Pages - Menu

Pelarian

Kadang aku merasa "benci"
kepada kata-kata.
Betapa mereka begitu naif
terhadap manisnya bibir
dan licinnya lidah
manusia-manusia modern.

Diperalat untuk menyampaikan kebohongan.
Dikibuli untuk menghantarkan janji-janji palsu.
Diperbudak sebagai sipir-sipir penjara yang memenjarakan kemerdekaan pikiran.
Ditopengi dengan kedangkalan arti,
kesempitan makna,
dan kerendahan maksud.
Diperkosa dan dinodai kesuciannya.
Dicerabut sayap-sayapnya,
dibelenggu lehernya
dan ditambatkan
pada tiang-tiang denotasi yang kaku.

Tetapi kemudian
aku jadi merasa malu sendiri,
setelah menyadari bahwa aku
adalah salah satu
di antara manusia
yang melakukan itu semua.

Maka puisi
adalah usaha pemberontakan
yang kulakukan
untuk membebaskan kata-kata
dari penjajahan pikiran manusia.

Dalam pelarian kami kemudian,
kata-kata menghantarkanku
ke pintu gerbang sebuah dunia
yang begitu sepi dan sunyi.

"Masuklah!" kata mereka.
"Kau akan baik-baik saja di dalam sana. Mereka tak akan dapat menangkapmu."

"Bagaimana dengan kalian?" tanyaku.

"Kami tidak mungkin masuk ke sana
tanpa menjadi sirna.
Tugas kami memang hanya
menghantarkan manusia
menuju pintu-pintu ini.
Kami akan baik-baik saja
selama masih ada manusia
yang mencari kesejatian
hidup dalam diri mereka."

Itu adalah kata-kata terakhir
yang disampaikan 'cinta'
sebelum ditutupnya pintu itu
di belakangku
setelah melemparkanku
ke dalam dunia yang hanya
terdiri dari sepi dan sunyi
yang abadi.

-Sekian-

Jogja, 20 Februari 2019