Pages - Menu

Di Bawah Pohon Hujan

Aku duduk di bawah rindang pohon Trembesi, mengobrol dengan diriku sendiri tentang mengapa aku tidak duduk di masjid siang itu, mendengarkan khotbah Jumat, dan menjadi seorang muslim yang taat. Kukatakan kepada diriku sendiri: mungkin aku hanya ingin mencoba cara lain untuk mengisi waktu Jumatan selain cuma mendengarkan khotbah-khotbah yang tidak pernah mudah dipahami, seperti berbagai hal yang berlalu-lalang dalam kehidupan belakangan ini.

Atau, mungkin, aku hanya sedang ingin mendengarkan khotbah dalam bentuk yang lain. Bukan yang disampaikan oleh orang-orang alim kepada orang-orang bodoh dengan kalimat-kalimat padat yang tak jarang serasa bagaikan batu-batu yang dilemparkan ke kepala-kepala kosong yang hanya akan menggemakan suara nyaring untuk sesaat sebelum kembali ditelan keheningan yang tetap saja kosong, melainkan yang mungkin disampaikan oleh kenyataan hidup paling sederhana dalam kesunyian yang siapa tahu mengandung sesuatu yang lembut dan dapat kucerna meski cuma sedikit-sedikit saja.

Kemudian kami sama-sama membisu untuk waktu yang entah berapa lama. Dalam hati, berterima kasih kepada pohon Trembesi yang di bawah rindangnya kami berteduh. Berterima kasih kepada angin sepoi-sepoi yang membawa udara segar ke kota yang semakin sesak ini. Berterima kasih kepada terik sinar matahari yang menghadirkan aroma khas di udara, yang selalu mengingatkanku akan padang rumput dan rawa-rawa luas di sebuah kaki bukit, dan sebuah rumah pohon tinggi di mana aku pernah menyendiri menghabiskan hari. Apa lagi kah yang masih kurang untuk kita menjalani kehidupan?

Ternyata banyak sekali. Dan itulah yang menjadi sumber tenaga penggerak roda-roda peradaban modern yang setiap hari kusaksikan berkelabat-kelebat melintas di hadapanku. Beragai hal yang dirasa masih belum juga cukup untuk mewujudkan kehidupan yang lebih hidup dan benar-benar hidup. Demi itulah kita menjalani hari-hari. Mengembara ke pelosok bumi untuk mencarinya. Mengarungi lautan. Menjelajahi angkasa. Menggali daratan. Meski tidak benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya dicari, namun kita juga tidak bisa hanya diam saja di dalam kehampaan yang semakin menganga lebar seakan mengancam menelan kita ke dalam ketiadaan.

Betapa kian hari roda-roda itu berputar kian cepat, melaju meninggalkan banyak orang jauh di belakangnya. Orang-orang yang hanya bisa berlari dengan terseok-seok, yang tersandung dan terjembap di atas aspal, yang tergolek kelelahan di trotoar, dan yang tak lagi berdaya di dalam selokan.

Kusaksikan itu semua dari tempatku duduk di bawah naungan pohon Trembesi. Dan kupikir, mungkinkah aku adalah salah satu dari orang-orang yang tertinggal itu. Tetapi, kupikir-pikir lagi, aku memang juga tak tahu apa yang mesti dikejar hingga harus ikut-ikutan berlari.

Bagi sebagian besar orang, mungkin kehidupan ini adalah ajang perlombaan dan medan persaingan untuk menjadi yang terdepan dan terhebat. Bagiku, kehidupan lebih merupakan petualangan. Musuh yang sesungguhnya berada di dalam dirimu. Dan kawan yang sesungguhnya, juga ada di dalam dirimu. Segalanya lebih tentang bagaimana mengatasi dirimu sendiri.

Atau mungkin, kita tidak selamanya berlari hanya demi mengejar sesuatu saja, tetapi juga karena ada yang mengejar-ngejar kita dari belakang yang siap menerkam dan menelan kita ke dalam perutnya yang gelap dan dalam.

*

Ada orang lain di situ, tak jauh dari tempatku duduk merenung. Seorang laki-laki paruh baya duduk bersama sebuah ransel hitam yang sudah lusuh. Tangannya terentang menggenggam kedua sisi ujung lembaran koran agar tetap terbuka penuh meski angin berhembus lewat. Sebelah lengannya ditumpukan pada ransel yang kelihatannya penuh berisi barang-barang entah apa. Mungkin seluruh hartanya berada di dalam ransel itu.

Ia sudah ada di situ sebelum aku datang. Aku sengaja memilih tempat duduk agak jauh dari tempatnya supaya ia tidak perlu merasa terganggu dengan kehadiranku. Atau, mungkin, lebih supaya aku tidak terganggu dengan keberadaannya. Aku sedang membutuhkan kesendirian, dan mungkin dirinya juga.

Kusulut sebatang rokok, salah satu dari dua batang yang masih tersisa di dalam bungkusnya, dan menghirupnya dalam-dalam. Asapnya mengepul pekat ketika kuhembuskan pelan-pelan, lalu pudar ditiup angin yang tiba-tiba berhembus.

Itu salah satu cara, yang kutahu, untuk menikmati kehidupan dalam keadaan apapun. Kauhirup segala beban yang ada sepenuh-penuhnya, biarkan ia menyesaki dadamu selama beberapa saat, lalu kau hembuskan ke udara dalam satu hembusan panjang. Menyaksikan asapnya mengepul lalu pudar seperti mengingatkanmu bahwa setiap masalah akan dapat kau lalui, cepat atau lambat. Aku mempelajarinya dari tukang-tukang becak yang bertebaran di kota ini, yang sering mangkal di depan hotel-hotel mewah, atau di mana saja di pinggiran jalan yang ramai.

*

"Mau jumatan tapi badan kotor begini. Ga enak. Bau. Jadi ya di sini aja lah, daripada ganggu," katanya dengan logat daerah sekitar ibu kota, sembari mendekat ke tempatku. Laki-laki itu lalu duduk di sebelahku, di tepian semenan, di seberang tanaman semak berbunga yang menjaraki aku dengannya. Mungkin sebagai isyarat bahwa ia tidak ingin aku merasa terancam oleh kehadirannya.

Dan memang dirinya mungkin adalah sosok yang begitu mewakili berbagai hal yang dianggap mengancam oleh banyak orang dalam kehidupan, terutama di kota-kota besar seperti ini. Pakaian kumal penuh lubang di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Badan berbau tak sedap yang tajam menusuk hidung. Rambut kusut berantakan yang penuh uban. Kulit dekil berlapis tebal debu jalanan. Hidup menggelandang tanpa ada tempat yang layak disebut rumah sebagai tempat untuk pulang. "Masih adakah yang menunggunya pulang selain kematian?", pikirku.

Mungkin itulah wajah sosok misterius yang selalu mengejar-ngejar kita dari belakang, siap menerkam dan menelan kita ke dalam perutnya yang gelap dan dalam jika tidak ikut berlari. Orang-orang tertinggal yang terperosok jatuh ke dalam jurang peradaban yang sangat dalam yang dikhawatirkan akan dapat tiba-tiba menarik kaki kita hingga ikut terperosok ke dalam lembah kehinaan.

Dalam sorot matanya tergambar begitu banyak hal yang tidak kumengerti. Dan aku jadi merasa terancam sehingga meningkatkan kewaspadaan. Apakah kiranya yang membawa laki-laki itu mendekatiku? Namun aku tidak bisa bertanya begitu saja kepadanya. Maka aku hanya bisa menerka-nerka. Berprasangka. Dipenuhi rasa curiga.

Rokok yang baru sempat kuhisap sekali masih terjepit di antara telunjuk dan jari tengah tangan kiriku yang kusembunyikan di antara kedua lutut. Laki-laki itu mulai bercerita tentang uang lima belas ribu rupiahnya yang hilang bersama seorang pemuda yang berjanji akan segera mengembalikannya besok namun ternyata tidak pernah muncul lagi bahkan setelah berhari-hari. Aku jadi memikirkan dua kemungkinan yang menjadi alasannya menghampiriku: rokok, atau uang.

Ingin kutawarkan sisa sebatang rokokku kepadanya, namun ia tidak memberi jeda. Ceritanya terus saja berlanjut, meski tak sepatah kata pun keluar dari mulutku untuk menanggapinya.

Aku perlu menemukan jeda di antara kata-katanya yang terus mengalir supaya aku bisa menawarinya rokok. Dengan begitu, aku sendiri juga jadi bisa menghisap rokokku lagi tanpa perlu merasa tak enak kepadanya. Sayangnya, jeda itu tak kunjung muncul sampai rokokku benar-benar habis ditiup angin tanpa sempat kuhisap lagi untuk kali kedua.

Kumatikan bara rokokku. Kusimpan puntungnya di dalam saku celana sambil tetap memberikan kesan seolah-olah aku mendengarkan setiap kata-katanya meski benakku sebenarnya sedang sibuk memikirkan hal lain. Masih dengan prasangka-prasangka. Masih dengan penuh rasa curiga. Apakah ia sedang berusaha mengelabuiku? Apakah cerita yang disampaikannya itu cuma sekedar cerita karangan untuk membuatku merasa iba kepadanya sehingga dapat dengan mudah ditipunya?

Dia bercerita tentang anaknya yang terancam tak dapat lulus sekolah karena belum melunasi biaya sekolahnya. Maka datanglah ia ke kota ini untuk mencari pekerjaan yang ternyata tidak semudah itu diperoleh. Karena dia tidak bisa berbahasa Jawa. Karena dia tidak punya kenalan di kota ini yang dapat memberikan jaminan kepercayaan kepada yang memberikan pekerjaan.

Aku teringat kisah tentang hantu-hantu kota. Orang-orang yang berkeliaran di kota-kota besar namun selalu dianggap tiada. Orang-orang yang selalu menatap matamu namun tak pernah kau balas tatapannya sebab itu dapat membuatmu jadi merasa bersalah. Orang-orang yang terjebak dalam dunia di antara ada dan tiada. Mungkin laki-laki itu adalah salah satu dari sekian banyak hantu yang berkeliaran di kota ini. Penghuni lubuk jurang-jurang gelap dan dalam yang semakin lama semakin menganga di bawah kaki gedung-gedung tinggi.

Kutatap matanya, dan kusaksikan ketidakberdayaanku sendiri. Sementara ia terus melanjutkan ceritanya. Tentang sudut-sudut kota yang pernah jadi tempat tidurnya. Tentang pelariannya dari kejaran warga karena disangka maling yang hendak mencuri isi kotak amal masjid. Dan tentang penolakan yang diterimanya ketika meminta sebagian dana hasil kotak amal sebuah masjid besar yang memiliki menara tinggi berwarna keemasan di halamannya yang luas.

Aku hanya terus berpura-pura mendengarkan. Mengangguk-angguk pelan, tersenyum kecut, menatap kekosongan yang menyeruak dari dalam ketiadaan dan memenuhi dunia di antara kami berdua. Padahal aku sebenarnya sedang sibuk memikirkan cara untuk dapat pergi dari situ.

Ceritanya seperti terlalu memilukan untuk menjadi sebuah kenyataan. Mungkin ia memang hanya mengarang-ngarang saja. Mungkin ia memang hanya sedang berusaha mengelabuiku. Mungkin ia sesungguhnya tak lebih dari seorang tukang tipu. Mungkin ia adalah orang jahat yang sedang menanti-nanti kesempatan untuk melancarkan aksinya. Aku terus saja memikirkan berbagai kemungkinan buruk. Sementara ia masih sibuk melanjutkan ceritanya yang berputar-putar tak tentu ujung pangkalnya.

Tetapi kemudian diriku yang lain berusaha mencegahku berprasangka buruk terlalu jauh. Lalu aku jadi berpikir, mengapa kita jadi begitu mudah menaruh curiga kepada orang asing seakan-akan setiap orang asing adalah orang yang menyimpan maksud buruk terhadap kita. Mungkin memang tidak salah juga bila kita waspada, tetapi menganggap setiap orang asing sebagai orang jahat hanya karena kita belum menemukan bukti kebaikannya adalah seperti mengakui bahwa pada dasarnya setiap manusia itu jahat.

Aku tiba-tiba teringat akan papan-papan peringatan yang banyak terpasang di tempat-tempat ramai di kota-kota besar (yang banyaknya hanya kalah dari papan-papan iklan) yang selalu mengingatkan kita bahwa konon katanya kejahatan selalu mengintai kita setiap waktu. Di terminal. Di pasar. Di tempat-tempat mana saja di mana orang-orang tak saling kenal yang merasa asing satu sama lain banyak berkumpul.

Tetapi, mengapa laki-laki itu terus saja bercerita kepadaku, adalah sebuah misteri yang tidak akan dapat kupahami tanpa segala macam prasangka melintas-lintas di benakku. Apakah yang diharapkannya dariku? Jelas-jelas aku ini bukanlah orang yang mampu membebaskannya dari kemalangan hidup yang dialaminya. Aku tidaklah cukup berdaya untuk menolongnya, dan dia seharusnya dapat melihat itu dengan mudah.

Ataukah justru karena itu dia memilih bercerita kepadaku? Mungkinkah ia sebenarnya hanya ingin bercerita kepada siapapun yang bersedia mendengarkan? Mungkin, dipikirnya kami adalah sesama orang tertinggal yang akhirnya kelelahan mengejar peradaban sehingga berteduh di bawah Pohon Hujan itu. Maka ia bercerita skedar untuk tidak merasa sebatang kara. Supaya ia tidak perlu terus-terusan merasa dirinya adalah hantu yang tak kasat mata. Paling tidak, supaya untuk beberapa saat ia bisa kembali merasa bahwa dirinya memang ada dan menjadi bagian dari kenyataan hidup manusia.

Akhirnya ia berhenti bercerita. Cukup lama, hingga kesunyian terasa benar-benar nyata meski di tengah kota besar seperti ini. Segala sesuatu bergerak lambat hingga daun yang jatuh seolah akan butuh waktu sepanjang keabadian untuk dapat sampai ke tanah. Dan untuk sesaat, aku seperti dapat merasakan apa yang dirasakannya. Entah bagaimana, rasa itu seperti tidak terlalu asing meskipun tidak juga dapat kukenali.

Tetapi, pada waktunya, aku pun harus pamit kepada laki-laki itu. Dan begitulah, aku terpaksa memecah kesunyian yang sempat membeku di antara kami itu.

Orang-orang mulai berhamburan meninggalkan masjid. Aku berenang menyeberangi aliran sungai peradaban, menuju sisinya yang lain.

#
Jogja, 16 Maret 2018 (- 27 Maret 2018)