Pages - Menu

Di Antara Hayalan, Waktu, dan Yang Sia-sia Belaka

Aku, lagi-lagi menemui waktu.
Terbentang di hadapanku,
dari ujung ke ujung cakrawala,
bahkan jauh melampauinya.
Namun bisakah aku tahu,
sejauh apa waktu terbentang?
Sebelum habis ia kukenyam,
aku kan habis lebih dulu.

Pada dasarnya kita ini cuma mengicip-icip waktu.
Kita hidup dalam waktu
seperti ikan-ikan menyelami lautan.
Dan waktu adalah kesementaraan yang seolah-olah sempat kita miliki
hanya untuk kita tukarkan dengan berbagai hal yang sia-sia belaka.
Sia-sia,
namun selalu rela kita tukarkan
dengan semua waktu yang seolah-olah sempat kita miliki.

Dan demi segala yang berlangsung akibat pertukaran itu,
antara waktu yang tidak benar-benar kita miliki
dan segala hal yang sia-sia belaka,
kita ciptakan sebuah hayalan
bernama kehidupan.

Kematian, dengan demikian, adalah kegagalan kita dalam menciptakan hayalan-hayalan itu.

~

Aku teringat pada suatu peristiwa yang hanya sempat kualami dalam dunia yang tercipta dari kata-kata.
Tidak dapat kuingat betul kata-kata yang menyusunnya, namun peristiwa itu rupanya mengendap di dasar pemikiranku.

Seperti serbuk kopi yang selalu kan tersisa di dasar gelas
setelah habis kau sesapi semua kenangan
pahit-manis yang larut dalam kehidupan sehari-hari
yang selalu kau renungi kembali
ketika malam sudah benar-benar gelap
dan sepi datang menemuimu,
duduk di bangku seberang meja,
membawa selaksa pertanyaan yang tak pernah dapat kau temukan jawabannya.

Meski terus kau pandangi gelas yang kini tinggal berisi ampas serbuk hitam itu seperti seorang peramal amatiran mencoba menemukan petunjuk tentang hidup yang terlalu banyak menyimpan rahasia.

Meski terus kau pandangi kedap-kedip lampu merkuri yang menggantung di atas selokan comberan seberang jalan itu, yang sesaat menerangi mulut gang sempit di bawahnya hanya untuk kemudian menghadirkan kembali kegelapan yang setiap kali terasa jauh lebih pekat daripada sebelumnya, terus berulang-ulang seperti itu, berharap kau akan melihat sekilas jawaban yang diminta sepi setiap kali ia menyala lagi, meski kau yakin itu tidak akan pernah terjadi.

Sampai pagi.
Sampai matahari terbit kembali.
Sampai sepi beranjak pergi,
bersama selaksa pertanyaan
yang kau tahu akan selalu datang lagi di malam-malam yang lain.

Dan sementara itu,
tiada yang dapat kau lakukan selain kembali ke dalam "kehidupan" yang sesungguhnya,
dalam hayalan-hayalan yang diciptakan demi keberlangsungan pertukaran antara waktu yang tidak benar-benar kau miliki dengan segala hal yang sia-sia belaka.
~

Sementara peristiwa yang masih bisa kuingat itu,
yang hanya sempat kualami dalam dunia yang terdiri dari kata-kata meski tak dapat kuingat betul kata-kata yang menyusunnya,
tentu tak mungkin bisa kuceritakan kepadamu.

Bukankah untuk itu aku harus menggunakan kata-kata?

Lagipula itu tidak penting.
Aku tahu kau pasti pernah mengalaminya juga.
Di sela-sela hayalan.
Di jeda-jeda waktu yang tak pernah benar-benar kau miliki.
Di antara tumpukan segala hal yang sia-sia belaka.

#

Jogja, 12 Februari 2018, 09:38