Pages - Menu

Dua Malam dan Gerimis

Aku ingat suatu malam
melihat wajahmu seteduh rembulan yang sinarnya diam-diam menyelinap menembus celah rahasia menuju lubuk paling sepi di hatiku.
Rambutmu lebih hitam daripada malam.
Matamu lebih cemerlang daripada bintang.
Kau berbicara, lebih lirih daripada udara yang membeku di tengah segara.
Kata-katamu embun yang diam-diam basah di pucuk daun
lalu menetes ke telaga makna.

Aku ingat suatu malam
kususuri jalanan mencari-cari sisa serpihan jiwaku yang hilang
di bawah kelap-kelip lampu kota sepanjang trotoar yang meruapkan bau busuk comberan.
Setiap langkah adalah tanya yang hanya dapat kujawab dengan terus melangkah.
Di antara roda-roda yang bergulir menggilas aspal, dan papan-papan iklan yang berbaris menghiasi jalanan.
Di sela-sela bising mesin dan sunyi yang menyayat-nyayat hati.
Di setiap langkah yang entah ke mana, dan setiap detik yang tak pernah selesai kukenyam.

Kabut mengambang sepanjang jalan. Mendung menggantung helai-helai gerimis.
Di celahnya terselip bait-bait puisi.
Tanpa ruang, tanpa bunyi, tanpa kata-kata.



Jogja, 5-7 April 2018