Pages - Menu

Pertemuan Pertama

Kalau coba mengingat-ingat lagi berbagai hal yang sudah terjadi, aku selalu mendapati betapa semua ini adalah sebuah kenyataan yang aneh. Sebab aku tak bisa ingat kapan pertama kali aku menemukan kehadiranmu dalam hidupku. Aku tak ingat kapan kita pernah berkenalan secara wajar sebagaimana layaknya sebuah perkenalan antar dua manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Samar-samar aku seperti ingat bahwa kita pernah sekelas, entah di mata kuliah apa. Bahwa kadang-kadang kita berpapasan di perjalanan antara gedung kuliah dengan fakultas, atau di koridor remang-remang di antara kelas-kelas perkuliahan. Atau kadang-kadang aku melihatmu sedang berjalan di kejauhan. Tapi semua itu begitu samar-samar adanya sehingga aku tidak bisa tidak curiga bahwa itu cuma khayalanku saja.

Tetapi, bukankah harus ada sebuah titik permulaan bagi setiap garis? Tidak terkecuali garis yang ditorehkan takdir tentang kita. Mungkin aku sekedar luput merekamnya dalam ingatanku saja.

Tapi tak pelak, itu membuat semua ini jadi terasa aneh. Seolah-olah aku sudah mengenalmu jauh-jauh hari sebelum benar-benar bertemu denganmu. Mungkin aku terlalu banyak menghayalkan sebuah perkenalan denganmu sebelum kita benar-benar sempat bertemu di dunia nyata. Mungkin aku pertama kali mengenalmu di dunia yang sama sekali lain dari dunia ini.

Mungkin perkenalan itu terjadi di dunia ide, mimpi, atau angan-angan. Mungkin karena aku pernah membaca tulisan-tulisanmu sebelum bertemu denganmu secara langsung. Dan mungkin kepingan-kepingan buah pikiran dan perasaanmu itu terasa demikian tak asing bagiku ketika itu, sehingga dengan mudahnya tercampur baur ke dalam dunia angan-anganku.

Dan oleh karena, di dalam dunia angan-anganku, waktu bukanlah sebuah konsep yang terlalu penting sebagaimana adanya di dunia nyata ini (waktu berlaku dalam cara yang jauh berbeda di dalam angan-anganku), jadilah aku tak mampu menemukan letak koordinat peristiwa pertemuan pertama kita itu di dalam kerangka ruang-waktu objektif sebagaimana yang berlaku di dunia ini. Mungkin begitulah adanya sehingga semua ini terasa demikian aneh dan tak wajar.

Tetapi selalu ada kemungkinan akan datangnya pertanyaan dari orang-orang tentang pertemuan pertama kita, kan? Dan karena waktu merupakan suatu konsep acuan yang begitu penting buat mereka, tentu kita akan ditagih untuk memberi jawaban yang punya sangkan-paran jelas di rentang garis waktu yang berlaku di dunia nyata ini.

Demikianlah, sehingga aku ingin mengusulkan dua peristiwa yang sekiranya layak dianggap sebagai pertemuan kita yang pertama kali.

Peristiwa yang pertama, adalah pada malam bulan Februari itu, ketika kita, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah jagad raya, saling berjabat tangan sebelum berlaga di arena permainan. Usul ini, tentu dengan pertimbangan bahwa jabat tangan adalah sebuah tanda pertemuan yang cukup formal dan dapat diterima oleh khalayak. Meskipun kalau dipikir-pikir, itu sebenarnya terjadi jauh setelah kita seperti sudah cukup saling kenal satu sama lain, sih.

Maka dari itu, aku mengusulkan peristiwa kedua. Pada suatu malam di akhir September tiga tahun (lebih dikit) yang lalu, di bawah terang bulan purnama (?), kita berjumpa di permukaan rembulan. Waktu itu kita mungkin memang tidak sedang berada di satu tempat yang sama. Aku sedang berusaha menikmati kopi dingin di sebuah warung kopi 24 jam sementara rembulan berpendar di langit gelap dan kebetulan dapat kulihat pada permukaan kopi dalam cangkirku sebelum kemudian kutengok melalui sela-sela tirai bambu yang diturunkan untuk menahan dinginnya angin. Sedangkan kamu, entah berada di mana dan sedang apa, namun kubayangkan sebuah kemungkinan (yang aku suka) bahwa kamu juga sedang melihat rembulan yang sama. Begitulah, aku melihatmu pada rembulan, dan (kubayangkan) engkau pun melihatku di rembulan yang sama. Lalu kita saling menyapa lewat bait-bait puisi.

Betapa itu tentunya akan terdengar sangat tidak masuk akal di telinga orang-orang. Tetapi bukankah kehidupan memang seringkali terasa tidak masuk akal? Toh, kehidupan ini berlangsung bukan menuruti seberapa sempit (atau luas) ruang di kepalamu untuk menampungnya. Ia sudah terlebih dahulu berlangsung begitu saja, sebelum kita sempat memahaminya. Dan apa yang kita sebut sebagai akal, baru berkembang belakangan, supaya kita mampu membuka pemahaman terhadap luasnya hamparan kemungkinan yang dikandung kehidupan.

Apapun itu maksudnya. Aku juga tak mengerti. Kadang aku memang suka ngelantur kalau lagi nulis.

Bagaimana menurutmu?

~

Jogja, 21 Februari 2019