Pages - Menu

"Itu dia! Mau ke mana!?"

“Nak, bisakah kau menunjukkan jalannya kepadaku?”

Suara parau, yang begitu lirih sampai-sampai hampir tak mungkin terdengar di tengah hingar-bingar jalan raya di sebuah kota yang selalu ramai itu, ternyata kemudian selalu melekat dalam ingatanku. Memang tak setiap waktu selalu teringat, namun pada momen-momen tertentu dalam hidupku, percakapan singkat itu seringkali mampu membuatku tertegun seketika dan tak pelak mendamparkanku di tengah-tengah samudera kehampaan.

Tangannya yang begitu kurus dan keriput memegang ujung bajuku. Ia yang setengah berlutut setengah menyeret badannya di trotoar berdebu itu menatapku dengan kepala tengadah seakan-akan sedang dalam sikap berdoa kepada tuhan untuk memohon sesuatu yang teramat sangat penting baginya yang tak kan mungkin mampu diperolehnya sendiri.

Ketika menoleh dan menemukan sepasang cerukan cekung di wajahnya yang kusam lagi kelam itu, kusaksikan betapa sorot matanya telah benar-benar nyaris tanpa pancaran harapan sama sekali. Apakah yang mungkin masih tersisa di dalam jiwa yang tiada lagi memiliki harapan itu selain kehampaan yang tak bertepi?

Kehampaan di matanya itu seperti melebihi luas dan dalamnya samudera. Hal itulah yang mungkin membuatku menghentikan langkah dan selama beberapa saat tertahan di hadapan orang tua gelandangan itu. Kawan-kawanku telah beberapa langkah di depan dan tak menyadari bahwa aku telah tertinggal cukup jauh di belakang rombongan.

Pegangan tangannya pada ujung bajuku sebenarnya lemah saja dan tidak perlu hentakan bertenaga untuk melepaskannya jika saja aku memang ingin bersegera pergi meninggalkannya. Tetapi memang matanya itu begitu kosong. Terlalu hampa. Dan mungkin kehampaan itulah yang seperti menyedot ruang-waktu di antara kami sehingga timbul semacam gravitasi yang memaksaku tertahan di tempat.

“Kakek mau ke mana?” Aku bertanya padanya.

Tetapi ia tidak kemudian mengatakan tujuannya, dan memang tidak akan pernah. Alih-alih, seolah ada sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya, orang tua itu mulai terlihat berpikir atau berusaha mengingat-ingat sesuatu. Matanya tidak lagi menatapku lekat-lekat melainkan bergerak-gerak liar ke sana ke mari menyapu trotoar dan aspal jalanan seperti mencari-cari sesuatu yang memang tiada. Genggamannya terlepas dari bajuku dan ia jatuh bersimpuh di trotoar.

“Ya. Mau ke mana?” Bibirnya komat-kamit berucap lirih.

Ia mulai menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang hitam dan jarang karena sudah banyak yang ompong. “Mau ke mana?” ucapnya lagi dengan lebih lirih seakan-akan sedang berbisik kepada dirinya sendiri namun tetap bisa terdengar olehku.

“Mau ke mana?” Seringainya mulai berubah menjadi tawa. Seperti ia baru saja menyadari sesuatu, tetapi yang keluar dari mulutnya masih saja: “Mau ke mana?”

“Itu dia!” Dan tertawanya semakin menjadi-jadi.

“Benar! Mau ke mana?” Ia mulai berteriak parau.

“Mau ke mana!?” Dan tertawanya semakin keras.

“Itu dia! Mau ke mana!?”

Dan dia tertawa semakin liar sehingga orang-orang di sekitar mulai sedikit-sedikit memperhatikan keberadaannya namun sambil terus berlalu begitu saja sembari menjaga jarak.

“Mau ke mana!?” Ia berteriak keras-keras namun suaranya yang serak kemudian berubah menjadi lengkingan lalu hilang sehingga kata-kata itu jadi tidak begitu terdengar jelas.

*

Seorang kawanku rupanya kemudian menyadari bahwa aku telah tertinggal bersama orang tua itu begitu mendengar orang tua itu mulai berteriak-teriak parau. Ialah yang lalu tiba-tiba menarik lenganku dan membawaku menjauh dari orang tua itu.

Dari jauh, sambil terpaksa berjalan mengikuti kawanku itu, masih bisa kudengar samar-samar orang tua itu berteriak-teriak kepada setiap orang yang lewat.

“Mau ke mana!? Hehehe, itu dia. Mau ke mana? Mau ke mana!?”

Dan orang-orang yang lewat mangambil jarak yang cukup jauh dari tempat orang tua itu bersimpuh. Mereka kelihatnnya tak terlalu peduli, atau mungkin berusaha tak peduli pada orang tua dan kata-kata yang dilontarkannya itu. Ataukah mereka sesungguhnya peduli namun berusaha untuk tak peduli?

“Kalau ada orang aneh seperti itu lagi, mending cepat-cepat menjauh saja. Bisa-bisa kamu ikut ketularan gila.” Salah seorang kawanku berkata begitu.

“Apa benar kegilaan bisa menular?” Kawanku yang lain bertanya.

“Bisa saja. Siapa yang tahu?” Kawanku yang lain lagi menimpali.

Dan meskipun aku tahu ide mengenai kegilaan yang menular itu adalah sesuatu yang dibuat-buat saja oleh kawanku sekedar untuk menakut-nakuti, terkadang aku berpikir bahwa mungkin saja hal itu memang dapat terjadi. Siapa yang tahu?

Pada momen-momen tertentu di kemudian hari, jauh setelah peristiwa itu, kadang aku berpikir bahwa orang tua itu mungkin telah menularkan kegilaannya kepadaku. Bagaimana caranya, akupun tak tahu. Tetapi siapa yang tahu? Dan hal-hal yang tidak kita ketahui bukan berarti tidak mungkin adanya, bukan.

Virus mungkin tidak hanya berupa sesuatu yang memiliki wujud material. Virus mungkin saja dapat berupa sebuah ide yang menular dan menjangkiti kita melalui pikiran. Bukan dalam bentuk teori-teori atau paham-paham semacam Marxisme atau komunisme atau apapun yang menggunakan akhiran isme, melainkan dalam bentuk paling sederhana namun paling efektif, yaitu sebuah pertanyaan yang menggantung. Bukankah pertanyaan selalu lebih mudah melekat di pikiran daripada penjelasan-penjelasan panjang-lebar yang selalu terlalu pelik dan sukar untuk dimengerti?

“Mau ke mana?”

Suara parau itu selalu dapat kudengar kembali di dalam pikiranku. Seperti kaset yang diputar berulang-ulang di dalam kepalaku.

*

Siapakah sesungguhnya orang tua yang bertanya-tanya itu? Orang tua yang meminta ditunjukkan jalan namun kemudian menyadari bahwa ia bahkan tak tahu dirinya hendak ke mana.

Siapa pula orang-orang yang lewat di depan orang tua itu? Orang-orang yang tak peduli, yang seakan-akan tak peduli, yang berusaha tak peduli meskipun mungkin di dalam hatinya masing-masing tersimpan pertanyaan yang sama yang menanti-nanti untuk dijawab.

Kelak, setelah bertahun-tahun waktu berlalu, aku akan mengunjungi tempat itu lagi sekedar untuk melihat-lihat apakah orang tua itu masih berada di tempat yang sama, dengan kehampaan yang sama di dalam rongga matanya dan di dalam jiwanya, dan dengan suara parau yang sama melontarkan pertanyaan yang masih juga sama kepada dirinya sendiri dan juga kepada orang-orang yang lewat.

Kelak, yang kutemukan di tempat itu tiada lain kecuali ruang-waktu yang hampa. Namun pertanyaan itu masih tetap ada di situ. Teronggok di trotoar berdebu yang berbau pesing. Dan “ke manakah akhirnya orang tua itu pergi?” menjadi pertanyaan yang jawabannya akan selalu merupakan misteri tak terpecahkan.

Apakah kita pada akhirnya juga akan pergi ke tempat yang sama dengan orang tua itu? Ke manakah perginya ia? Apakah pada akhirnya ia tahu hendak pergi ke mana dirinya sesungguhnya? Apakah pada akhirnya ada seseorang yang kebetulan lewat di depannya yang mengetahui jalan yang dapat di tempuh untuk mencapai tempat yang hendak dituju orang tua itu dan kemudian menunjukkan jalan itu kepadanya? Mungkin orang itulah yang mengantarkannya ke sana, mengingat betapa lemahnya orang tua itu sehingga ia sepertinya mustahil dapat berjalan sendiri ke sana.

Kelak aku akan berdiri di tempat yang sama, menatap apa yang tersisa dari orang tua yang bertanya-tanya “mau ke mana?” itu. Menatap debu. Menatap kehampaan yang hanya berisi bau pesing. Menatap kendaraan-kendaraan berlalulalang di jalan raya yang seakan-akan selalu tahu pasti ke mana tujuannya sehingga tak pernah ragu untuk melaju. Menatap gedung-gedung tinggi yang seolah pasti takkan rubuh. Menatap wajah-wajah pejalan kaki yang seolah-olah tak pernah akan punah. Menatap papan-papan iklan yang selalu mampu menghidupkan impian. Menatap zaman megah yang seakan-akan begitu yakin takkan pernah punah dilahap sejarah.

Tetapi apakah yang kelak masih akan tertinggal di sini yang akan membaca sejarah itu?

~

Jogjakarta
Minggu, 24 September 2017 | 11:47 AM