Pages - Menu

Berkaca di Mata Badai

Terdapat satu daerah di tengah-tengah pusaran badai siklon, di mana udara mengambang begitu tenang, nyaris tak bergeming, dan kau dapat menyaksikan lagit biru cerah tanpa awan. Itulah mata badai. The eye of the storm.

Namun, maksud Rob Coffey -ketika mengutip kata-kata Hendri Coetzee dalam sebuah artikel tulisannya- dengan ungkapan 'stillness in the Eye of the storm' agaknya lebih cenderung simbolis daripada harfiah. Mungkin yang dimaksudnya adalah momen-momen mencerahkan yang tersembunyi di dalam kepungan risiko bahaya yang menyertai setiap aktivitas petualangan. Momen-momen yang akan semakin nyata ketika risiko yang dihadapi juga semakin besar dan jelas terlihat di depan mata. Layaknya mata badai yang akan semakin jelas seiring dengan semakin kuatnya pusaran badai itu.

Entah benar entah salah. Ini hanya sekedar pandanganku saja. Hal yang selalu terpikirkan olehku bila mengingat-ingat cerita-cerita tentang Hendri Coetzee, Sang Penjelajah Afrika yang Agung, yang mengarungi sungai terpanjang (atau terpanjang ke dua?) di dunia. Dean Potter, Si Gagak Penyihir yang terbang menjemput kematian di atas lembah Yosemite. Atau Ueli Steck, Manusia Mesin dari Swiss yang berlari-lari dari puncak ke puncak tertinggi di Pegunungan Alpen.

Meski aku belum pernah menghadapi risiko seekstrim yang mereka hadapi dalam petualangan yang kulakukan (bahkan yang kualami mungkin tak sampai seujung kuku dibanding yang mereka alami) namun aku merasa pernah juga mencicipi sensasi pengalaman macam itu. Mungkin terkesan bahwa aku terlalu membesar-besarkan, namun bagiku, pengalaman itu sangat "nyata" dan begitu membekas.

Tentu ini adalah perkara yang subjektif, dan memang peristiwa aktualnya tidak akan terlihat semengerikan yang dibayangkan. Tetapi, bagi setiap orang, apa yang berlangsung di dalam pikiran tak jarang lebih berpengaruh daripada kejadian aktualnya. Dunia fenomenal, kata Immanuel Kant. Itulah yang akan kuceritakan dalam tulisan ini.

Dan oleh karena itu, bila kita memang menjalani kehidupan dalam dunia fenomenal, bukan sesuatu yang aneh, kiranya, bila kita pun dapat mati di dunia itu. Dan mungkin pula dapat terlahir kembali. Kematian dan kelahiran kembali, tidak di dunia aktual (noumenal), melainkan dalam dunia fenomenal, bahkan mungkin spiritual. Setiap petualangan, oleh karena itu, dan tidak harus pada tingkat yang ekstrim, berpotensi menghadirkan pengalaman intens semacam itu bagi yang melakukannya.

Itu bisa terjadi, tidak hanya di sungai sebesar Stikine atau Zambezi, tidak harus di drop setinggi Palouse atau Alexandra, atau di jeram sekelas Inga atau Site Zed. Itu bisa saja kau jumpai di sebuah sungai kecil, di bawah drop setinggi dua meter, pada debit air sedikit di bawah normal. Bahkan pengalaman itu bisa jadi lebih intens di tempat-tempat dan pada waktu-waktu yang tidak pernah kau duga.

Ini bukan cerita besar sekelas first descent Jeram Inga di Congo atau Lembah Beriman di New Guinea. Bahkan tidak sepenting cerita tentang seorang pengemis gelandangan yang mati kelaparan di pinggir jalan di tengah kota yang ramai. Hanya sezarah debu yang ditebangkan angin sepoi-sepoi kemudian menempel di kaca belakang sebuah mobil tua yang tak pernah terpakai lagi. Namun, apalah memang semua yang ada dalam hidup ini melainkan debu-debu yang beterbangan di belakang sebuah truk yang tak sengaja lewat di jalanan rusak. Hanya sesaat melayang, kemudian semuanya kembali ke tanah.

Sepenggalan detik di hamparan waktu yang seakan tak berujung dapat menjelma keabadian di dalam dirimu. Apa yang terjadi dalam sepenggalan detik itu dapat merasuki jiwamu sampai ke lubuk paling dalam. Seperti setitik debu yang mendarat di iris matamu, dibanding sebongkah bom yang jatuh di tengah kota di belahan lain dunia, atau sebuah bintang raksasa yang menemui ajalnya dalam sebuah ledakan supernova di sudut lain galaksi.

~

Dan hari itu tidak jauh berbeda dengan hari-hari lain yang biasa. Aku menjalani latihan, seperti yang sudah selama berbulan-bulan itu rutin kulakukan demi mengejar mimpi untuk mengarungi beberapa sungai di New Zealand. Kami, aku dan beberapa teman, menemukan sebuah drop yang sepertinya cukup bagus untuk berlatih menghadapi jeram-jeram seperti yang kebanyakan akan ditemui di New Zealand di sebuah sungai di Jawa Timur.

Dan di situlah kami pada siang hari yang cerah itu. Matahari bersinar terik menyengat kulit. Namun aku tidak terlalu peduli pada sengatannya. Sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Aku lebih peduli pada buih-buih jeram di hadapanku. Mencoba menilai jeram itu dengan pengetahuan mentah dan pengalaman setengah matangku. Mencoba memeperkirakan seberapa berisiko jeram itu, dan membayangkan berbagai kemungkinan untuk dapat berhasil atau gagal melaluinya. Seberapa besar peluang aku dapat tersedot ke bawah drop itu atau tetap mengalir bersama aliran sungai.

Momen ketika kau berdiri di tepi sungai dan menatap jeram yang tidak dapat dengan cukup yakin kau tentukan besaran peluang keselamatanmu dalam melaluinya, ternyata adalah momen yang sangat personal. Hanya ada kau dan dirimu sendiri, dalam dialog tak berkesudahan. Jeram itu hanyalah cermin. Di tengah gemuruh jeram, kau tidak akan dapat mendengarkan apa-apa dengan jelas sejelas suara hatimu sendiri.

Aku sudah pernah sekali berhasil melalui jeram itu dengan selamat, meski juga dengan terlunta-lunta. Namun, sebagaimana ungkapan terkenal dari Heraclitus, tidak akan pernah ada seseorang yang sama menyentuh sungai yang sama untuk kali kedua. Karena sungai selalu berubah seiring waktu. Begitu pula manusia. Namun apakah aku telah berubah menjadi lebih hebat dan mampu melampaui kekuatan sungai itu atau tidak, itulah masalahnya. Dan tidak ada cara untuk mengetahuinya selain mencoba. Pertama-tama, di dalam pikiranmu, lalu kemudian di dunia nyata.


Waktu itu, aku hanya berpikir bahwa mundur bukanlah pilihan, dan mau tak mau aku harus melalui jeram itu, sekarang atau nanti. Namun apakah "nanti" itu akan ada lagi? Maka, tanpa benar-benar mempertimbangkan apakah aku sudah benar-benar siap atau belum, kupaksakan diriku menghadapinya saat itu juga. Itu bukan keputusan yang buruk, menurutku jika memandangya kembali dari masa kini. Mungkin hanya kurang diimbangi dengan antisipasi skenario penyelamatan yang sesuai. Dan itu, jika diusut ke belakang, mungkin menunjukkan bahwa waktu itu kami memang masih terlalu lugu untuk mampu menilai risiko yang ada sehingga kurang matang mempersiapkan tindak antisipasinya.

Berbekal keberuntungan yang pernah menyelamatkanku pada percobaan sebelumnya, dan kemampuan mengeksekusi gerakan dan timing untuk boofing yang hanya pernah dilatih di dalam pikiran sambil menonton video-video di internet (terutama di Substantial Media House), aku meluncurkan kayakku ke sungai. Siap tak siap aku harus menghadapi ini, pikirku sembari mengalir bersama air sungai dan meliuk-liuk di antara bebatuan jeram pembuka. Kemudian, memasuki aliran sempit menjelang drop, aku berusaha mengumpulkan kecepatan dengan mengayuh kuat-kuat dan banyak-banyak, cenderung kompulsif, sehingga malah melewatkan timing untuk mengeksekusi kayuhan dayung terakhir sebelum meluncurkan boof tepat di titik di mana air mulai jatuh bebas. Stern kayakku tertelan drop, dan aku pun terbalik.

Pada titik inilah idealnya ada aksi penyelamatan yang dilakukan dari darat, namun, seperti yang sudah kukatakan, kami luput mempersiapkan itu. Maka aku mesti berjuang sendiri untuk menyelamatkan diri. Aku melakukan eskimo roll dan sempat berhasil, namun drop itu sudah terlanjur menyedotku hingga tersudut ke bawah tebing di dasar drop, dan aku kembali terbalik. Di sini, entah mengapa aku tidak merasa panik, dan malah menghabiskan waktu lama untuk berpikir apakah sebaiknya aku berusaha melakukan roll lagi atau menunggu. Tapi begitu menyadari bahwa sesuatu menimpa kayakku yang sedang terbalik itu, aku tahu bahwa sudah terlambat bagiku untuk memiliki kesempatan melakukan roll. Tetapi tetap kulakukan beberapa kali usaha roll, dan tentu saja gagal sebab begitu aku muncul ke permukaan, air yang jatuh mendorongku kembali ke bawah. Sampai nafasku hampir habis, lalu insting menuntunku menarik lepas spray skirt-ku dan membebaskan diri dari kayak. Namun tubuhku kemudian terjebak dalam sirkulasi air di bawah drop itu. Aku tak dapat mengambil nafas, sebab air yang jatuh selalu akan langsung mengirimku kembali ke bawah meski pelampung yang kukenakan selalu mendorongku ke permukaan.

Dan terjadilah, penggalan-penggalan detik yang kemudian akan memuai hingga menjelma keabadian di dalam diriku itu. Momen ketenangan di dalam mata badai. Di mana kutemukan diriku menciut hingga benar-benar menjadi tiada. Dan aku sungguh-sungguh telah mati ketika itu.

Aku, sebagai tuan atas diriku, menjadi sama sekali tidak berdaya dan terpaksa harus rela menerima segala kemungkinan yang bisa terjadi. Aku sebagai subjek telah menyublim di hadapan kekuatan alam yang pada waktu itu berganti posisi dari yang biasanya dijadikan objek menjadi subjek yang berkuasa penuh atas diriku. Aku pasrah, dan telah kunyatakan selamat tinggal pada kehidupan yang selama itu kukenal.

Aku tak lagi berpikir bagaimana cara untuk selamat dari situasi itu. Yang bisa kulakukan hanya mengikuti insting secara otomatis. Aku tidak merasa cemas, takut, sedih, marah, atau meyesal. Tidak dapat kugambarkan bagaimana perasaan itu. Mungkin lebih menyerupai kedamaian yang begitu sunyi dalam dunia yang demikian gelap. Dan sebagaimana eksistensiku yang kian menciut, aku pun mengerutkan tubuhku. Membungkuk, mendekap kedua lutut yang tertekuk di depan dada, menelusupkan wajah ke antara dua lutut itu. Seolah waktu tiba-tiba bergerak mundur, melemparkanku kembali kepada masa-masa ketika aku masih berada di dunia lain sebelum dunia ini. Menciut jadi bayi, sebelum kemudian benar-benar tiada. Kudekap tubuhku sendiri. Kudekap apa yang mungkin masih tersisa dari diriku, sebelum benar-benar hilang sama sekali.

Namun kemudian tubuhku terbentur pada sesuatu yang keras. Mungkin itu batu di dasar sungai. Aku tak bisa tahu, sebab segalanya begitu gelap hingga aku bahkan tak bisa mengetahui apakah mataku terbuka atau tertutup. Apa yang oleh Rob Coffey digambarkan sebagai segelindingan dadu pun terjadi. Keberuntungan, nama lainnya. Namun aku mungkin lebih senang menyebutnya sebagai kemurahan hati alam. Ia dapat dengan mudah merenggut nyawaku waktu itu, namun ia tidak melakukannya.

Kujejakkan kaki kuat-kuat untuk mendorong tubuhku ke arah ke mana kurasakan air mengalir, lalu aku pun muncul kembali ke permukaan, menghirup udara sepenuh paru-paruku. Dan kesunyian itu pun berakhir digantikan gemuruh jeram. Kegelapan memudar digantikan langit yang cerah. Lalu perlahan-lahan kebebasanku kembali. Aku tidak lagi sepenuhnya menjadi objek. Aku mampu memerintahkan tubuhku untuk berenang menepi dan berpegangan pada tebing sebelum ditelan oleh jeram selanjutnya.

Peristiwa itu mungkin hanya berlangsung sekejapan mata saja. Paling lama mungkin beberapa detik. Namun aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Momen ketika kurasakan "aku" terlahir kembali dari kematian. Tidak di dunia aktual (noumenal), melainkan di dunia fenomenal.

Betapa aku baru saja menyaksikan bagaimana egoku hancur berkeping-keping kemudian larut dalam air sungai. Sungguh yang tersisa dariku tinggal segala bentuk yang hanya bisa mewakili ketidak tegaan alam terhadapku. Aku bukan lagi apa-apa, bukan siapa-siapa. Semua itu sudah hilang di dalam sungai.

Aku di sini, saat ini, hanyalah ketiadaan yang dibiarkan mengada sekedar untuk menemukan cara untuk berterima kasih kepada kekuatan yang pada dasarnya berkuasa penuh atasku namun berbaik hati memberikan sedikit ruang untukku bebas berkehendak. Baru setelah itu, kusadari bahwa hidup ini serta segala hal di dalamnya sejatinya memang tak pernah jadi milikku, baik dulu, sekarang, atau nanti. Hanya dipinjamkan kepadaku agar aku dapat mensyukurinya, berterima kasih kepada yang meminjamkannya, sebelum nanti kembali kepadanya.

Itulah langit yang pernah kusaksikan, kedamaian yang pernah kurasakan, ketika berkaca di mata badai. Momen yang hanya sepenggalan detik namun dapat memuai hingga menjelma keabadian di dalam diriku. Mengendap selamanya di lubuk jiwaku.

Begitu sederhana. Namun seringkali terlupakan. Tercecer di antara berbagai masalah sepele kehidupan sehari-hari yang menumpuk.

Namun selama sungai-sungai masih mengalir dan gemuruh jeram-jeram masih terdengar, kuharap aku bisa selalu mengunjunginya. Untuk mengingatkanku pada langit biru cerah dan udara tenang di tengah pusaran badai itu.


Jogjakarta, 4-7 Maret 2018