berakhir pada sebuah titik di ujung kata terakhir pada kalimat terakhir kemudian meresap menjadi keheningan di dalam diri orang-orang yang telah mendengarkannya, demikian pula bocah itu pada suatu ketika tak lagi berdiri di hadapan batu berlumut di bawah pohon randu itu. Sebagai gantinya, sebongkah batu baru yang belum berlumut kini berdiri, separuh terbenam di tanah, di sebelah batu berlumut itu.

Dan kutemukan diriku sendiri sedang berdiri di hadapan dua bongkah batu itu. Di dalam dekapanku, buku usang bersampul warna yang semakin pudar, yang semakin tak kuketahui namanya itu, menjadi satu-satunya kenang-kenangan atas dirinya yang masih sempat dititipkannya kepadaku sebelum ia pergi meninggalkan negeri dongeng.

"Apa ini?" aku bertanya kepadanya ketika diserahkannya buku itu kepadku pada suatu hari yang seperti baru kemarin, namun seperti sudah begitu lama berlalu.

"Sebuah antologi puisi cinta," jawabnya.

"Siapa yang menulisnya?"

"Sang Kekasih," katanya. "Ia yang selalu menantikan kepulanganku." Ia lalu menatapku dalam-dalam, dari matanya terpancar kedamaian seperti lautan ketika hari teduh. "Juga kepulanganmu."

Kubuka lembaran-lembaran lusuh dalam buku itu. "Sayang sekali aku tak bisa membacanya," kataku. "Huruf-huruf ini begitu asing di mataku."

Ia tersenyum, wajahnya tengadah menyambut sehelai daun jatuh dari pucuk tangkai pohon randu itu, berputar-putar melayang di udara sebelum mendarat di tanah, di antara rumpun alang-alang.

"Yang tertulis di dalam buku itu," ia berkata, "sesungguhnya sama dengan yang tersirat dalam peristiwa gugurnya sehelai daun, berembusnya angin di atas sabana, terburainya gelombang di wajah batu-batu karang, terbit dan terbenamnya matahari, maupun fakta mengenai keberadaanmu di negeri dongeng ini." Ia memandang jauh menyeberangi lautan, cukup lama, lalu menatapku dan berkata lagi. "Puisi-puisi itu adalah bagian dari dirimu, bagian dari diri semua orang, bagian dari segala sesuatu di negeri dongeng ini.

"Puisi-puisi itu ada di dalam diri setiap orang, termasuk di dalam dirimu. Tersimpan di dalam wadah rahasia yang menampung kesejatianmu. Pesan terakhir yang disampaikan Sang Kekasih sebelum Ia melepas kepergian jiwa kita dalam perjalanan mengembarai negeri dongeng. Secercah pancaran cahaya cintaNya, yang kan memandu kepulanganmu, kepulangan kita semua, kepadaNya.

"Kita tak dapat mengingatnya dalam cara dan gejala yang sama seperti mengingat segala yang pernah kita alami atau pelajari dari negeri dongeng ini, sebab tempat dan cara penyimpanannya memang tak sama.

"Kita mengingatnya dalam cara yang paling halus dan sederhana, sebagaimana kita memahami keindahan. Ketika kita mengalami berbagai hal di luar diri kita, mendengarkan nyanyian burung-burung pagi, menyaksikan matahari senja terbenam, mencium aroma rerumputan sehabis hujan, merasakan kelembutan belaian angin, mencecap manis setetes madu, kita dapat merasakannya di dalam diri kita. Perasaan bahwa kita sungguh terhubung dengan segala sesuatu, dan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah satu, itulah yang melahirkan penghayatan akan keindahan, itulah puncak kesadaran akan cinta, dan itulah yang memancarkan gelombang rindu. Dan kerinduan sejati yang asasi adalah tanda petunjuk jalan pulang kita kepada Sang Kekasih.

"Itulah yang terkandung dalam puisi-puisi yang tertulis dalam lembaran-lembaran surat cintaNya itu. Dan karena itulah aku setiap hari datang ke tempat ini, sebab di dalam beberapa puisiNya yang dapat kuingat, Sang Kekasih telah berjanji akan menemuiku setiap hari, pada waktu-waktu khusus yang telah ditentukan, di tempat ini. Tempat di mana portal yang pernah membawaku memasuki negeri dongeng ini, dan juga portal yang mengantarkan perempuan yang telah menghibahkan dirinya sebagai portal kedatanganku itu meninggalkan negeri dongeng kembali kepada Sang Kekasih berada; sebuah titik permulaan sekaligus titik akhir perjalanan hidupku di negeri dongeng ini. Kelahiran dan kematian, kepergian dan kepulangan, perpisahan dan perjumpaan, awal dan akhir, menjadi satu di tempat ini.

"Di sinilah titik pusat semesta kesadaran puisiku, maka di sinilah kubacakan puisi-puisi cintaNya itu setiap hari. Untuk mendenyarkan kembali, lagi dan lagi, gelombang kerinduanku kepadaNya, dan menatap wajah Sang Kekasih di dalam dunia puisi, dunia yang tersembunyi di balik segala kenyataan permukaan tampak negeri dongeng ini.

"Kita tak memahami puisi dalam cara yang sama dengan memahami pasal-pasal dalam kitab-kitab hukum undang-undang. Kita memahami puisi. Begitu saja.

"Seringkali, kita bahkan tak perlu memahaminya. Kita hanya perlu melihat, mendengarkan, mencium, meraba, dan mencecapinya dengan indera luar kita, dan menghadapkannya pada cermin semesta dalam hati kita. Dan dengan secercah cahaya cintaNya yang sejak semula bersemayam di dalam diri kita, pada saatnya kita akan sampai pada pemahaman tanpa perlu memahami. Dan kita akan menyadari, menyaksikan, bahwa Sang Kekasih selalu ada di dalam diri kita, menantikan kita datang menyapanya di dalam ruang paling intim dalam jiwa kita."

\>|</

Aku masih mendekap buku itu, berdiri menghadapi dua bongkah batu di bawah pohon randu yang kini nyaris tak berdaun sama sekali lagi, di puncak bukit di semenanjung padang ilalang, di atas pantai batu-batu karang yang senantiasa diterjang gelombang lautan, sore itu ketika matahari sedang terbenam dan burung-burung terbang pulang ke sarang. Kukenang-kenang kembali segala sesuatu yang dapat kuingat mengenai bocah itu. Bocah yang kini menjelma puisi di dalam diriku.

\>|</

Yogyakarta, 25-26 Juni 2020